PEMAKNAAN TERHADAP KETENTUAN USIA PENSIUN
Oleh: YosepUbaama Kolin
Pemaknaan tentang “usia pensiun” dalam hukum ketenagakerjaan, selalu dimaknai sebagai batasan usia dimana seorang pekerja demi hukum harus berakhir hubungan kerjanya dan untuk itu pekerja berhak untuk mendapatkan kompensasi sebagai konsekuensi hukum dari berakhirnya hubungan kerja dimaksud. Bahwa pemaknaan tersebut adalah pemaknaan yang tunggal, maksudnya bahwa tidak ada yang lain selain pemaknaan yang demikian. Pasca terbitnya PP No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (PP 45/2015), muncul polemik tentang pemaknaan usia pensiun yang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan tunggal yang disampaikan sebelumnya. Polemik itu secara dominan muncul dari kalangan HRD. Polemik ini tentu terasa janggal sebab jika dicermati secara seksama, sesungguhnya tidak ada ruang polemik dan/atau ambiguitas tafsir dalam keseluruhan pemaknaan terhadap ketentuan usia pensiun dalam PP 45/2015.
Tulisan ini berusaha untuk menggali pemaknaan usia pensiun yang menjadi polemik tersebut dengan maksud untuk menguji rasionalitas argumentasi yang disampaikan para polemikus perihal pemaknaan terhadap ketentuan usia pensiun dalam PP 45/2015. Argumentasi yang dibangun oleh kaum polemikus bahwa substansi dalam PP 45/2015 tidak mengatur tentang usia pensiun sebagaimana pemaknaan tunggal yang disampaikan sebelumnya, tetapi hanya mengatur tentang manfaat pensiun. Bahwa manfaat pensiun dipisahkan dengan usia pensiun. Sekilas, konstruksi hukum yang dibangun sudah memperlihatkan kelemahan argumentasi hukum yang serius.
A. Argumentasi
Kaum Polemikus Tentang Pemaknaan “Usia Pensiun” Dalam PP 45/2015.
Sehubungan
dengan penafsiran berbeda terhadap ketentuan dalam PP 45/2015 yang disampaikan
kaum polemikus, untuk mempertahankan pendapat tersebut kaum polemikus
menyampaikan beberapa argumentasi yang antara lain adalah sebagai berikut:
1)
Bahwa
PP 45/2015 tidak mengatur tentang “usia pensiun” sebagai acuan usia untuk
menentukan kapan hubungan kerja berakhir demi hukum dimana sekaligus dikaitkan
dengan hak atas manfaat pensiun, tetapi hanya mengatur tentang waktu bagi
pekerja yang telah mencapai usia pensiun untuk mendapatkan “manfaat pensiun”,
dimana waktu untuk mendapatkan manfaat pensiun tidak dikaitkan sebagai satu
kesatuan yang utuh dengan acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan
kerja demi hukum. Dasar argumentasi yang dibangun merujuk pada ketentuan Pasal
1 angka 15 yang menyatakan; “Usia Pensiun adalah usia saat peserta dapat
mulai menerima manfaat pensiun”.
1)
dalam
hal seseorang mendapat manfaat pensiun, bukan dimaknai dalam pengertian acuan
usia sebagai penentu kapan seseorang purna tugas atau purna bhakti dan/atau sebagai
acuan usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum. Dalam konsepsi berpikir ini,
kaum polemikus mengatakan bahwa acuan usia untuk menentukan kapan berakhirnya
hubungan kerja demi hukum karena pekerja telah mencapai usia pensiun dan kapan
acuan usia untuk mendapatkan manfaat pensiun merupakan dua acuan usia yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya.
2)
Kaum
polemikus juga berargumen bahwa sejauh yang mereka ketahui, hingga saat ini
belum ada satupun lembaga Peradilan yang memutus perkara yang berkaitkan dengan
PP 45/2015, dimana karena itu mereka berpendapat bahwa hal ini mengindikasikan meskipun
secara nyata eksistensi PP 45/2015 ada, namun tidak berlaku karena belum teruji
di lembaga Peradilan.
Dengan berdasarkan pada ketiga argumentasi tersebut, kaum polemikus berkeyakinan bahwa pemaknaan dan/atau penafsiran akan PP 45/2015 yang mereka sampaikan adalah benar sehingga menjadi dasar legitimasi bagi mereka mengabaikan pelaksanaan ketentuan pensiun yang dimaknai sebagaimana pemaknaan tunggal yang telah disampaikan sebelumnya. Bahwa kondisi ini tentu sangat merugikan pekerja yang didalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, yang mengatur usia pensiun secara berbeda dengan pengaturan dalam PP 45/2015. Bahwa karena kondisi ini sangat merugikan para pekerja/buruh maka pemahaman yang keliru tersebut harus diluruskan agar tidak semakin berdampak luas (merugikan pekerja/buruh). Untuk membongkar kekeliruan berpikir yang disampaikan kaum polemikus, selanjutnya akan dibahas secara ringkas dengan menjawab satu per satu argumentasi yang disampaikan kaum polemikus.
B. Beberapa
Pengertian Dasar
Sebelum
menjawab ketiga argumentasi pokok yang disampaikan kaum polemikus, penting bagi
kita untuk memahami dengan baik beberapa pengertian yang relevan dengan tujuan
penulisan ini, baik dalam perspektif sebagai konsep hukum maupun dengan
mengutip pendapat para ahli dan sumber lain yang relevan.
1. Pengertian Pensiun
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi tentang “pensiun” dan beberapa kata yang terkait adalah sebagai berikut:
a. pensiun /pénsiun/ 1 uang tunjangan
yang diberikan kepada seorang karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau kepada
istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa jika ia meninggal dunia; 2
tidak bekerja lagi dengan mendapat uang tunjangan;
b. memensiun(kan) memberhentikan dengan
memberi uang tunjangan: perusahaan itu baru saja ~ lima orang pegawainya;
c. pensiun /pénsiun/ a tidak
bekerja lagi krn selesai dinasnya: bulan de-pan ayah saya memasuki usia —
purnawirawan n pensiunan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
a.
wredatama
n pensiunan
Pengertian
pada huruf a dan b, terdapat suatu relasi kausalitas yang kuat, satu kesatuan
utuh sebagai relasi “sebab” dan “akibat”. Sebagai sebab adalah “berakhirnya
hubungan kerja” dan sebagai akibat adalah “uang tunjangan”. Dalam konsepsi
kausalitas ini, maka tidak mungkin ada “akibat” jika tidak ada “sebab”. Bahwa
tidak mungkin ada “uang tunjangan” jika tidak ada “berakhirnya hubungan kerja”.
Terlihat jelas bahwa “akibat” merupakan suatu kondisi yang serta merta karena “sebab”,
atau “uang tunjangan” serta merta diberikan kepada pekerja jika “berakhirnya
hubungan kerja”.
Jika dicermati dengan seksama, terdapat relasi kausalitas antara 2 (dua) kondisi sebagai kontruksi dasar dalam pembentukan kata “pensiun” yakni (1) kondisi dimana seseorang tidak bekerja lagi karena telah mencapai usia pensiun (usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum), (2) konsekuensi atas tidak dapat bekerja lagi kepada pekerja yang bersangkutan atau ahli waris diberikan sejumlah uang sebagai suatu kompensasi. Dari konstruksi dasar pembentukan kata “pensiun” tersebut, maka pemaknaan terhadap kata “pensiun” harus dimaknai sebagai satu kesatuan utuh antara kondisi tidak dapat bekerjanya seseorang karena suatu hal tertentu , yakni karena seseorang tersebut telah mencapai usia pensiun (usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum), dan kompensasi (uang tunjangan) yang didapat yang dikaitkan dengan sebab berhentinya seseorang atas pekerjaan tersebut yang nilainya dikaitkan dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, atau sesuai dengan mekanisme perhitungan yang telah ditentukan oleh penyelenggara Dana Pensiun, dalam hal pembayaran kompensasi atas kondisi berhentinya bekerja seseorang dikelola oleh Lembaga Dana Pensiun.
perundang-undangan
saat ini, yang kemudian oleh sebagian orang berusaha mengaburkan pemaknaan akan
“usia pensiun” yang direflesikan pada berbagai jenis ketentuan “manfaat
pensiun” tersebut. Cara berpikir yang demikian tentu saja keliru, sesat dan
menyesatkan, bahkan merugikan, terutama kepada para pekerja..
Untuk
membantu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pensiun, berikut
disampaikan pengertian tentang pensiun menurut pendapat beberapa ahli dan dari
wikipedia, yang antara lain:
·
Menurut Turner &
Helms (dalam Hurlock, 2002), Pensiun adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari
pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi
berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya.
·
Menurut
Ranupandojo (1982), masa pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah
uang tertentu secara berkala dalam waktu yang lama, atau setelah mencapai batas
usia tertentu dimana pegawai telah berhenti bekerja.
·
Menurut
Manullang (1982), merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan kerja, karena
suatu sebab tertentu, selain itu pensiun dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana individu telah berhenti bekerja setelah mencapai batas usia atau
setelah jangka waktu tertentu dan menerima uang balas jasa dari perusahaan atau
badan pensiun.
·
Rosanti
dan Krisnansari (2010), mengatakan bahwa pensiun merupakan putusnya hubungan
kerja antara karyawan dengan organisasi tempat bekerja pada saat karyawan sudah
mencapai usia tertentu.
·
Sutarto
dan Ismulcokro (2008), mengatakan bahwa pensiun tidak hanya sekedar berhenti
bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna
purnabakti, tugas selesai, atau berhenti.
·
Pensiun atau purnatugas adalah
seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus
diberhentikan, ataupun atas permintaan sendiri (pensiun muda). Seseorang yang
pensiun biasanya hak atas dana pensiun atau pesangon. Jika mendapat pensiun,
maka ia tetap dana pensiun sampai meninggal dunia (https://id.wikipedia.org/wiki/Pensiun).
Dari keseluruhan pengertian tentang pensiun yang disampaikan para ahli, tetap tidak bergeser pada kedua kondisi yang membentuk kata “pensiun” sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dari keseluruhan pengertian tersebut diatas, esensi kausalitas “sebab” dan “akibat” melekat dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Bahwa antara peristiwa “berakhirnya hubungan kerja” dan/atau “berhenti bekerja” dengan “uang tunjangan”, atau “dana pensiun”, atau “kompensasi pensiun” merupakan satu kesatuan yang utuh dalam relasi sebab akibat. Keutuhan relasi sebab akibat yang utuh inilah yang membentuk konstruksi pengertian Pasal 1 angka 15 PP 45/2015 sebagai ketentuan formil.
Pasal 22 (UU 11/1992) 1. Dalam
hal Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, besarnya hak
atas manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. dalam hal pensiunan meninggal dunia, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada janda/duda yang sah sekurang-kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari manfaat pensiun
yang telah dibayarkan kepada pensiunan; b. dalam hal peserta meninggal dunia dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum dicapainya usia pensiun normal, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
janda/duda yang sah sekurang- kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari yang
seharusnya dibayarkan kepada peserta apabila peserta pensiun sesaat sebelum
meninggal dunia. c. dalam hal peserta meninggal dunia lebih dari 10 (sepuluh) tahun sebelum dicapainya usia pensiun normal, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada janda/duda yang sah sekurang- kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari yang seharusnya menjadi
haknya apabila ia berhenti bekerja. 2. Dalam hal tidak ada janda/duda yang sah atau janda/duda meninggal dunia, manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan kepada anak yang belum dewasa dari peserta.
3. Pembayaran manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara sekaligus. |
2. Pengertian Manfaat Pensiun
Dalam kaitannya dengan konsep waktu, ditegaskan lebih lanjut pada ketentuan Pasal 1 angka 10, yang menyatakan “Manfaat Pensiun Normal” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang mulai dibayarkan pada saat peserta pensiun setelah mencapai usia pensiun normal atau sesudahnya; ketentuan Pasal 1 angka 11 menyatakan “Manfaat Pensiun Dipercepat” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang dibayarkan bila peserta pensiun pada usia tertentu sebelum usia pensiun normal; selanjutnya Pasal 1 angka 12 menyatakan “Manfaat Pensiun Cacat” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang dibayarkan bila peserta menjadi cacat, dan Pasal 1 angka 13 menyatakan “Pensiun Ditunda” adalah hak atas manfaat pensiun bagi peserta yang berhenti bekerja sebelum mencapai usia pensiun normal, yang ditunda pembayarannya sampai pada saat peserta pensiun sesuai dengan peraturan Dana Pensiun. Terhadap keseluruhan ketentuan yang dikaitkan dengan konsep waktu tersebut, diketahui pembayaran manfaat pensiun dilakukan pada saat ketika peserta tidak bekerja lagi dengan berbagai kondisi sebagaimana dinyatakan pada setiap ketentuan tersebut.
Pasal 24
Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun, sekurang-kurangnya berhak menerima secara sekaligus himpunan iurannya sendiri, ditambah bunga yang layak; Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan belum mencapai usia pensiun dipercepat, berhak menerima Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat pemberhentian. Peserta Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan belum mencapai usia pensiun dipercepat, berhak atas jumlah iurannya sendiri dan iuran pemberi kerja beserta hasil pengembangannya yang harus dipergunakan untuk memperoleh pensiun ditunda.
Pasal 27
- Peserta yang pensiun pada usia pensiun normal atau setelahnya, berhak atas manfaat pensiun yang dihitung berdasarkan rumus pensiun yang berlaku bagi kepesertaannya sampai saat pensiun.
- Usia pensiun normal wajib ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun dan tidak boleh melebihi usia yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi masalah ketenagakerjaan.
- Seorang peserta yang pensiun sebelum mencapai usia pensiun normal berhak mengajukan pembayaran Manfaat Pensiun dipercepat dengan ketentuan : a. berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, sebelum usia pensiun normal; atau b. dalam keadaan cacat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
- Nilai Manfaat Pensiun Dipercepat sekurang-kurangnya harus sama dengan nilai sekarang dari Pensiun Ditunda.
- Dalam peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan batas usia maksimum peserta wajib pensiun dalam hal peserta tetap bekerja setelah dicapainya usia pensiun normal, dengan ketentuan bahwa batas usia maksimum dimaksud sesuai dengan usia yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi masalah ketenagakerjaan.
Jika
kita mencermati dengan seksama ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24 dan
Pasal 27 UU 11/1992, jelas terlihat bahwa pemaknaan akan usia pensiun merupakan
pemaknaan tunggal atas dua kondisi yang melekat sekaligus sebagai unsur pokok
dalam pembentukan kata pensiun sebagai konsep hukum yaitu acuan waktu untuk
menentukan berakhirnya hubungan kerja demi hukum, dan sekaligus merupakan acuan
waktu untuk menentukan kapan pembayaran manfaat pensiun. Dari sini kita bisa
menilai kekeliruan berpikir yang disampaikan kaum polemikus. Bahwa secara nyata
konsepsi berpikir yang diwacanakan kaum polemikus adalah keliru dan tidak
berdasar.
C.
Sistematika
Ketentuan Usia Pensiun Dalam PP 45/2015
Untuk memudahkan dalam memahami pemaknaan ketentuan pensiun dalam PP 45/2015, kita merujuk kepada beberapa konsep hukum dalam PP 45/2015 antara lain: Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 15. Selanjutnya kita juga harus memahami dengan baik sistematika ketentuan Bab III “Manfaat Pensiun”, pada Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16. Secara teknis, ketentuan Pasal 14 mengatur tentang “penerima manfaat pensiun”. Pada intinya ketentuan dalam Pasal 14 menjelaskan tentang subyek hukum yang menerima manfaat pensiun yang dikaitkan dengan berbagai kondisi yang melingkupi penentuan subyek hukum penerima manfaat pensiun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara keseluruhan ketentuan Pasal 14 untuk memastikan “siapa” yang berhak atas manfaat pensiun baik dalam perspektif “peserta” maupun dalam “perspektif” pemberi kerja/pengusaha dan/atau penyelenggara Dana Pensiun. Pengaturan ini penting agar ketika hak untuk mendapat “manfaat pensiun” timbul, maka sudah bisa dipastikan siapa yang berhak untuk mendapat “manfaat pensiun” itu.
Pasal 15 Untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun. Mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun.Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima) tahun. Dalam hal Peserta telah memasuki Usia Pensiun tetapi yang bersangkutan tetap dipekerjakan, Peserta dapat memilih untuk menerima Manfaat Pensiun pada saat mencapai Usia Pensiun atau pada saat berhenti bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga) tahun setelah Usia Pensiun. |
Untuk
semakin memudahkan, berikut diberikan satu contoh lain. Pak Kadir bekerja pada
PT. Perjuangan Hidup. Didalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. Perjuangan
Hidup ditentukan bahwa ketika seorang pekerja mencapai usia 45 tahun atau masa
kerja 20 tahun dapat mengajukan pensiun dini. Ketika Pak Kadir mencapai usia 45
tahun Pak Kadir mengajukan pensiun dini. Dalam hal demikian, maka pada usia 45
tahun Pak Kadir, demi hukum berakhir hubungan kerja dengan PT. Perjuangan Hidup
dan berhak menerima manfaat pensiun. Usia pensiun dini sebagai konsep hukum
yang ditetapkan dalam PKB PT. Perjuangan Hidup identik dengan pengertian usia
pensiun dipercepat sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 11 UU 11/1992.
Pasal 16 Manfaat
Pensiun berupa: a.
pensiun hari tua; b.
pensiun cacat; c.
pensiun Janda atau Duda; d.
pensiun Anak; atau e.
pensiun Orang Tua. |
Untuk
semakin menajamkan pemahaman kita dalam memaknai usia pensiun sebagai satu
kesatuan utuh yakni sebagai acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan
kerja demi hukum dan acuan waktu untuk menentukan kapan peserta mendapatkan
manfaat pensiun, kita bandingkan dengan beberapa ketentuan dalam UU No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004). Beberapa
ketentuan yang kita jadi rujukan untuk memperjelas kekeliruan konsepsi berpikir
kaum polemikus antara lain: Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 17, Pasal 18, Pasal
40 dan Pasal 42 ayat (1). Pasal 1 angka 1 menyatakan, “Jaminan sosial adalah
salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”. Pasal 3 menyatakan, “Sistem
Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya”. Selanjutnya Pasal 18 menyatakan, "Jenis program
jaminan sosial meliputi : a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c.
jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan e. jaminan kematian”. Keseluruhan
ketentuan tersebut menegaskan bahwa jaminan pensiun (manfaat pensiun) merupakan
salah satu bentuk dari jaminan sosial yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan sosial kepada seluruh rakyat (dalam tulisan ini secara spesifik
kepada pekerja/buruh) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara
layak bagi dirinya (peserta) maupun anggota keluarganya. Dalam pemahaman ini
jika dikaitkan dengan pengertian pensiun yang disampaikan beberapa ahli yang
telah dikutip diawal, bahwa kondisi kerentanan sosial-ekonomi ini terjadi
ketika seseorang telah berhenti bekerja (mencapai usia pensiun).
Selanjutnya,
dalam kaitannya dengan pekerja/buruh, berdasarkan ketentuan Pasal 17, Pasal 40
dan Pasal 42 ayat (1), kepesertaan pekerja dibebankan dengan kewajiban membayar
iuran kepesertaan yang diperhitungkan dengan prosentase tertentu dari upah.
Dalam hal ini maka ketika peserta mencapai usia pensiun, tidak lagi mendapatkan
upah, maka sebagai konsekuensi logis iuran pekerja sebagai peserta otomatis
berhenti dan dengan demikian merupakan konsekuensi logis juga jika seketika
setelahnya pekerja sebagai peserta berhak atas manfaat pensiun. Relasi
kausalitas ini dikaitkan dengan fakta berkurangnya penghasilan pekerja ketika
berhenti bekerja karena mencapai usia pensiun dimana untuk itu berhak untuk
mendapatkan jaminan perlindungan sosial agar pekerja tetap mampu memenuhi
kebutuhan hidup dirinya dan keluarga secara layak terutama dalam hal pemenuhan
kebutuhan dasar.
D. Mengkonstrusikan
Pemaknaan “Usia Pensiun” Sebagai “Usia Acuan Untuk Menentukan Hak Atas Manfaat
Pensiun”.
Pasal 81 Angka
41 Pasal 151A Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh
Pengusaha dalam hal: a.
Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan
sendiri; b.
Pekerja/Buruh dan Pengusaha berakhir Hubungan
Kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu; c. Pekerja/Buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama;
atau d. Pekerja/Buruh meninggal dunia. Pasal 81 Angka
45 Pasal 154A ayat (1) huruf n Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; |
Pemaknaan
yang sama juga sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 81 angka 45 Pasal
154A ayat (1) huruf n, yakni sebagai acuan waktu untuk menentukan berakhirnya
hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha demi hukum. Bahwa sehubungan
dengan berakhirnya hubungan kerja tersebut berakhir hak dan kewajiban antara
pekerja dengan pengusaha termasuk didalamnya adalah berakhirnya kewajiban pengusaha
untuk memotong sebagian upah pekerja untuk iuran kepesertaan pada penyelenggara
Dana Pensiun, dan dengan berakhir hubungan kerja tersebut, timbul kewajiban
pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja dan menimbulkan kewajiban
bagi penyelenggara Dana Pensiun untuk memberikan manfaat pensiun kepada pekerja
tersebut serta diwaktu yang sama menimbulkan hak pada pekerja untuk mendapatkan
ha katas kompensasi karena berkahirnya hubungan kerja dan hak atas manfaat
pensiun. Hal yang sama juga terkandung pada ketentuan Pasal 36 huruf n jo.
Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP
35/2021) yang secara substansi mengatur hal yang sama dengan ketentuan dalam UU
6/2023 yang telah disampaikan sebelumnya. Untuk semakin menegaskan pemahaman
akan pemaknaan usia pensiun, kita bisa membandingkan keseluruhan uraian
tersebut dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU13/2003).
E. Kesimpulan
Pada
bagian kesimpulan ini kita akan menjawab ketiga argumentasi yang disampaikan
oleh kaum polemikus. Bahwa terhadap argumentasi pertama, dengan yakin kita
katakan bahwa argumentasi yang disampaikan kaum polemikus adalah tidak benar.
Dengan berdasarkan pada keseluruhan uraian yang telah disampaikan, terlihat
jelas bahwa pemaknaan atas usia pensiun adalah pemaknaan yang tunggal atas
kedua kondisi sebagai kontruksi dasar pembentukan kata pensiun yakni bahwa usia
pensiun harus dimaknai sebagai acuan usia untuk menentukan waktu berakhirnya
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja demi hukum, dan acuan waktu yang
sama digunakan sebagai acuan waktu untuk menentukan kapan pekerja sebagai
peserta pada Dana Pensiun berhak atas manfaat pensiun.
Terhadap
argumentasi kedua, bahwa sebagai konsep hukum adalah benar jika “usia pensiun”
dan “manfaat pensiun” adalah dua hal yang berbeda. Jika perbedaan kedua konsep
hukum tersebut tetap dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri tentu tidak
menimbulkan permasalah. Permasalah akan timbul ketika kedua konsep hukum
tersebut menjadi satu kesatuan ketentuan dalam sebuah norma hukum yang
menciptakan implikasi hukum baru, maka eksistensi kedua konsep hukum tersebut
selain dilihat dalam pengertian pada hakekat eksitensinya harus juga dilihat
dalam hakekat eksistensi baru sebagai implikasi hukum atas penggabungan kedua
konsep hukum tersebut dalam satu kesatuan norma hukum. Jika kedua konsep hukum
tersebut tetap dipandang sebatas hakekat eksistensi yang berdiri sendiri maka
yang terjadi adalah antinomi dalam kesatuan ketentuan hukum sebagaimana yang
dibangun oleh kaum polemikus dalam memaknai ketentuan Pasal 1 angka 15.
Terhadap
argumentasi ketiga, argumentasi ini sangat tidak berdasar. Teori Fiksi Hukum
beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum diberlakukan, maka pada saat itu
pula setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak
dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum[1], yang sering dikenal dalam
bahasa Latin sebagai ignorantia iuris neminem excusat[2]. Teori Fiksi Hukum yang
semula mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat,
telah menjadi ketentuan yuridis yang mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi
peraturan tersebut. Dengan demikian terlihat jelas bahwa dalam kaitannya dengan
eksistensi dan keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan tidak didasarkan
pada apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah ada putusan lembaga
peradilan atasnya dan/atau berkaitan dengannya. Keberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan adalah sejak diundangkan dan berlaku dalam seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa dengan demikian, maka
argumentasi yang disampaikan oleh kaum polemikus tersebut tidak benar, tidak
beralasan dan tidak berdasarkan hukum.
[1]
Jimly Asshidiqqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum, Orasi Hukum pada acara
“Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007-2012”. Bandung, 19 Januari 2008, hlm 2-3.
[2]
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 2, Penerbit Kanisius, Jakarta,
2007, hlm 152.