MEMAHAMI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
Oleh: Yosep Ubaama Kolin |
Persoalan tentang pekerja kontrak
seakan menjadi persoalan abadi dalam dinamika hubungan industrial. Jika
mencermati berbagai persoalan tersebut, sebetulnya hanya persoalan berulang
yang muncul kembali dengan paradigma yang sama. Hal yang paling dominan adalah
sebagai sebab timbulnya persoalan dimaksud karena upaya yang dilakukan untuk
menyiasati ketentuan hukum yang berlaku. Lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UU 11/2020), yang kemudian dalam perjalanan berubah menjadi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (PERPPU 2/2022) dan berlanjut menjadi UU No. 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan PERPPU 2/2022 Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023) mengubah beberapa hal
yang sangat mendasar dalam hal pengaturan tentang perjanjian kerja waktu
tertentu.
Untuk memudahkan dalam pemahaman
tentang perubahan ketentuan hukum yang terkait dengan perjanjian kerja waktu
tertentu, kajian ini dibuat dalam dua bagian, yang pertama untuk mengetahui dinamika
perubahan ketentuan dalam UU 13/2003 dengan UU 6/2023 dan ketentuan dengan PKWT
dalam PP 35/2021.
A.
Perubahan ketentuan tentang PKWT dalam UU 13/2003 versus
UU 6/2023.
Sebagaimana
diketahui, hadirnya Cipta Kerja (UU 11/2020, PERPPU 2/2022 dan UU 6/2023) telah
mengubah, menghapus atau membuat pengaturan baru terhadap ketentuan dalam UU
13/2003. Beberapa ketentuan terkait dengan PKWT juga terdampak dengan hadirnya
cipta kerja. Untuk mengetahui arah perubahan kebijakan hukum ketenagakerjaan
terkait dengan perjanjian kerja PKWT, disandingkan dalam tabel sebagai berikut:
UU
No. 13 TAHUN 2023 |
UU
NO. 6 TAHUN 2023 |
Pasal 56 1) Perjanjian
kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas
: a. jangka
waktu; atau b. selesainya
suatu pekerjaan tertentu |
Pasal 56 1) Perjanjian
Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 2) Perjanjian
Kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: a. jangka
waktu; atau b. selesainya
suatu pekerjaan tertentu. 3) Jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja. 4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Perjanjian Kerja waktu tertentu berdasarkan jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
Pasal 57 1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin. 2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu. 3) Dalam
hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. |
Pasal 57 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin. 2) Dalam
hal Perjanjian Kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang
berlaku Perjanjian Kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia |
Pasal 58 1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja. 2) Dalam
hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum. |
Pasal 58 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. 2) Dalam
hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa
percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja
tetap dihitung. |
Pasal 59 1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu : a. pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan
yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. 2. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. 3. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. 4. Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 5. Pengusaha
yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan. 6. Pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. 7. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. 8. Hal-hal
lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri. |
Pasal 59 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu sebagai berikut: a. pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan
yang bersifat musiman; d. pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan; atau e. pekerjaan
yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. 2) Perjanjian
Kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. 3) Perjanjian
Kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi Perjanjian Kerja waktu tidak
tertentu. 4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu,
dan batas waktu perpanjangan Perjanjian Kerja waktu tertentu diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
Pasal 61 1) Perjanjian
kerja berakhir apabila : a. pekerja
meninggal dunia; b. berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau d. adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja. 2. Perjanjian
kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. 3. Dalam
hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung
jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 4. Dalam
hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. 5. Dalam
hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. |
Pasal 61 1) Perjanjian
Kerja berakhir apabila: a. Pekerja/Buruh
meninggal dunia; b. berakhirnya
jangka waktu Perjanjian Kerja; c. selesainya
suatu pekerjaan tertentu; d. adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau e. adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya Hubungan Kerja. 2) Perjanjian
Kerja tidak berakhir karena meninggalnya Pengusaha atau beralihnya hak atas
Perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. 3) Dalam
hal terjadi pengalihan Perusahaan, hak-hak Pekerja/Buruh menjadi tanggung
jawab Pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak Pekerja/Buruh. 4) Dalam
hal Pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris Pengusaha dapat
mengakhiri Perjanjian Kerja setelah merundingkan dengan Pekerja/Buruh. 5) Dalam
hal Pekerja/Buruh meninggal dunia, ahli waris Pekerja/Buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
atau hak-hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama. |
|
Pasal 61A 1) Dalam
hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi
kepada Pekerja/ Buruh. 2) Uang
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh
sesuai . dengan masa kerja Pekerja/Buruh di Perusahaan yang bersangkutan. 3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Untuk memahami
perubahan ketentuan diatas, berikut diberikan analisis singkat pasal per pasal.
Analisis ini dalam konstruksi berpikir komparatif antara ketentuan dalam UU
13/2003 terhadap UU 6/2023 serta potensi implikasi hukum dan konsekuensi hukum
atas perubahan tersebut.
1. Pasal 56
a. Pada
prinsipnya perubahan ini memberikan pengaturan yang lebih detail, terutama
dengan adanya ketentuan ayat (3). Terhadap jangka waktu selesainya suatu
perjanjian kerja, secara umum, sudah diaplikasikan dalam keseharian. Hal yang
selama ini tidak jelas dan tidak terukur adalah perihal indikator “selesainya
suatu pekerjaan tertentu”. Asumsi ini didasarkan pada pengalaman empirik bahwa
sangat jarang ditemukan perjanjian kerja yang didasarkan pada selesainya suatu
pekerjaan tertentu. Padalah, selesainya suatu pekerjaan tertentu, mestinya
merupakan suatu indikator yang lebih pasti. Perihal jarang ditemukan perjanjian
kerja yang demikian mungkin pertimbangan kepraktisan pelaksanaan dan mudah
dalam melakukan kontrol dalam pelaksanaan perjanjian.
b. Dengan
perubahan ini, maka hal penting yang harus diperhatikan dan ditentukan secara spesifik
dalam setiap perjanjian kerja adalah dasar diadakannya perjanjian kerja.
Perjanjian kerja ini dibuat atas dasar waktu tertentu atau atas dasar
selesainya suatu pekerjaan tertentu. Suka tidak suka, hal ini harus dimaknai
sebagai salah satu ketentuan formil yang harus dinyatakan secara spesifik dalam
setiap perjanjian kerja.
c. Ketentuan
lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu di atur lebih lanjut
dalam PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
2. Pasal 57
a. Perubahan
ketentuan ini bisa dikatakan merugikan pekerja/buruh, sebab dihapusnya
konsekuensi hukum atas salah satu persyaratan formil dalam pembuatan perjanjian
kerja. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia secara detail bisa dilihat dalam
ketentuan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa Dan lambang Negara Serta
Lagu Kebangsaan, jo. Pasal PP No. 63 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia.
b. Jika
mencermati ketentuan Pasal 57 ayat (2) yang dihapus, sebetulnya merupakan
bentuk perlindungan normatif. Sebab substansinya mengatur konsekuensi hukum
jika hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT tidak dibuat secara tertulis. Hal
ini penting sebab merupakan pengalaman empirik, bahwa sering hubungan kerja
PKWT sebatas pernyataan lisan, sesuatu yang seharusnya melanggar ketentuan
hukum. Seharusnya ketentuan ini tidak dihapus karena meneguhnya kewajiban
pengusaha untuk membuat perjanjian kerja dan memberikan jaminan bagi pekerja
bahwa terdapat kejelasan dan kepastian hukum akan relasi hubungan kerja yang
sedang dijalaninya.
3. Pasal
58
Secara prinsip, perubahan
ketentuan ini tidak memberikan dampak signifikan, perubahan sebatas menegaskan
perihal tetap dihitungnya masa kerja sejak terjadinya perjanjian kerja dalam
hal pengusaha mensyaratkan adanya masa percobaan. Bahwa jika terdapat perubahan
pada ketentuan ini, pada prinsipnya jika pengusaha menerapkan adanya masa
percobaan dalam hal melaksanakan PKWT, masa kerja tetap dihitung sejak
terjadinya perjanjian kerja. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari batal
demi hukum perjanjian kerja waktu tertentu yang menerapkan masa percobaan.
4. Pasal
59
Terdapat perubahan yang signifikan
dalam ketentuan ini. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan
paradigma dalam memaknai hubungan kerja PKWT.
a. Dihapusnya
beberapa ketentuan dalam Pasal 59 UU 13/2003, antara lain; limitasi waktu
pelaksanaan PKWT maksimal 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang selama 1 (satu)
tahun, dihapusnya ketentuan tentang perpanjangan dan pembaruan perjanjian kerja
waktu tertentu.
b. Konsekuensi
dari dihapusnya beberapa ketentuan hukum tersebut. Maka dihapus juga beberapa
ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi hukum atas pelanggaran dari ketentuan
yang dihapus.
c. Terkait
limitasi waktu pelaksanaan PKWT, dalam ketentuan PP 35/2021 ditentukan selama 5
(lima) tahun. Pertanyaannya, perubahan limitasi waktu ini memberikan
kemanfaatan untuk siapa? Untuk kepentingan pengusaha atau pekerja/buruh?
Perpanjangan limitasi waktu PKWT ini secara nyata merugikan kepentingan
pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan kepastian kerja. Masa kontrak yang
panjang, hanya menempatkan mayoritas pekerja masa status hubungan kerja yang
tidak jelas karena sebagai pekerja PKWT, sewaktu-waktu hubungan kerja bisa
diakhiri dengan berbagai alasan. Katakanlah seorang pekerja di kontrak selama 5
(lima) tahun, setelah waktu itu, sulit bagi pekerja untuk bersaing dengan
angkatan kerja baru dalam bursa kerja. Walaupun secara normatif ketentuan hukum
memberikan keluasan bagi pencari kerja sepanjang belum mencapai usia pensiun
untuk melamar pekerjaan, dalam praktik usia pelamar kerja menjadi salah satu
pertimbangan bagi perusahaan dalam melakukan rekrutmen. Maka peluang bersaing
semakin tidak kompetitif.
d. Bahwa
sehubungan dengan perubahan limitasi waktu tersebut, dalam praktik saat ini
terdapat kecenderungan bagi pengusaha untuk menerapkan waktu perjanjian PKWT
yang singkat. Bahkan diketahui terdapat beberapa perjanjian yang hanya
berlangsung selama 3 (tiga) bulan dan setelahnya dilakukan pembaruan atau
perpanjangan perjanjian kerja PKWT untuk jangka waktu yang sama. Bahwa memang
benar, persoalan praktik tidak bisa dianggap sebagai kekeliruan norma, namun
jika ternyata perubahan limitasi waktu ini tidak memberikan manfaat yang
positif kepada pekerja, untuk apa? Pada titik ini, kita akan bisa memahami
dampak buruk dari sistem kerja ini jika berusaha secara sungguh menempatkan
diri pada pekerja yang terikat hubungan kerja dalam waktu yang relatif singkat
tadi. Sama sekali tidak memberikan kepastian keberlangsungan hubungan kerja.
5. Pasal
61
Secara substantif, perubahan
ketentuan ini bersifat menyempurnakan pengaturan dengan menambahkan ketentuan
pada ayat (1), ”selesainya suatu pekerjaan tertentu”. Hal ini mengingat pada
ketentuan yang lama, alasan berakhirnya PKWT sehubungan dengan dasar
diadakannya perjanjian PKWT hanya mengatur karena berakhirnya waktu perjanjian
kerja. Perubahan ini merupakan konsekuensi logis jika merujuk kepada dasar
terjadinya perjanjian PKWT.
6. Pasal
61A
Ketentuan ini merupakan hal baru dalam pelaksanaan PKWT,
yakni pekerja PKWT berhak mendapatkan kompensasi jika berakhirnya perjanjian
PKWT. Patut diduga persoalan pemberian kompensasi bagi pekerja PKWT inilah yang
menyebabkan banyak pengusaha yang mulai menerapkan hubungan kerja PKWT yang
singkat untuk menekan nilai kompensasi. Bahwa hal ini bukan asumsi belaka,
namun berdasarkan pengakuan beberapa pengusaha dan HRD pada kesempatan diskusi.
Dalam beberapa kasus, pemberian kompensasi bagi pekerja PKWT menimbulkan
persoalan lain. Karena merasa akan memberikan kompensasi kepada pekerja PKWT,
beberapa oknum pengusaha menunjukkan arogansi tertentu kepada pekerja PKWT.
Dengan melihat implikasi dari pelaksanaan ketentuan hukum ini, secara nyata
hadirnya ketentuan ini tidak memberikan manfaat bagi pekerja karena
dipekerjakan dalam waktu yang singkat dan juga tidak memberikan manfaat bagi
pengusaha.
Berdasarkan
keseluruhan uraian di atas jelas, bahwa perubahan ketentuan ini berdampak
signifikan dalam implementasi hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT. Selain
itu, penting untuk dicermati bahwa terdapat perubahan pengaturan lebih lanjut,
yang sebelumnya cukup dengan peraturan menteri, sekarang diganti dengan
Peraturan Pemerintah. Pemusatan kekuasaan politik hukum pada tangan presiden
juga menghambat ruang dialog sosial antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pembuat kebijakan.
B.
Ketentuan PKWT Dalam PP 35/2021
Ketentuan
tentang PKWT dalam PP 35/2021 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 17.
Terdapat pengaturan yang lebih terperinci. Untuk memudahkan pemahaman perihal
pengaturan PKWT yang dikaitkan dengan ketentuan dalam UU 6/2023, sebagaimana
diuraikan dalam tabel berikut:
UU
6/2023 |
PP
35/2021 |
Pasal 56 1) Perjanjian
Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 2) Perjanjian
Kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: c. jangka
waktu; atau d. selesainya
suatu pekerjaan tertentu. 3) Jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja. 4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Perjanjian Kerja waktu tertentu berdasarkan jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan
Pemerintah |
Pasal 4 1) PKWT
didasarkan atas: a. jangka
waktu; atau b. selesainya
suatu pekerjaan tertentu. c. PKWT
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Pasal 5 1) PKWT
berdasarkan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
dibuat untuk pekerjaan tertentu yaitu: a. pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; b. pekerjaan
yang bersifat musiman; atau c. pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. 2) PKWT
berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b dibuat untuk pekerjaan tertentu yaitu: a. pekerjaan
yang sekali selesai; atau b. pekerjaan
yang sementara sifatnya. 3) Selain
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), PKWT
dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat
atau kegiatannya bersifat tidak tetap. Pasal 6 Pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lama 5 (lima)
tahun. |
Pasal 57 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin. 2) Dalam
hal Perjanjian Kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang
berlaku Perjanjian Kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia |
Pasal 11 1) Pengusaha
yang mempekerjakan Pekerja/Buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) membuat Perjanjian Kerja harian secara tertulis dengan
Pekerja/ Buruh. 2) Perjanjian
Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat secara kolektif
dan paling sedikit memuat: a. Nama
/ alamat Perusahaan atau pemberi kerja; b. Nama
/ alamat Pekerja/Buruh; c. jenis
pekerjaan yang dilakukan; dan d. besarnya
Upah 3) Pengusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak Pekerja/Buruh
termasuk hak atas program jaminan sosial. Pasal
13 PKWT paling sedikit
memuat: a. nama,
alamat Perusahaan, dan jenis usaha; b. nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat Pekerja/Buruh; c. jabatan
atau jenis pekerjaan; d. tempat
pekerjaan; e. besaran
dan cara pembayaran Upah; f. hak
dan kewajiban Pengusaha dan Pekerja/Buruh sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama; g. mulai
dan jangka waktu berlakunya PKWT; h. tempat
dan tanggal PKWT dibuat; dan i. tanda
tangan para pihak dalam PKWT. Pasal 14 1) PKWT
harus dicatatkan oleh Pengusaha pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara daring paling lama 3 (tiga)
hari kerja sejak penandatanganan PKWT. 2) Dalam
hal pencatatan PKWT secara daring belum tersedia maka pencatatan PKWT
dilakukan oleh Pengusaha secara tertulis di dinas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak penandatanganan PKWT. |
Pasal 58 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. 2) Dalam
hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa
percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja
tetap dihitung. |
Pasal 12 1) PKWT
tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. 2) Dalam
hal disyaratkan masa percobaan kerja, masa percobaan kerja yang disyaratkan
tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung. |
Pasal 59 1) Perjanjian
Kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu sebagai berikut: f. pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; g. pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; h. pekerjaan
yang bersifat musiman; i. pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan; atau j. pekerjaan
yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. 2) Perjanjian
Kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. 3) Perjanjian
Kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi Perjanjian Kerja waktu tidak tertentu. 4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu,
dan batas waktu perpanjangan Perjanjian Kerja waktu tertentu diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
Pasal 7 1) Pekerjaan
yang bersifat musiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
merupakan pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada: a. musim
atau cuaca; atau b. kondisi
tertentu. 2) Pekerjaan
yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan pada musim tertentu atau cuaca
tertentu. 3) Pekerjaan
yang pelaksanaannya tergantung pada kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b merupakan pekerjaan tambahan yang dilakukan untuk memenuhi
pesanan atau target tertentu. Pasal 8 1) PKWT
berdasarkan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat
dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun. 2) Dalam
hal jangka waktu PKWT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir dan
pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai maka dapat dilakukan perpanjangan
PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara Pengusaha dengan
Pekerja/Buruh, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta
perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun. 3) Masa
kerja Pekerja/Buruh dalam hal perpanjangan jangka waktu PKWT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap dihitung sejak terjadinya Hubungan Kerja
berdasarkan PKWT. Pasal 9 1) PKWT
berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (21didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam
Perjanjian Kerja. 2) Kesepakatan
para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. ruang
lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai; dan b. lamanya
waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan. 3) Dalam
hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih
cepat dari lamanya waktu yang disepakati sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b maka PKWT putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. 4) Dalam
hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan
sesuai lamanya waktu yang disepakati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu
hingga selesainya pekerjaan. 5) Masa
kerja Pekerja/Buruh dalam hal perpanjangan jangka waktu PKWT sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tetap dihitung sejak terjadinya Hubungan Kerja
berdasarkan PKWT. Pasal 10 1) PKWT
yang dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan
sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3) berupa pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta pembayaran upah Pekerja/Buruh berdasarkan kehadiran. 2) PKWT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja
harian. 3) Perjanjian
Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan
Pekerja/Buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu)
bulan. 4) Dalam
hal Pekerja/Buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menjadi tidak berlaku dan Hubungan Kerja antara Pengusaha
dengan Pekerja/Buruh demi hukum berubah berdasarkan PKWTT. |
Pasal 61 1) Perjanjian
Kerja berakhir apabila: f. Pekerja/Buruh
meninggal dunia; g. berakhirnya
jangka waktu Perjanjian Kerja; h. selesainya
suatu pekerjaan tertentu; i. adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau j. adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya Hubungan Kerja. 2) Perjanjian
Kerja tidak berakhir karena meninggalnya Pengusaha atau beralihnya hak atas
Perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. 3) Dalam
hal terjadi pengalihan Perusahaan, hak-hak Pekerja/Buruh menjadi tanggung
jawab Pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak Pekerja/Buruh. 4) Dalam
hal Pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris Pengusaha dapat
mengakhiri Perjanjian Kerja setelah merundingkan dengan Pekerja/Buruh. 5) Dalam
hal Pekerja/Buruh meninggal dunia, ahli waris Pekerja/Buruh berhak mendapatkan
hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak-hak
yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama. |
|
Pasal 61A 1) Dalam
hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi
kepada Pekerja/ Buruh. 2) Uang
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/ Buruh
sesuai dengan masa kerja Pekerja/ Buruh di Perusahaan yang bersangkutan. 3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 15 1) Pengusaha
wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya
berdasarkan PKWT. 2) Pemberian
uang kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT. 3) Uang
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh
yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu) bulan secara terus
menerus. 4) Apabila
PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu
PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang
kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT
berakhir atau selesai. 5) Pemberian
uang kompensasi tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh
pemberi kerja dalam Hubungan Kerja berdasarkan PKWT. Pasal
16 1) Besaran
uang kompensasi diberikan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: a. PKWT
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus, diberikan sebesar 1 (satu)
bulan Upah; b. PKWT
selama 1 (satu) bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan,
dihitung secara proporsional dengan perhitungan : masa kerja x 1 (satu) bulan
Upah; c. PKWT
selama lebih dari 12 (dua belas) bulan, dihitung secara proporsional dengan
perhitungan: masa keria x 1 (satu) bulan Upah. 2) Upah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan sebagai dasar perhitungan
pembayaran uang kompensasi terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap. 3) Dalam
hal Upah di Perusahaan tidak menggunakan komponen Upah pokok dan tunjangan
tetap maka dasar perhitungan pembayaran uang kompensasi yaitu Upah tanpa
tunjangan. 4) Dalam
hal Upah di perusahaan terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tidak tetap maka
dasar perhitungan uang kompensasi yaitu Upah pokok. 5) Dalam
hal PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan lebih cepat penyelesaiannya
dari lamanya waktu yang diperjanjikan dalam PKWT maka uang kompensasi
dihitung sampai dengan saat selesainya pekerjaan. 6) Besaran
uang kompensasi untuk Pekerja/Buruh pada usaha mikro dan usaha kecil
diberikan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Pasal
17 Dalam hal
salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam PKWT, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang besarannya dihitung
berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh. |
Tabel ini
menggambarkan relasi pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU 6/2023 ke
dalam PP 35/2021, yang secara substansi mendekati atau mencakup hal-hal yang
diatur lebih lanjut di dalamnya. Mencermati kelanjutan pengaturan tentang
perjanjian kerja PKWT dalam PP 35/2021, terdapat beberapa penting untuk
dipahami, antara lain:
1. Tidak
diatur secara spesifik teknis pelaksanaan perpanjangan perjanjian PKWT. Jika
mencermati ketentuan Pasal 8 PP 35/2021, kehendak sepenuhnya di tangan
pengusaha. Maka keberlangsungan hubungan kerja, sepenuhnya sesuai dengan
kepentingan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja PKWT. Hal ini secara potensi
menimbulkan persoalan dalam implementasi.
2. PP
35/2021 maupun UU 6/2023 tidak mengenal konsep “pembaruan” PKWT.
3. Dihapusnya
beberapa ketentuan sebagai konsekuensi hukum atas pelanggaran formil yang
selama ini memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja PKWT. Hal ini
menjadi salah satu kelemahan mendasar.
4. Limitasi
waktu bagi pekerja PKWT harian masih dipertahankan termasuk konsekuensi hukum
atas pelanggarannya.
5. Dalam
hal salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya periode
perjanjian PKWT tidak lagi diwajibkan membayar kepada pihak lain atas sisa
waktu pelaksanaan PKWT. Sehubungan dengan hal ini, dalam hal pekerja yang
mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhir PKWT, pengusaha tetap wajib
memberikan kompensasi akibat berakhirnya hubungan kerja tersebut, yang
diperhitungkan secara proporsional. Terhadap ketentuan ini sangat potensi
disalah gunakan untuk sewaktu-waktu oleh satu pihak untuk mengakhiri hubungan
kerja dengan pihak lainnya. Terhadap ketentuan pemberian kompensasi, harus juga
dimaknai tetap diberikan jika berakhirnya hubungan kerja dilakukan atas
kehendak pengusaha.
6. Terhadap
ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b, pemaknaan atas frasa “kondisi tertentu” yang
dilakukan dengan maksud untuk memenuhi pesanan atau target tertentu. Jika
mencermati dengan seksama, secara sistematika dan substantif, masuk dalam
kategori jenis pekerja harian.
7. Memperhatikan
seluruh ketentuan yang ada, ruang lingkup PKWT sebagaimana grafik berikut:
Sehubungan dengan ruang lingkup
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja PKWT, hal pentingnya yang harus
diperhatikan adalah bahwa PKWT tidak boleh diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap. Sepanjang pembatasan atas pekerjaan yang bersifat tetap ini
diperhatikan dan dilakukan dengan sungguh-sungguh maka tidak akan menimbulkan
perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang masif terjadi pada beberapa
waktu yang lalu.
8. Terhadap
pekerjaan yang bersifat tetap ini penting untuk dimengerti dengan baik oleh
pengusaha atau HRD dan oleh pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Bahwa pekerjaan yang bersifat tetap merupakan pekerjaan yang merupakan core
business dari sebuah perusahaan. Parameter awal untuk memberikan
justifikasi adalah merujuk kepada semua pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
semua mesin yang dimiliki (dalam konteks industri manufaktur).
9. Terhadap
ketentuan Pasal 5 PP 35/2021, harus diberikan catatan khusus, karena terdapat
irisan antara pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru dengan pekerjaan
yang bersifat tetap. Ketentuan ini menjadi kontradiksi dengan pembatasan secara
umum perihal sifat dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan perjanjian
PKWT, yakni pekerjaan yang bersifat tetap. Maka penting untuk memastikan atau
membuat parameter untuk memberikan batasan yang jelas sehubungan dengan adanya
irisan persinggungan tersebut. Jika didasarkan pada sistematika ketentuannya,
limitasi waktu menjadi penting dalam melakukan pembatasan ini. Pemaknaan atas
frasa “waktu yang tidak terlalu lama” harus ditentukan secara spesifik,
mengingat ketentuan ini sangat rentan disalahgunakan untuk mempekerjakan
pekerja PKWT pada pekerjaan lainnya yang bersifat tetap.
10. Waktu
pelaksanaan PKWT yang dapat dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun potensial
menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya bahwa saat ini mayoritas perusahaan menerapkan sistem
kontrak dengan durasi waktu yang singkat. Terhadap hal ini bisa saja timbul
pemaknaan bahwa sepanjang belum melampaui waktu 5 (lima) tahun, sistem kerja
dengan durasi waktu yang singkat dapat terus dilakukan. Penting untuk disadari
bahwa hal ini tidak memberikan jaminan kepastian bekerja bagi pekerja.
C. Wacana
Revisi PP 35/2021
Terhadap wacana
pemerintah untuk melakukan revisi terhadap ketentuan PP 35/2021, patut
diberikan catatan khusus. Meskipun dengan merujuk kepada materi sosialisasi
yang diterbitkan pemerintah, substansi perubahan tersebut tidak menyentuh pengaturan
tentang PKWT, namun tidak menutup kemungkinan, perubahan itu bisa ada dan
terjadi. Situasi yang dinamis membuka peluang munculnya ide-ide baru sehubungan
dengan pengaturan PKWT. Catatan penting yang harus diperhatikan, terutama oleh
pemerintah dalam wacana revisi PP 35/2021 adalah menghilangkan paradigma bahwa
pekerja PKWT merupakan pekerja yang bisa dibayar murah dan status hubungan
kerja sepenuhnya berada ditangan pengusaha. Negara tidak boleh lalai untuk
melakukan intervensi dalam memberikan perlindungan kepada PKWT. Mengingat dalam
waktu belakangan komitmen keberpihakan mulai pudar dan menghilang, pemerintah
harus memastikan, maka menjadi tantangan bagi segenap pekerja/buruh untuk
memahami ketentuan hukum ini dengan baik, paling tidak bisa melindungi dirinya
dari tindakan sepihak yang merugikan.