Looking For Anything Specific?

ads header
  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

PEMAKNAAN TERHADAP KETENTUAN USIA PENSIUN

PEMAKNAAN TERHADAP KETENTUAN USIA PENSIUN

Oleh: YosepUbaama Kolin 

                Pemaknaan tentang “usia pensiun” dalam hukum ketenagakerjaan, selalu dimaknai sebagai batasan usia dimana seorang pekerja demi hukum harus berakhir hubungan kerjanya dan untuk itu pekerja berhak untuk mendapatkan kompensasi sebagai konsekuensi hukum dari berakhirnya hubungan kerja dimaksud. Bahwa pemaknaan tersebut adalah pemaknaan yang tunggal, maksudnya bahwa tidak ada yang lain selain pemaknaan yang demikian. Pasca terbitnya PP No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (PP 45/2015), muncul polemik tentang pemaknaan usia pensiun yang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan tunggal yang disampaikan sebelumnya. Polemik itu secara dominan muncul dari kalangan HRD. Polemik ini tentu terasa janggal sebab jika dicermati secara seksama, sesungguhnya tidak ada ruang polemik dan/atau ambiguitas tafsir dalam keseluruhan pemaknaan terhadap ketentuan usia pensiun dalam PP 45/2015.

Tulisan ini berusaha untuk menggali pemaknaan usia pensiun yang menjadi polemik tersebut dengan maksud untuk menguji rasionalitas argumentasi yang disampaikan para polemikus perihal pemaknaan terhadap ketentuan usia pensiun dalam PP 45/2015. Argumentasi yang dibangun oleh kaum polemikus bahwa substansi dalam PP 45/2015 tidak mengatur tentang usia pensiun sebagaimana pemaknaan tunggal yang disampaikan sebelumnya, tetapi hanya mengatur tentang manfaat pensiun. Bahwa manfaat pensiun dipisahkan dengan usia pensiun. Sekilas, konstruksi hukum yang dibangun sudah memperlihatkan kelemahan argumentasi hukum yang serius.

 

A. Argumentasi Kaum Polemikus Tentang Pemaknaan “Usia Pensiun” Dalam PP 45/2015.

Sehubungan dengan penafsiran berbeda terhadap ketentuan dalam PP 45/2015 yang disampaikan kaum polemikus, untuk mempertahankan pendapat tersebut kaum polemikus menyampaikan beberapa argumentasi yang antara lain adalah sebagai berikut:

1)      Bahwa PP 45/2015 tidak mengatur tentang “usia pensiun” sebagai acuan usia untuk menentukan kapan hubungan kerja berakhir demi hukum dimana sekaligus dikaitkan dengan hak atas manfaat pensiun, tetapi hanya mengatur tentang waktu bagi pekerja yang telah mencapai usia pensiun untuk mendapatkan “manfaat pensiun”, dimana waktu untuk mendapatkan manfaat pensiun tidak dikaitkan sebagai satu kesatuan yang utuh dengan acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja demi hukum. Dasar argumentasi yang dibangun merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 15 yang menyatakan; “Usia Pensiun adalah usia saat peserta dapat mulai menerima manfaat pensiun”.

Bahwa masih terkait dengan argumentasi pada angka 1, dibangun argumentasi selanjutnya yang disampaikan bahwa “usia pensiun” dengan “manfaat pensiun” merupakan dua hal yang berbeda, sementara definisi tentang “usia pensiun” dalam PP 45/2015 adalah definisi tentang usia pensiun 

1)      dalam hal seseorang mendapat manfaat pensiun, bukan dimaknai dalam pengertian acuan usia sebagai penentu kapan seseorang purna tugas atau purna bhakti dan/atau sebagai acuan usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum. Dalam konsepsi berpikir ini, kaum polemikus mengatakan bahwa acuan usia untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan kerja demi hukum karena pekerja telah mencapai usia pensiun dan kapan acuan usia untuk mendapatkan manfaat pensiun merupakan dua acuan usia yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

2)      Kaum polemikus juga berargumen bahwa sejauh yang mereka ketahui, hingga saat ini belum ada satupun lembaga Peradilan yang memutus perkara yang berkaitkan dengan PP 45/2015, dimana karena itu mereka berpendapat bahwa hal ini mengindikasikan meskipun secara nyata eksistensi PP 45/2015 ada, namun tidak berlaku karena belum teruji di lembaga Peradilan.

Dengan berdasarkan pada ketiga argumentasi tersebut, kaum polemikus berkeyakinan bahwa pemaknaan dan/atau penafsiran akan PP 45/2015 yang mereka sampaikan adalah benar sehingga menjadi dasar legitimasi bagi mereka mengabaikan pelaksanaan ketentuan pensiun yang dimaknai sebagaimana pemaknaan tunggal yang telah disampaikan sebelumnya. Bahwa kondisi ini tentu sangat merugikan pekerja yang didalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, yang mengatur usia pensiun secara berbeda dengan pengaturan dalam PP 45/2015. Bahwa karena kondisi ini sangat merugikan para pekerja/buruh maka pemahaman yang keliru tersebut harus diluruskan agar tidak semakin berdampak luas (merugikan pekerja/buruh). Untuk membongkar kekeliruan berpikir yang disampaikan kaum polemikus, selanjutnya akan dibahas secara ringkas dengan menjawab satu per satu argumentasi yang disampaikan kaum polemikus.

 

B. Beberapa Pengertian Dasar

Sebelum menjawab ketiga argumentasi pokok yang disampaikan kaum polemikus, penting bagi kita untuk memahami dengan baik beberapa pengertian yang relevan dengan tujuan penulisan ini, baik dalam perspektif sebagai konsep hukum maupun dengan mengutip pendapat para ahli dan sumber lain yang relevan.


1.       Pengertian Pensiun

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi tentang “pensiun” dan beberapa kata yang terkait adalah sebagai berikut:

a.  pensiun /pénsiun/ 1 uang tunjangan yang diberikan kepada seorang karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau kepada istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa jika ia meninggal dunia; 2 tidak bekerja lagi dengan mendapat uang tunjangan;

b.   memensiun(kan) memberhentikan dengan memberi uang tunjangan: perusahaan itu baru saja ~ lima orang pegawainya;

c.   pensiun /pénsiun/ a tidak bekerja lagi krn selesai dinasnya: bulan de-pan ayah saya memasuki usia —

      purnawirawan n pensiunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

a.       wredatama n pensiunan

Pengertian pada huruf a dan b, terdapat suatu relasi kausalitas yang kuat, satu kesatuan utuh sebagai relasi “sebab” dan “akibat”. Sebagai sebab adalah “berakhirnya hubungan kerja” dan sebagai akibat adalah “uang tunjangan”. Dalam konsepsi kausalitas ini, maka tidak mungkin ada “akibat” jika tidak ada “sebab”. Bahwa tidak mungkin ada “uang tunjangan” jika tidak ada “berakhirnya hubungan kerja”. Terlihat jelas bahwa “akibat” merupakan suatu kondisi yang serta merta karena “sebab”, atau “uang tunjangan” serta merta diberikan kepada pekerja jika “berakhirnya hubungan kerja”.

Jika dicermati dengan seksama, terdapat relasi kausalitas antara 2 (dua) kondisi sebagai kontruksi dasar dalam pembentukan kata “pensiun” yakni (1) kondisi dimana seseorang tidak bekerja lagi karena telah mencapai usia pensiun (usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum), (2) konsekuensi atas tidak dapat bekerja lagi kepada pekerja yang bersangkutan atau ahli waris diberikan sejumlah uang sebagai suatu kompensasi. Dari konstruksi dasar pembentukan kata “pensiun” tersebut, maka pemaknaan terhadap kata “pensiun” harus dimaknai sebagai satu kesatuan utuh antara kondisi tidak dapat bekerjanya seseorang karena suatu hal tertentu , yakni karena seseorang tersebut telah mencapai usia pensiun (usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum), dan kompensasi (uang tunjangan) yang didapat yang dikaitkan dengan sebab berhentinya seseorang atas pekerjaan tersebut yang nilainya dikaitkan dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, atau sesuai dengan mekanisme perhitungan yang telah ditentukan oleh penyelenggara Dana Pensiun, dalam hal pembayaran kompensasi atas kondisi berhentinya bekerja seseorang dikelola oleh Lembaga Dana Pensiun.

Selanjutnya pada huruf c, d dan e, dapat kita pahami bahwa “pensiun” merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi bekerja. Kondisi tidak bekerja lagi ini karena karena konsekuensi hukum dari tercapainya usia berakhirnya hubungan kerja demi hukum. Secara normative, setiap lembaga atau institusi dan perusahaan swasta telah mempunyai acuan usia tertentu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja demi hukum. Kondisi tidak lagi bekerja ini dalam lingkup Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dikenal dengan istilah “purnawirawan”, dalam lingkup ASN secara keseluruhan dikenal dengan istilah “wredatama” yang saat ini lebih identik sebagai wadah atau lembaga untuk mengelola manfaat pensiun bagi para ASN yang telah pensiun. Dalam kehidupan sehari-hari misal kita mendengar orang mengatakan, “Pak Basuki seorang purnawirawan”, maka tidak ada pemaknaan lain selain bahwa pak Basuki merupakan seorang anggota ABRI yang telah purna tugas atau pensiun dari angkatan bersenjata. Bahwa purna tugas atau purna bhakti Pak Basuki karena yang bersangkutan telah mencapai usia purna tugas demi hukum yang disertai perolehan atas hak-hak sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga setelahnya Pak Basuki pada setiap bulan menerima manfaat pensiun. Pemaknaan tunggal yang sama jika kita mengatakan seseorang telah “pensiun”, maka tidak ada pemaknaan lain selain bahwa orang tersebut telah tidak bekerja lagi karena mencapai suatu usia tertentu. Pemaknaan ini adalah pemaknaan tunggal jauh sebelum munculnya berbagai ketentuan yang mengatur tentang berbagai jenis “manfaat pensiun” dalam peraturan 

perundang-undangan saat ini, yang kemudian oleh sebagian orang berusaha mengaburkan pemaknaan akan “usia pensiun” yang direflesikan pada berbagai jenis ketentuan “manfaat pensiun” tersebut. Cara berpikir yang demikian tentu saja keliru, sesat dan menyesatkan, bahkan merugikan, terutama kepada para pekerja..

Untuk membantu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pensiun, berikut disampaikan pengertian tentang pensiun menurut pendapat beberapa ahli dan dari wikipedia, yang antara lain:

·         Menurut Turner & Helms (dalam Hurlock, 2002), Pensiun adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya.

·         Menurut Ranupandojo (1982), masa pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah uang tertentu secara berkala dalam waktu yang lama, atau setelah mencapai batas usia tertentu dimana pegawai telah berhenti bekerja.

·         Menurut Manullang (1982), merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan kerja, karena suatu sebab tertentu, selain itu pensiun dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu telah berhenti bekerja setelah mencapai batas usia atau setelah jangka waktu tertentu dan menerima uang balas jasa dari perusahaan atau badan pensiun.

·         Rosanti dan Krisnansari (2010), mengatakan bahwa pensiun merupakan putusnya hubungan kerja antara karyawan dengan organisasi tempat bekerja pada saat karyawan sudah mencapai usia tertentu.

·         Sutarto dan Ismulcokro (2008), mengatakan bahwa pensiun tidak hanya sekedar berhenti bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna purnabakti, tugas selesai, atau berhenti.

·         Pensiun atau purnatugas adalah seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan, ataupun atas permintaan sendiri (pensiun muda). Seseorang yang pensiun biasanya hak atas dana pensiun atau pesangon. Jika mendapat pensiun, maka ia tetap dana pensiun sampai meninggal dunia (https://id.wikipedia.org/wiki/Pensiun).

Dari keseluruhan pengertian tentang pensiun yang disampaikan para ahli, tetap tidak bergeser pada kedua kondisi yang membentuk kata “pensiun” sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dari keseluruhan pengertian tersebut diatas, esensi kausalitas “sebab” dan “akibat” melekat dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Bahwa antara peristiwa “berakhirnya hubungan kerja” dan/atau “berhenti bekerja” dengan “uang tunjangan”, atau “dana pensiun”, atau “kompensasi pensiun” merupakan satu kesatuan yang utuh dalam relasi sebab akibat. Keutuhan relasi sebab akibat yang utuh inilah yang membentuk konstruksi pengertian Pasal 1 angka 15 PP 45/2015 sebagai ketentuan formil.


Pasal 22 (UU 11/1992)

1. Dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, besarnya hak atas manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. dalam hal pensiunan meninggal dunia, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada janda/duda  

   yang sah sekurang-kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari manfaat pensiun yang telah dibayarkan kepada pensiunan;

b. dalam hal peserta meninggal dunia dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum dicapainya  

   usia pensiun normal, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada janda/duda yang sah sekurang- kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari yang seharusnya dibayarkan kepada peserta apabila peserta pensiun sesaat sebelum meninggal dunia.

c. dalam hal peserta meninggal dunia lebih dari 10 (sepuluh) tahun sebelum dicapainya usia  

    pensiun normal, manfaat pensiun yang dibayarkan kepada janda/duda yang sah sekurang- 

  kurangnya 60% (enam puluh perseratus) dari yang seharusnya menjadi haknya apabila ia berhenti bekerja.

2.    Dalam hal tidak ada janda/duda yang sah atau janda/duda meninggal dunia, manfaat pensiun 

      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan kepada anak yang belum dewasa dari peserta.

3.    Pembayaran manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat dilakukan

       secara sekaligus.


2.  
Pengertian Manfaat Pensiun

       Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU 11/1992), “Manfaat Pensiun” adalah pembayaran berkala yang dibayarkan kepada peserta pada saat dan dengan cara yang ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun. Dalam pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) ketentuan yaitu: (1) Manfaat pensiun merupakan pembayaran yang dilakukan secara berkala kepada peserta oleh Dana Pensiun; (2) Pembayaran manfaat pensiun yang dilakukan secara berkala kepada peserta, dilakukan pada saat (waktu) yang ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun; (3) Pembayaran manfaat pensiun yang dilakukan secara berkala kepada peserta, dilakukan dengan cara yang ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun. Pada ketentuan pertama dapat dikatakan merupakan penegasan hahekat eksistensi akan manfaat pensiun, pada ketentuan kedua berkaitan dengan konsep waktu yakni kapan peserta berhak atas manfaat pensiun, dan pada ketentuan ketiga berkaitan dengan teknis pembayaran manfaat pensiun oleh Dana Pensiun kepada peserta.

Dalam kaitannya dengan konsep waktu, ditegaskan lebih lanjut pada ketentuan Pasal 1 angka 10, yang menyatakan “Manfaat Pensiun Normal” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang mulai dibayarkan pada saat peserta pensiun setelah mencapai usia pensiun normal atau sesudahnya; ketentuan Pasal 1 angka 11 menyatakan “Manfaat Pensiun Dipercepat” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang dibayarkan bila peserta pensiun pada usia tertentu sebelum usia pensiun normal; selanjutnya Pasal 1 angka 12 menyatakan “Manfaat Pensiun Cacat” adalah manfaat pensiun bagi peserta yang dibayarkan bila peserta menjadi cacat, dan Pasal 1 angka 13 menyatakan “Pensiun Ditunda” adalah hak atas manfaat pensiun bagi peserta yang berhenti bekerja sebelum mencapai usia pensiun normal, yang ditunda pembayarannya sampai pada saat peserta pensiun sesuai dengan peraturan Dana Pensiun. Terhadap keseluruhan ketentuan yang dikaitkan dengan konsep waktu tersebut, diketahui pembayaran manfaat pensiun dilakukan pada saat ketika peserta tidak bekerja lagi dengan berbagai kondisi sebagaimana dinyatakan  pada setiap ketentuan tersebut.


Pasal 24

Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun, sekurang-kurangnya berhak menerima secara sekaligus himpunan iurannya sendiri, ditambah bunga yang layak; Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan belum mencapai usia pensiun dipercepat, berhak menerima Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat pemberhentian. Peserta Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan belum mencapai usia pensiun dipercepat, berhak atas jumlah iurannya sendiri dan iuran pemberi kerja beserta hasil pengembangannya yang harus dipergunakan untuk memperoleh pensiun ditunda.


Bahwa terhadap keseluruhan konsep hukum yang didasarkan pada ketentuan UU 11/1992, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, terlihat jelas bahwa pemaknaan akan “usia pensiun” merupakan acuan usia untuk menentukan waktu berakhirnya hubungan kerja sebagaimana yang dijelaskan pada setiap konsep hukum tersebut yang kemudian dikaitkan dengan “manfaat pensiun” sebagai konsekuensi hukum atasnya. Untuk menegaskan kesatuan relasi antara “usia pensiun” dengan “manfaat pensiun” kita bisa membandingkan dengan ketentuan Pasal 22 UU 11/1992. Relasi yang kuat antara “usia pensiun” dengan “manfaat pensiun” sebagaimana jelas termaktub dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1). Dari ketentuan ini terlihat jelas bahwa “manfaat pensiun” seketika dikaitkan dengan “usia pensiun” dalam pengertian sebagai acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja. Penegasan pemaknaan ini dijumpai kembali pada Pasal 24 dan Pasal 27 UU 11/1992

Pasal 27

  1. Peserta yang pensiun pada usia pensiun normal atau setelahnya, berhak atas manfaat pensiun  yang dihitung berdasarkan rumus pensiun yang berlaku bagi kepesertaannya sampai saat pensiun.
  2. Usia pensiun normal wajib ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun dan tidak boleh melebihi usia yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi masalah ketenagakerjaan.
  3. Seorang peserta yang pensiun sebelum mencapai usia pensiun normal berhak mengajukan pembayaran Manfaat Pensiun dipercepat dengan ketentuan : a. berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, sebelum  usia pensiun normal; atau b. dalam keadaan cacat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
  4. Nilai Manfaat Pensiun Dipercepat sekurang-kurangnya harus sama dengan nilai sekarang dari Pensiun Ditunda.
  5. Dalam peraturan Dana Pensiun dapat ditetapkan batas usia maksimum peserta wajib pensiun dalam hal peserta tetap bekerja setelah dicapainya usia pensiun normal, dengan ketentuan bahwa batas usia  maksimum dimaksud sesuai dengan usia yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi masalah  ketenagakerjaan.

Jika kita mencermati dengan seksama ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24 dan Pasal 27 UU 11/1992, jelas terlihat bahwa pemaknaan akan usia pensiun merupakan pemaknaan tunggal atas dua kondisi yang melekat sekaligus sebagai unsur pokok dalam pembentukan kata pensiun sebagai konsep hukum yaitu acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja demi hukum, dan sekaligus merupakan acuan waktu untuk menentukan kapan pembayaran manfaat pensiun. Dari sini kita bisa menilai kekeliruan berpikir yang disampaikan kaum polemikus. Bahwa secara nyata konsepsi berpikir yang diwacanakan kaum polemikus adalah keliru dan tidak berdasar.


C.     Sistematika Ketentuan Usia Pensiun Dalam PP 45/2015

Untuk memudahkan dalam memahami pemaknaan ketentuan pensiun dalam PP 45/2015, kita merujuk kepada beberapa konsep hukum dalam PP 45/2015 antara lain: Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 15. Selanjutnya kita juga harus memahami dengan baik sistematika ketentuan Bab III “Manfaat Pensiun”, pada Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16. Secara teknis, ketentuan Pasal 14 mengatur tentang “penerima manfaat pensiun”. Pada intinya ketentuan dalam Pasal 14 menjelaskan tentang subyek hukum yang menerima manfaat pensiun yang dikaitkan dengan berbagai kondisi yang melingkupi penentuan subyek hukum penerima manfaat pensiun. Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara keseluruhan ketentuan Pasal 14 untuk memastikan “siapa” yang berhak atas manfaat pensiun baik dalam perspektif “peserta” maupun dalam “perspektif” pemberi kerja/pengusaha dan/atau penyelenggara Dana Pensiun. Pengaturan ini penting agar ketika hak untuk mendapat “manfaat pensiun” timbul, maka sudah bisa dipastikan siapa yang berhak untuk mendapat “manfaat pensiun” itu.

Pasal 15

Untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun. Mulai 1 Januari  2019, Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun.Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima) tahun. Dalam hal Peserta telah memasuki Usia Pensiun tetapi yang bersangkutan tetap dipekerjakan, Peserta dapat memilih untuk menerima Manfaat Pensiun pada saat mencapai Usia Pensiun atau pada saat berhenti bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga) tahun setelah Usia Pensiun.

Selanjutnya terhadap ketentuan Pasal 15, secara teknis mengatur tentang “Usia Pensiun”, dimana secara tegas dikatakan untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun, per 1 Januari 2019 Usia Pensiun ditetapkan 57 (lima puluh tujuh) tahun dan untuk selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun setiap kelipatan 3 (tiga) tahun, dengan usia maksimum mencapai 66 (enam puluh lima) tahun. Terhadap polemik yang dimunculkan oleh kaum polemikus, mungkin mereka lupa membaca ketentuan ayat (4). Untuk memudahkan pemahaman dan pemaknaan terhadap ayat (4) diberikan ilustrasi sebagai berikut: Pak Bejo bekerja pada PT. ABC. Pada PT. ABC usia pensiun ditetapkan 55 tahun. Dimana pada usia 55 tahun Pak Bejo purna tugas sebagai pekerja pada PT. ABC. Karena keahlian Pak Bejo masih dibutuhkan PT. ABC, pak Bejo dikaryakan kembali dengan perjanjian kontrak mencapai usia 60 tahun dan akan diperbaharui sesuai kesanggupan pak Bejo dalam bekerja. Dalam hal ini maka pak Bejo bisa mendapatkan atau mengambil “manfaat pensiun” ketika pak Bejo mencapai “usia pensiun” yakni 55 (lima pulu lima) tahun atau setelah 3 (tiga) tahun dari “usia pensiun” yakni ketika pak Bejo mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun. Dengan ilustrasi sederhana ini, jelas bahwa substansi ketentuan Pasal 15 adalah mengatur tentang “usia pensiun” dalam pemaknaan sebagai acuan usia untuk menentukan kapan seseorang berhak atas manfaat pensiun yang dikaitkan dengan acuan waktu berakhirnya hubungan kerja demi hukum.

Untuk semakin memudahkan, berikut diberikan satu contoh lain. Pak Kadir bekerja pada PT. Perjuangan Hidup. Didalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. Perjuangan Hidup ditentukan bahwa ketika seorang pekerja mencapai usia 45 tahun atau masa kerja 20 tahun dapat mengajukan pensiun dini. Ketika Pak Kadir mencapai usia 45 tahun Pak Kadir mengajukan pensiun dini. Dalam hal demikian, maka pada usia 45 tahun Pak Kadir, demi hukum berakhir hubungan kerja dengan PT. Perjuangan Hidup dan berhak menerima manfaat pensiun. Usia pensiun dini sebagai konsep hukum yang ditetapkan dalam PKB PT. Perjuangan Hidup identik dengan pengertian usia pensiun dipercepat sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 11 UU 11/1992.

Pasal 16

Manfaat Pensiun berupa:

a.   pensiun hari tua;

b.   pensiun cacat;

c.   pensiun Janda atau Duda;

d.   pensiun Anak; atau

e.   pensiun Orang Tua.

Tentang ketentuan “manfaat pensiun” telah diatur tersendiri pada Pasal 16  dan selanjutnya sampai dengan Pasal 27, yang pada intinya merupakan penjabaran dari substansi manfaat pensiun yang ditentukan Pasal 16, dengan berbagai asumsi atas situasi dan kondisi yang melingkupi masing-masing manfaat pensiun tersebut. Dengan demikian, maka tidak benar narasi yang dibangun oleh kaum polemikus.

Untuk semakin menajamkan pemahaman kita dalam memaknai usia pensiun sebagai satu kesatuan utuh yakni sebagai acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja demi hukum dan acuan waktu untuk menentukan kapan peserta mendapatkan manfaat pensiun, kita bandingkan dengan beberapa ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004). Beberapa ketentuan yang kita jadi rujukan untuk memperjelas kekeliruan konsepsi berpikir kaum polemikus antara lain: Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 40 dan Pasal 42 ayat (1). Pasal 1 angka 1 menyatakan, “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”. Pasal 3 menyatakan, “Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”. Selanjutnya Pasal 18 menyatakan, "Jenis program jaminan sosial meliputi : a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan e. jaminan kematian”. Keseluruhan ketentuan tersebut menegaskan bahwa jaminan pensiun (manfaat pensiun) merupakan salah satu bentuk dari jaminan sosial yang bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat (dalam tulisan ini secara spesifik kepada pekerja/buruh) untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak bagi dirinya (peserta) maupun anggota keluarganya. Dalam pemahaman ini jika dikaitkan dengan pengertian pensiun yang disampaikan beberapa ahli yang telah dikutip diawal, bahwa kondisi kerentanan sosial-ekonomi ini terjadi ketika seseorang telah berhenti bekerja (mencapai usia pensiun).

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pekerja/buruh, berdasarkan ketentuan Pasal 17, Pasal 40 dan Pasal 42 ayat (1), kepesertaan pekerja dibebankan dengan kewajiban membayar iuran kepesertaan yang diperhitungkan dengan prosentase tertentu dari upah. Dalam hal ini maka ketika peserta mencapai usia pensiun, tidak lagi mendapatkan upah, maka sebagai konsekuensi logis iuran pekerja sebagai peserta otomatis berhenti dan dengan demikian merupakan konsekuensi logis juga jika seketika setelahnya pekerja sebagai peserta berhak atas manfaat pensiun. Relasi kausalitas ini dikaitkan dengan fakta berkurangnya penghasilan pekerja ketika berhenti bekerja karena mencapai usia pensiun dimana untuk itu berhak untuk mendapatkan jaminan perlindungan sosial agar pekerja tetap mampu memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga secara layak terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar.

 

D. Mengkonstrusikan Pemaknaan “Usia Pensiun” Sebagai “Usia Acuan Untuk Menentukan Hak Atas Manfaat Pensiun”.


Pasal 81 Angka 41 Pasal 151A

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal:

a.   Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;

b.   Pekerja/Buruh dan Pengusaha berakhir Hubungan Kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;

c.   Pekerja/Buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau  

      Perjanjian Kerja Bersama; atau

d.   Pekerja/Buruh meninggal dunia.

Pasal 81 Angka 45 Pasal 154A ayat (1) huruf n Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun;

Pada bagian ini secara khusus kita berusaha menemukan pengertian usia pensiun dalam pemaknaan sebagai acuan usia untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan kerja demi hukum yang didasarkan pada ketentuan UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023). Berdasarkan ketentuan Pasal 81 angka 41 Pasal 151A ayat (2) huruf c menyatakan, “Pekerja/Buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama”. Terhadap ketentuan dimaksud, terkandung 2 (dua) pemaknaan yakni (1) bahwa usia pensiun dalam ketentuan tersebut merupakan acuan usia untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha demi hukum, (2) bahwa ketentuan tentang usia pensiun dapat diatur secara berbeda dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama (sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan).

Pemaknaan yang sama juga sebagaimana termaktub pada ketentuan Pasal 81 angka 45 Pasal 154A ayat (1) huruf n, yakni sebagai acuan waktu untuk menentukan berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha demi hukum. Bahwa sehubungan dengan berakhirnya hubungan kerja tersebut berakhir hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha termasuk didalamnya adalah berakhirnya kewajiban pengusaha untuk memotong sebagian upah pekerja untuk iuran kepesertaan pada penyelenggara Dana Pensiun, dan dengan berakhir hubungan kerja tersebut, timbul kewajiban pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja dan menimbulkan kewajiban bagi penyelenggara Dana Pensiun untuk memberikan manfaat pensiun kepada pekerja tersebut serta diwaktu yang sama menimbulkan hak pada pekerja untuk mendapatkan ha katas kompensasi karena berkahirnya hubungan kerja dan hak atas manfaat pensiun. Hal yang sama juga terkandung pada ketentuan Pasal 36 huruf n jo. Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) yang secara substansi mengatur hal yang sama dengan ketentuan dalam UU 6/2023 yang telah disampaikan sebelumnya. Untuk semakin menegaskan pemahaman akan pemaknaan usia pensiun, kita bisa membandingkan keseluruhan uraian tersebut dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU13/2003).

 

E. Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan ini kita akan menjawab ketiga argumentasi yang disampaikan oleh kaum polemikus. Bahwa terhadap argumentasi pertama, dengan yakin kita katakan bahwa argumentasi yang disampaikan kaum polemikus adalah tidak benar. Dengan berdasarkan pada keseluruhan uraian yang telah disampaikan, terlihat jelas bahwa pemaknaan atas usia pensiun adalah pemaknaan yang tunggal atas kedua kondisi sebagai kontruksi dasar pembentukan kata pensiun yakni bahwa usia pensiun harus dimaknai sebagai acuan usia untuk menentukan waktu berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja demi hukum, dan acuan waktu yang sama digunakan sebagai acuan waktu untuk menentukan kapan pekerja sebagai peserta pada Dana Pensiun berhak atas manfaat pensiun.

Terhadap argumentasi kedua, bahwa sebagai konsep hukum adalah benar jika “usia pensiun” dan “manfaat pensiun” adalah dua hal yang berbeda. Jika perbedaan kedua konsep hukum tersebut tetap dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri tentu tidak menimbulkan permasalah. Permasalah akan timbul ketika kedua konsep hukum tersebut menjadi satu kesatuan ketentuan dalam sebuah norma hukum yang menciptakan implikasi hukum baru, maka eksistensi kedua konsep hukum tersebut selain dilihat dalam pengertian pada hakekat eksitensinya harus juga dilihat dalam hakekat eksistensi baru sebagai implikasi hukum atas penggabungan kedua konsep hukum tersebut dalam satu kesatuan norma hukum. Jika kedua konsep hukum tersebut tetap dipandang sebatas hakekat eksistensi yang berdiri sendiri maka yang terjadi adalah antinomi dalam kesatuan ketentuan hukum sebagaimana yang dibangun oleh kaum polemikus dalam memaknai ketentuan Pasal 1 angka 15.

Terhadap argumentasi ketiga, argumentasi ini sangat tidak berdasar. Teori Fiksi Hukum beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum diberlakukan, maka pada saat itu pula setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum[1], yang sering dikenal dalam bahasa Latin sebagai ignorantia iuris neminem excusat[2]. Teori Fiksi Hukum yang semula mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, telah menjadi ketentuan yuridis yang mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut. Dengan demikian terlihat jelas bahwa dalam kaitannya dengan eksistensi dan keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan tidak didasarkan pada apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah ada putusan lembaga peradilan atasnya dan/atau berkaitan dengannya. Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan adalah sejak diundangkan dan berlaku dalam seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa dengan demikian, maka argumentasi yang disampaikan oleh kaum polemikus tersebut tidak benar, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum.



[1] Jimly Asshidiqqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum, Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007-2012”. Bandung, 19 Januari 2008, hlm 2-3.

[2] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 2, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007, hlm 152.