Bapor Lem, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam, Elektronik dan Mesin (LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus segera menangani masalah tenaga kerja asing (TKA). Masalah ini sempat menjadi berita heboh di berbagai media. Berbagai megaproyek infrastruktur, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), bendungan, transportasi, pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi masih didominasi oleh tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari Tiongkok. PLTU 10 ribu MW yang lalu banyak mencuatkan sisi kelam. Kini pemerintah tengah menyiapkan megaproyek kelistrikan 35 ribu MW. Hal itu hendaknya tidak terulang sisi buruk seperti yang lalu terkait dengan dominasi TKA dan miskin kandungan lokal (local content).
Tuntutan penanganan masalah TKA tersebut merupakan salah satu tuntutan yang disampaikan FSP LEM SPSI kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait May Day atau Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2016. Dalam May Day 2016 FSP LEM SPSI mengusung tema “Berjuang Untuk Rakyat, Lawan Regulasi Yang Tidak Pro Rakyat”. (Baca : Buruh Tuntut Jokowi Realisasikan Janji Kampanye Pilpres 2014)
Menurut Sidarta, strategi pembangunan megaproyek kelistrikan itu dilakukan tanpa optimalisasi sumber daya dari dalam negeri, sehingga menimbulkan krisis lokalisasi. Yakni lokalisasi penggunaan komponen kandungan local dan SDM teknologi. Megaproyek kelistrikan yang dibiayai dari hutang itu, ternyata sebagian besar memakai komponen dan material impor dari Tiongkok. Lebih parah lagi, tenaga kerja yang berjumlah ribuan untuk merakit permesinan, mulai dari yang berkualifikasi insinyur hingga teknisi kasar semuanya juga didatangkan dari negeri itu. Fenomena itu sangat memilukan hati buruh Indonesia sekaligus merendahkan martabat bangsa.
Negeri ini memang membutuhkan pasokan daya listrik yang cukup, tetapi cara-cara yang ditempuh oleh pemerintah hendaknya bermartabat dan mampu meningkatkan nilai tambah bangsa. Perlu dicatat, hutang yang berjumlah ratusan triliun rupiah untuk membangun megaproyek kelistrikan itu akan dipikul oleh generasi yang akan datang. Ironisnya, krisis lokalisasi tidak mampu diatasi oleh pemerintah. Padahal, insinyur dan teknisi di tanah air banyak yang menganggur.
Begitu pula banyak industri permesinan dalam negeri yang sedang kolaps karena sulit mencari order. Jika kita menengok aktivitas proyek PLTU baik yang sudah selesai maupun yang tengah dalam tahap pembangunan, ternyata krisis lokalisasi semakin parah.
“Jangan heran jika menimbulkan ekses negatif berupa gejolak sosial seperti kasus kerusuhan massa terhadap fasilitas TKA yang tengah mengerjakan proyek PLTU III Teluknaga di Banten. Letupan sosial sering terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek PLTU,” kata Sidarta.
Anehnya, letupan itu juga sering terjadi di kalangan teknisi asal Tiongkok yang melakukan aksi menduduki atau memanjat tower untuk menuntut kenaikan upah. Kasus teknisi Tiongkok yang menduduki tower di PLTU Cilacap dan Palu, Jawa Tengah, beberapa saat yang lalu adalah paradoks kelam.
“Jenis pekerjaan kasar saja harus memakai tenaga kerja dari luar. Tak bisa dipungkiri lagi, setiap pembangunan PLTU selalu melibatkan ribuan tenaga kerja kasar dari Tiongkok. Apalagi dalam kontrak pinjaman dengan pemerintah Tiongkok, memang diatur ketentuan soal pelaksana proyek,” ujarnya.
Megaproyek PLTU 10.000 MW jilid pertama oleh pemerintahan SBY-JK yang berbasis batu-bara itu hingga kini masih meninggalkan banyak masalah. Ironisnya pemerintahan yang lalu dengan tergesa-gesa mempersiapkan megaproyek jilid kedua dengan besaran yang sama tetapi dengan energi terbarukan, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Megaproyek jilid dua juga tidak disertai dengan optimalisasi kandungan lokal. Juga tidak terlihat usaha serius untuk melibatkan SDM teknologi nasional seluas-luasnya dan memaksimalkan peran kontraktor dalam negeri.
Sekadar catatan, bahwa megaproyek PLTU jilid pertama terdiri dari kapasitas pembangkit sebesar 6.900 MW yang berlokasi di Jawa-Bali yang terdiri dari 10 unit PLTU skala menengah-besar. Serta sebesar 3.100 MW dibangun di luar Jawa-Bali yang terdiri dari 25 unit PLTU skala menengah-kecil. Sejak ditandatangani kontrak pengadaan, rekayasa, dan konstruksi atau EPC (engineering, procurement and construction) masalah kandungan lokal tidak tertangani secara serius. Sehingga tergusur oleh komponen impor dan vendor item dari luar. Industri nasional sepertinya dikondisikan supaya tidak berkutik mengambil peluang. Mestinya, investasi sekitar 3 miliar dollar AS untuk membangun 35 buah PLTU itu sebagian besar bisa dikerjakan oleh industri nasional.
Nyatanya, industri nasional tidak berdaya membuat komponen untuk PLTU. Pada awalnya digariskan ketentuan tentang persentase kandungan local, yakni untuk PLTU 7 MW kandungan lokalnya harus mencapai 70 %, PLTU 25 MW 50 %, dan untuk PLTU 50 MW keatas harus mencapai 30 %. Namun, dalam praktiknya presentase sangat jauh dari ketentuan. Karena disebabkan oleh kondisi fabrikator boiler, turbine dan generator yang tidak mampu secara teknologi dan produksi.
Betapa menyedihkan kemampuan industri manufakturing di tanah air. Jika kita tengok di negeri ini, hanya ada satu turbine manufacturer, yakni PT Nusantara Turbin Propolsi (NTP) di Bandung. Itupun hanya sanggup mengerjakan proyek PLTU dengan daya maximum 7 MW. Sedangkan untuk membuat generator hanya PT Pindad yang bisa, itupun terbatas maximum 15 MW. Sedangkan untuk rancang bangun boiler ada sekitar empat perusahaan utama dan hanya sanggup mengerjakan tipe stocker dengan maximum 15 MW.
“Melihat kondisi yang sangat menyedihkan tersebut, alangkah baiknya bangsa Indonesia mulai merevitalisasi industri nasional, serta menggariskan kembali strategi transformasi industri dan teknologi untuk melangkah ke depan. Strategi transformasi teknologi harus dirumuskan kembali, sehingga teknologi pembangkit listrik dan derivatifnya bisa berkembang dan lepas dari ketergantungan impor.
Berbagai kendala dan problema yang timbul dalam megaproyek jilid pertama tidak hanya menyangkut masalah kandungan lokal. Tetapi juga menyangkut penampilan total dari setiap pembangkit yang sudah dibangun dan telah beroperasi. Beberapa PLTU yang termasuk proyek tahap pertama seperti PLTU Cilacap yang baru diresmikan justru sering mengalami gangguan teknis dan kinerjanya belum bisa optimal. Kurang handal dan ringkihnya teknologi PLTU dari Tiongkok semakin terlihat nyata dengan sering rusaknya mesin pembangkit PLTU Cilacap, Berau, dan Palu, sehingga sering berhenti beroperasi.
Setiap PLTU yang memiliki dua turbin mestinya mampu menghasilkan kapasitas 2 X 300 megawatt (MW) secara kontinyu dan umur operasi yang panjang, setidak-tidaknya untuk 30 tahun kedepan. Perlunya investigasi oleh tim atau lembaga yang kredibel dan independen guna mengungkap ketidakberesan megaproyek PLTU jilid pertama dan kedua yang sudah selesai. Serta mengidentifikasi posisi teknologi untuk proyek PLTU tahap pertama dan kedua yang sedang dikerjakan. Investigasi itu juga harus bisa mengungkap berbagai kecurangan fabrikasi, mengontrol spesifikasi teknis serta terpenuhinya standarisasi. Banyak hal yang harus dicermati, seperti penggunaan logam murah dari Tiongkok kualitas rendah yang sangat getas dan umurnya sangat pendek untuk komponen permesinan PLTU.
Untuk meningkatkan kompetensi, produktivitas buruh Indonesia dan industri dalam negeri FSP LEM SPSI menolak kehadiran TKA
Sumber https://obsessionnews.com/federasi-serikat-pekerja-lem-tolak-tenaga-kerja-asing/