PETISI GEKANAS 30 NOVEMBER 2016


POKOK-POKOK PIKIRAN
  1. Amandemen UUD Tahun 1945 telah mengakibatkan Negara Republik Indonesia kehilangan visi dan tujuannya sebagai Negara Kesejahteraan (Wal/are State) menjadi negara yang berwatak liberal. Sistem ekonomi yang berwatak kerakyatan dan anti kolonial, berubah menjadi sistem ekonomi liberal yang mengabdi kepada asing dan mengabdi pada rezim pasar bebas yang dikuasai kapitalis liberal internasional. Sekarang ini, hampir seluruh sumber daya alam darat, laut dan udara dikuasai asing. Segala cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara berdasarkan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, nyatanya banyak dikuasai pihak asing. Sampai-sampai orang asing pun diberikan hak memiliki tanah di negara Indonesia. Tenaga kerja asing dengan bebas masuk ke pasar kerja di dalam negeri. Akibatnya, rakyat Indonesia hanya menjadi tamu asing di negerinya sendiri. Para pemegang kekuasaan tidak lagi berpedoman pada Pancasila, yang berakibat kelima asas Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia telah tercabik-cabik. dan menyebabkan dalam menjalankan pemerintahan Patuh dan Tunduk di bawah kendali kekuatan asing. Hal tersebut tidak sejalan dengan gagasan TRI SAKTI yang dicetuskan oleh Bung Karno sebagai Proklamator Republik Indonesia.
  2. Sejalan dengan berubahnya sikap Pemerintah yang menganut paham neo-liberal yang lebih cenderung berpihak kepada pihak pengusaha ketimbang kepada rakyat Indonesia, maka segala peraturan perundang-undangan yang melindungi rakyat pekerja akan segera diganti atau direvisi untuk memberikan kenikmatan yang berlebih kepada pihak pengusaha. Salah satu produk perundang-undangan yang akan direvisi adalah Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sepertinya Pemerintah akan mengulangi rencananya yang gagal pada tahun 2006, yang berkeinginan mengurangi ketentuan Pesangon, mempermudah PHK oleh pengusaha tanpa melalui prosedur hukum yang benar, mempersulit atau memperketat Mogok Kerja, memberikan kebebasan bagi pengusaha untuk mempekerjan pekerjakan pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP) tanpa batas, dan proses penentuan upah minimum tanpa harus melibatkan pihak Tripartit.
  3. Sikap Pemerintah yang lebih pada keinginan melindungi pengusaha, telah dibuktikan dengan membentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Pemerintah secara substansi, PP No. 78/2015 telah melanggar Pasal 9, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melanggar UU No. 13 tahun 2003, melanggar Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, serta bertentangan dengan Konvensi ILO No. 144 Mengenai Konsultasi Tripartit yang telah diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keppres No. 26 Tahun 1990, dan Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan. Sepertinya Pemerintah tidak peduli terhadap hak pekerja dan keluarganya untuk mendapatkan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. PP No. 78 tahun 2015 merupakan cerminan peranan pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk mensejahterakan pekerja/buruh dengan menghilangkan peran dewan pengupahan dalam menetapkan upah minimum.
  4. Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional seperti, AFTA, ACFTA dan MEA, mengakibatkan lahirnya kolonialisme dan imperialiasme gaya baru yang berakibat terpinggirkannya hak-hak rakyat pada umumnya, dan hak pekerja/buruh pada khususnya. Akibat dari perjanjian-perjanjian tersebut, bukan saja produk-produk asing yang masuk ke Indonesia menyaingi produk dalam negeri, tetapi jauh daripada itu, masuknya tenaga kerja-asing sekelas tukang tanpa dapat dikontrol dan dikendalikan oleh Pemerintah.
  5. Bahwa serikat pekerja/serikat buruh adalah bagian dari inisiator lahirnya UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Salah satu prinsip dari Jaminan Kesehatan adalah kegotongroyongan yang kaya membantu yang miskin; yang mampu membantu yang lemah; yang muda membantu yang tua; yang sehat membatu yang sakit. Oleh undang-undang, Direksi BPJS Kesehatan ditugaskan untuk memberikan perlindungan dan manfaat jaminan kesehatan bagi segenap warga negara tanpa kecuali dan tanpa batas. BPJS Kesehatan semestinya harus memberikan kemudahan kepada masyarakat guna mendapatkan pelayanan kesehatan paripurna sesuai dengan hak konstitusionalnya tanpa memandang status sosial. Tapi faktanya, Direksi BPJS Kesehatan memperlakukan BPJS Kesehatan sebagai Asuransi Komersial, dan lebih kejam dari Rentenir. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Direksi BPJS Kesehatan telah menyulitkan dan menyengsarakan rakyat yang tergolong berpenghasilan rendah tapi tidak ter-cover sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau lebih dikenal dengan sebutan Peserta Mandiri, mereka diwajibkan memasukkan Janin yang masih dalam kandungan menjadi peserta; mewajibkan membayar iuran sejumlah peserta yang terdapat dalam Kartu Keluarga (KK); dan bagi yang terlambat membayar iuran dikenakan denda sebesar 2,96 x jumlah tagihan Rumah Sakit x jumlah bulan keterlambatan. BPJS Kesehatan tidak mempunyai keberanian untuk memaksa Rumah Sakit yang menelantarkan pasien peserta BPJS Kesehatan. Akibatnya masih banyak pasien yang mati sebelum mendapatkan perawatan dan tindakan medis sesuai dengan haknya sebagai peserta. Defisit yang dialami BPJS Kesehatan dalam 2 tahun ini, adalah bukti bahwa Direksi BPJS Kesehatan tidak mampu mengelola Badan Publik ini sesuai perintah Undang-undang. Sampai saat ini masih puluhan juta pekerja formal termasuk pekerja BUMN yang belum masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal, Direksi BPJS Kesehatan sudah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan bahwa paling lambat 1 Januari 2015 seluruh pekerja formal harus sudah menjadi peserta.

TUNTUTAN GEKANAS

Berdasarkan pokok-pokok fikiran sebagaimana terurai di atas, maka dengan ini Pekerja/Buruh Indonesia menuntut kepada Pemerintahan Nagara Republik Indonesia, sebagai berikut:
  1. Cara Negara harus kembali ke Pancasila dan UUD Tahun 1945 (asli).
  2. Batalkan rencana Pemerintah untuk merevisi UU No. 13 Tahun 2003, yang bertujuan menghilangkan peran negara melindungi pekerja.
  3. Cabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, karena terbukti Pemerintah menganut Politik Upah Murah, dan merugikan serta menyengsarakan pekerja/buruh Indonesia.
  4. Pemerintah harus segera keluar dari AFTA, ACFTA dan MEA, karena sudah terbukti telah merugikan bangsa, rakyat dan pekerja/buruh Indonesia.
  5. Ganti Direksi BPJS Kesehatan, karena telah membuatkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat Indonesia yang membutuhkan jaminan kesehatan.

Komentar