Peringatan Hari Buruh Sedunia atau May Day pada 1 Mei 2019 masih diwarnai dengan tuntutan para buruh agar pemerintah membendung aliran tenaga kerja asing (TKA). Apalagi banyak TKA yang diklaim sebagai tenaga ahli, namun mereka itu sebenarnya tergolong tenaga kerja biasa atau tenaga kerja kasar yang Cuma mengandalkan otot.
Keberadaan TKA telah digembar-gemborkan mampu melakukan alih teknologi. Nyatanya kebanyakan TKA pada saat ini justru tidak memiliki keahlian yang tinggi. Mereka adalah pekerja biasa yang dibungkus dengan predikat ahli tanpa melalui penilaian khusus. Dengan demikian terjadi kepalsuan dalam hal alih teknologi.
Ukuran terjadinya alih teknologi itu jika para tenaga kerja lokal yang berperan sebagai pendamping TKA benar-benar bisa menyerap keahlian baru yang belum ada atau jarang di Tanah Air. Begitupun tingkat teknologi yang dibawa oleh TKA juga tergolong teknologi canggih. Bukan teknologi lama yang sebenarnya sudah ada di negeri ini.
Selama ini TKI pendamping dibuat asal-asalan akibatnya parameter terjadinya alih teknologi tidak terjadi. Dengan demikian fungsi TKA itu sebenarnya bisa digantikan oleh tenaga kerja lokal. Namun perjanjian kontrak investasi dan perjanjian utang untuk proyek infrastruktur dan utang pihak swasta telah dibikin sedemikian rupa yangk mengutamakan peran TKA dan meminggirkan TKI.
Sebenarnya tenaga lokal lebih terampil dan lebih ahli mengoperasikan peralatan untuk pengerjaan proyek infrastruktur. Seperti terlihat dalam proyek infrastruktur jalan tol Cisumdau (Cileunyi-Sumedang-Dawuan). Dimana seksi pembuatan terowongan kembar banyak dilakukan oleh pekerja dari Cina. Sebenarnya jenis pekerjaan lapangan pembuatan terowongan itu bisa dilakukan penuh oleh pekerja lokal.
Dalam kasus TKA dari Cina definisi alih teknologi sangat jauh panggang dari api. Alih-alih transfer teknologi, para TKA dari negara tirai bambu itu sebagian besar mengalami kendala bahasa. Mereka kesulitan berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Begitu pula dokumen teknis juga dibuat dengan bahasa Cina. Dengan demikian alih teknologi yang selama ini digembar-gemborkan oleh pejabat tidak terjadi.
Kegigigan organisasi pekerja yang menentang Perpres 20/ 2018 tentang TKA sangat logis dan berdasarkan alasan yang obyektif. Terlihat jelas pasal-pasal dalam Perpres sangat merugikan tenaga kerja lokal. Sangat ironis, pemerintah justru menganak emaskan pemberi kerja/pengusaha karena mereka sekarang ini bisa seenaknya sendiri merekrut TKA dengan mudahnya.
Kita masih ingat kasus pekerja Cina yang ditahan karena melakukan kegiatan ilegal di Lanud Halim Perdana Kusuma, namun kasus itu dilupakan begitu saja. Selama ini banyak penyimpangan kompetensi TKA, sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja diambil alih oleh TKA.
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan ekonomi bebas menyebabkan TKA ke Indonesia semakin meningkat. Banyak warga negara asing (WNA) yang melakukan kunjungan khusus menjadi bekerja paruh waktu dan bisa diperpanjang secara mudah.
Usaha pemerintah untuk memacu pembangunan infrastruktur tidak sertai dengan proses transformasi, audit teknologi dan perluasan lapangan kerja atau penciptaan job creation.
Pemerintah terlihat memberikan cek kosong bagi pengusaha atau investor untuk memilih dan menentukan sendiri spesifikasi teknologi yang akan diterapkan di negeri ini. Pengadaan infrastruktur dengan skema pembiayaan apapun harus mengedepankan local content dan melibatkan seluas mungkin tenaga kerja lokal.
Agresifitas pihak Cina, baik pengusaha swastanya maupun pihak BUMN-nya untuk mendominasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, seperti proyek tenaga listrik, jalan tol, telekomunikasi, bendungan,kereta cepat, pesawat terbang komuter dan lain-lain perlu diawasi secara ketat. Agar dibelakang hari tidak merugikan.
Fungsi lembaga pemerintah yang berkompeten sebagai clearing house technology seperti BPPT, Bapenas/Bapeda dan perguruan tinggi hingga saat ini belum dilibatkan secara optimal untuk melakukan audit teknologi terhadap produk atau proyek infrastruktur yang masih dalam perencanaan maupun yang sudah berlangsung.
Terlihat rekomendasi BPPT dan lembaga sejenis masih tumpul dan kalah oleh lobi politik para pengusaha. Langkah pemerintah yang selama ini sangat mengistimewakan sindikasi perbankan asing seperti Bank Exim China dan China Export and Credit Insurance Corporation (Sinosure) untuk menggarap proyek infrastruktur pembangkit listrik belum disertai dengan assessment technology dan perhitungan yang matang terhadap biaya eksternal yang timbul. Begitu pula proyek infrastruktur yang sedang berlangsung pada saat ini juga masih belum disertai penilaian teknologi dan biaya sosial yang timbul.
Seperti contohnya untuk empat pembangkit listrik, yakni PLTU Suralaya 625 MW, PLTU Paiton Baru 660 MW, PLTU Labuan 3 x 330 MW, dan PLTU Indramayu 3 x 300 MW sangat berpotensi menimbulkan biaya eksternal yang tinggi dikemudian hari. Biaya eksternal itu dihitung menggunakan analisis penyebaran dampak dari emisi (impact pathway analysis). Biaya eksternal pembangkit listrik Suralaya saja rata-rata sebesar 0,65 cents dollar AS/kWh. Dengan adanya biaya eksternal maka biaya pembangkitan akan membengkak sekitar 15 persen dikemudian hari. Biaya eksternal tersebut merupakan biaya yang ditanggung masyarakat dan lingkungan yang tidak masuk dalam perhitungan pihak investor atau pengusaha asing.
Untuk mengatasi serbuan TKA sebaiknya dilakukan audit teknologi (auditek) untuk proyek-proyek infrastruktur dan produk teknologi asing yang masuk ke tanah air. Hal itu untuk menjamin keandalan proyek dan nilai tambah ekonomi dikemudian hari. Langkah tersebut juga bisa memperluas lapangan kerja untuk penduduk lokal, menumbuhkan industri lokal serta melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak negatif penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan sosial.
Dengan auditek yang ketat dan berwibawa bisa mengoptimalkan SDM teknologi nasional dan semakin menambah ragam profesi anak negeri. Ketentuan auditek hendaknya merujuk ketentuan yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Baik yang tergolong technoware dari aspek teknologi perangkat keras dan lunaknya. Juga mencakup aspek infoware, orgaware, dan humanware. Betapa pentingnya peran auditek dalam meningkatkan daya saing pekerja lokal. Selain itu fungsinya juga bisa menetukan dimana posisi alih teknologi pada industri nasional.
Meningkatnya TKA di perusahaan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi saat ini sangat memprihatinkan dan perlu tindakan tegas. Mengingat sudah banyak sarjana atau ahli TIK dari dalam negeri yang sudah mampu, bahkan sudah memiliki standar dunia.
Pemerintah dalam hal ini Kominfo dan Kemenaker dituntut secepatnya melakukan audit TKA di perusahaan teknologi informasi dan telekomunikasi. Perlu menerapkan secara tegas Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan aturan yang berlaku untuk tenaga asing dan lokal.
Sebagai gambaran, bahwa SKKNI Bidang Kominfo itu terdiri atas Bidang Operator Komputer, Bidang Jaringan Komputer dan Sistem Administrasi, Bidang Computer Technical Support, Bidang Jaringan Telekomunikasi Sub Bidang Jasa Multimedia, Bidang Keahlian Kehumasan, Bidang Jaringan Telekomunikasi Sub Bidang Teknisi Telekomunikasi Satelit, Bidang Auditor Teknologi Informasi, dan lainnya.
Sumber : Reakor.id