Untuk 2015 ini, imbas dari pelemahan pertumbuhan ekonomi global serta terkaparnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dianggap masih menjadi persoalan utama bagi perusahaan-perusahaan untuk ‘merumahkan’ para karyawannya, hingga tak jarang pula perusahaan tersebut terpaksa harus gulung tikar.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat, setidaknya hingga September 2015, terdapat sembilan juta orang yang terkena PHK. Meski begitu, data tersebut masih diperdebatkan hingga saat ini.
Ini, karena data yang dimiliki Apindo dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) jauh berbeda. “Persoalan utama masalah data, kita tidak punya data yang akurat. Kemenaker bilang 26 ribu kena PHK, kita bilang sembilan juta PHK,” ujar Ketua Apindo, Anton J. Supit.
Persoalan PHK bukan tak pernah sampai ke meja pemerintah, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengungkapkan, sepanjang tahun ini, tenaga kerja yang mengalami PHK hanya mencapai 30 ribu orang.
Menurut Hanif, hal itu akibat adanya antisipasi yang dilakukan perusahaan dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Meski begitu, ia mengaku jumlah itu masih bisa bertambah. Sebab, perusahaan di berbagai daerah juga ada yang melakukan PHK, tetapi tak melapor.
"Datanya masih dikonsolidasi. Di kementerian sejauh ini, jumlahnya segitu," ucap Hanif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat lalu, 14 Agustus 2015.
Lalu, bagaimana terkait klaim jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah mencapai angka jutaan? Dalam hal ini, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menjelaskan, untuk membantu para pekerja yang telah di-PHK, pemerintah menyiapkan bumper atau bantalan, seperti program wirausaha dan perlindungan sosial.
Tujuannya, selama masa menunggu ekonomi membaik, mereka masih mendapatkan penghasilan. Hanif menambahkan, pekerja yang paling banyak mengalami PHK, mayoritas berasal dari sektor manufaktur, terutama garmen. Namun, ia mengaku belum bisa menyimpulkan, apakah angka tersebut meningkat atau sebaliknya.
Dengan berbedanya data jumlah PHK ini, tentunya mendapatkan perhatian serius dari publik. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan perbedaan data PHK yang signifikan antara yang dirilis asosiasi-asosiasi, serikat buruh, dan Kemenaker. Hal ini harus direspons, agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, mengatakan ketimpangan data tersebut, kemungkinan terjadi karena masih banyak perusahan-perusahaan kecil masih belum melaporkan data jumlah pasti para pekerjanya yang di PHK, atau dirumahkan.
"Kemenaker bilang 30 ribu, tetapi data dari Federasi Serikat Pekerja, PHK sudah mencapai lebih 100 ribu orang. Jadi, data ini harus diklarifikasi," ujar Enny di kantornya, di Jakarta, belum lama ini.
Enny menjelaskan, verifikasi data ini dinilai penting, sambil pemerintah mendata ulang seberapa banyak pelaku usaha yang ada di Indonesia saat ini. Sehingga, datanya lebih valid di masa depan.
"Yang tidak lapor pasti lebih banyak. Yang lapor pasti dari industri formal, karena lengkap dokumen hukum. Jadi, mereka pasti suka tidak suka harus lapor. Kalau dari industri kecil, sudah pasti jumlah (pekerja yang di PHK) banyak," kata dia.