MENGGUGAT EKSISTENSI UU NO. 6 TAHUN 2023;
SEBUAH CATATAN DINAMIKA JUDICIAL REVIEW
# 1
Oleh : Yosep Ubaama Kolin
Beberapa permohonan judicial review terhadap UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023), telah sampai pada tahapan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon. Tahapan ini tentu sangat menarik karena kita diberikan kesempatan untuk mengetahui perspektif lain sebagai kontra narasi yang dibangun pemerintah terhadap urgensi UU 6/2023. Pemerintah dalam banyak kesempatan sebagaimana diekspose oleh berbagai media, menyatakan bahwa Cipta Kerja merupakan solusi untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, baik dari isu politik, hukum, sosial, ekonomi dan bidang kehidupan lainnya. Semua perspektif itu seakan menjadi benar jika tidak diuji oleh perspektif yang lain, terutama yang berbeda pandangan dengan keseluruhan hal yang disampaikan pemerintah.
Dua isu utama yang selalu disampaikan pemerintah bahwa kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19 dan krisis Ukraina menjadi pemicu perlambatan pertumbuhan ekonomi global, dimana berpotensi berdampak bagi perekonomian Indonesia. Dalam kaitannya dengan isu tersebut, berkorelasi dengan isu kedua bahwa proses pembentukan UU 6/2023 harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Bahwa mengingat urgensi sebagaimana yang disampaikan pemerintah ketika menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022), menarik untuk dipahami sejauh mana kebenaran atas berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah. Sejauh mana kedaruratan yang digambarkan tersebut apakah benar demikian adanya dan apakah akan berdampak secara signifikan mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia dan apakah kehadiran UU 6/2023 menjadi satu-satunya solusi atas persoalan itu sehingga proses pembentukannya harus dilakukan dengan menciptakan suatu imajinasi kedaruratan yang mendesak sebagaimana yang digambarkan pemerintah.
Merujuk pada laman website Mahkamah Konstitusi, diketahui terdapat beberapa permohonan judicial review atas UU 6/2023. Permohonan tersebut sebagaimana diketahui teregistrasi dengan nomor 40/PUU-XXI/2023, yang diajukan oleh 121 pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 pekerja, selanjutnya perkara dengan nomor 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Seluruh Indonesia (KSBSI), selanjutnya perkara dengan nomor 45/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Aliansi Aksi Satu Juta Buruh, perkara dengan nomor 46/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 14 badan hukum, dan perkara dengan nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh. Jika mencermati Risalah Persidangan yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat dua kluster persidangan sehubungan dengan permohonan judicial review atas UU 6/2023 maupun PERPPU 2/2022. Kluster pertama antara lain perkara nomor 40/PUU-XXI/2023, perkara nomor 41/PUU-XXI/2023, perkara nomor 46/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 50/PUU-XXI/2023. Kluster kedua adalah perkara nomor 54/PUU-XXI/2023, perkara nomor 58/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 61/PUU-XXI/2023.
Pada tanggal 26 Juli 2023, proses persidangan atas perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pemohon yang menghadirkan Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LLM dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M, keduanya merupakan pakar hukum tata negara. Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 2023, proses persidangan atas perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pemohon yang menghadirkan Dr. Ir. Rizal Ramli, dimana untuk agenda sidang selanjutnya akan menghadirkan lagi seorang ahli yang akan mengelaborasi eksistensi UU 6/2023 dari aspek hukumnya. Menarik mencermati keterangan yang sampaikan semua ahli tersebut, lebih tepat jika dikatakan bagaimana mempersoalkan eksistensi dari UU 6/2023 dari sudut pandang hukum dan ekonomi, hal ini untuk menjawab kebenaran isu yang dibangun pemerintah. Tulisan ini berusaha mengelaborasi keterangan ketiga ahli dalam kedua persidangan tersebut.
Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LLM, memberikan beberapa perspektif yang menarik, yang fokus menyoroti lima isu penting, yaitu, pertama bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang keluar saat ini tidak memenuhi prinsip good regulatory practices . Kedua, ketidaktaatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pembentuk undang-undang cipta kerja. ketiga, Undang-Undang Cipta Kerja sendiri, dianggap bertentangan dengan moralitas dan constitutional values dalam Undang-Undang Dasar 1945. Keempat, konstitusionalitas PERPPU (yakni PERPPU 2/2022), dan kelima, adalah bahaya dari penggunaan kegentingan dan kemendesakan yang sering dilakukan oleh negara.
1. Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi prinsip good regulatory practices.
Hal yang disoroti dalam hal ini adalah sehubungan dengan konsep yang paling penting soal persetujuan terhadap suatu PERPPU yang sebenarnya wajib dilakukan pada masa sidang berikutnya. Melacak catatan permulaan UUD 1945 yang ditulis oleh Soepomo, Soebardjo, dan Maramis di sekitar tahun 1942. Bahwa proses pembentukan PERPPU didasari dari hal ihwal suatu kegentingan memaksa. Selain itu PERPPU diterbitkan ketika DPR tidak tengah bersidang, hal inilah yang kemudian terdapat pengaturan dalam UUD 1945 bahwa PERPPU harus disidangkan pada masa sidang berikutnya. Hal terkait dengan urgensi pembentukan PERPPU yang dilakukan pada masa kedaruratan, kepentingan dan kegentingan luar biasa, sehingga proses pembahasannya pun harus dilakukan dalam keadaan atau dinamika yang sama, bahkan jika perlu anggota DPR yang sedang reses pun harus dipanggil untuk segera bersidang membahas persetujuan atas PERPPU tersebut. Hal ini sebab penerbitan PERPPU didasari oleh doktrin yakni Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 terkait dengan kewenangan Presiden dalam menetapkan keadaan bahaya, yang parameternya (untuk menentukan keadaan darurat atau bahaya atau kegentingan memaksa) didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan Pasal 22 terkait dengan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dimana PERPPU tersebut harus mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya, jika tidak disetujui oleh DPR maka PERPPU tersebut harus dicabut.
Untuk semakin memperjelas hal ini, mari kita perhatikan sistematika waktu sehubungan dengan eksistensi PERPPU 2/2022 sampai dengan ditetapkan menjadi undang-undang. PERPPU 2/2022 ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 30 Desember 2022. Masa sidang II tahun sidang 2022-2023 dimulai tanggal 1 November 2022 sampai dengan tanggal 9 Januari 2023, dimana, (a) Masa sidang dimulai tanggal 1 November 2022 sampai dengan tanggal 15 Desember 2022 (33 hari kerja), dan (b) masa reses, dimulai tanggal t16 Desember 2022 sampai dengan tanggal 9 Januari 2023. Dalam hal ini bahwa penetapan PERPPU dilakukan pada masa reses anggota DPR. Masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 dimulai tanggal 10 Januari 2023 sampai dengan tanggal 13 Maret 2023. Harusnya jika eksistensi PERPPU 2/2022 sungguh didasari oleh kedaruratan dan kegentingan yang memaksa, maka harusnya pembahasan PERPPU 2/2022 dilakukan pada masa sidang ini. Namun faktanya, pembahasan dan penetapan PERPPU menjadi undang-undang baru dilakukan pada masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 dimulai pada tanggal 14 Maret 2023 sampai dengan tanggal 15 Mei 2023. PERPPU cipta kerja ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Maret 2023.
Bahwa parameter keadaan bahaya yang dimaksud pada Pasa 12 dan Pasal 22 sebagai dasar menerbitkan PERPPU 2/2022, pemerintah merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi paragraf [3.10] yang antara lain: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Sehubungan parameter sebagaimana termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penting untuk mencermati konsideran sebagai landasan fillosofis pembentukan PERPPU 2/2022, yang antara lain sebagai berikut:
a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan . Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional;
c. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;
d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus;
f. bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 I/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
g. bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja;
h. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja;
Jika membandingkan pemaknaan atas konsep kegentingan/kedaruratan/keadaan memaksa dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009 dengan Konsideran PERPPU 2/2022 sebagai landasan filosofis dan yuridis, dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:
1) Terhadap konsideran huruf a, merupakan cita luhur yang diperjuangkan dari generasi ke generasi, melalui suatu proses yang berkesinambungan dan konsisten. Idealnya terdapat suatu blue print yang menjadi pedoman bagi setiap kepala negara. Faktanya, ajang pesta demokrasi dijadikan ajang kritik terhadap pencapaian pada periode kepemimpinan sebelumnya dalam perspektif yang cenderung negatif, maka kemudian menjadi viral pada beberapa istilah, misalnya “mangkrak”. Apakah blue print itu ada? Bagaimana implementasi atau pertautan antara blue print tersebut (jika ada) dengan janji kampanye atau program kerja Presiden yang baru? Sampai pada titik ini, tidak menampakkan urgensi sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi, hal ini sebatas persoalan komitmen politik dalam mengelola bangsa dan negara.
2) Mencermati frasa pada konsideran huruf a dan c yakni, “....Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;....termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;”. Secara nyata kerangka filosofis ini jauh panggang dari api. Jika pembentukan Cipta Kerja memberikan kemanfaatan sebagaimana dimaksud, maka tidak mungkin ada penolakan dari kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh serta berbagai kelompok masyarakat lain yang merasa kepentingan konstitusionalnya dirugikan. Keseluruhan perubahan dalam kluster ketenagakerjaan merampas hak pekerja/buruh atas upaya pencapaian penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Indikator niat pemerintah untuk memiskinkan pekerja/buruh dan merusak tatanan keseimbangan, antara lain;
a) Kenaikan upah minimum dibawah nilai inflasi;
b) Penetapan upah minimum kabupaten/kota dilakukan dengan persyaratan yang tidak rasional, dikondisikan untuk tidak ada upah minimum kabupaten/kota;
c) Dihapusnya kelompok upah sektoral merupakan perampasan hak pekerja pada sektor usaha tertentu untuk mendapatkan nilai upah yang lebih baik;
d) Perluasan alasan-alasan untuk terjadinya pemutusan hubungan kerja, termasuk beberapa alasan pemutusan hubungan kerja yang bersifat pada kondisi abstrak dan imajiner, sesuatu yang belum tentu terjadi;
e) Pengurangan nilai kompensasi akibat pemutusan hubungan kerja;
f) Pemberian kompensasi bagi pekerja PKWT (pekerja kontrak) merupakan sarana untuk mengadu domba sesama pekerja dan untuk melemahkan eksistensi organisasi serikat pekerja/serikat buruh;
g) Diperpanjangnya masa PKWT dan perluasan ruang lingkup pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh pekerja PKWT hanya akan menimbulkan ketidakpastian hubungan kerja dan berpotensi menimbulkan konflik sesama pekerja;
h) Perluasan ruang lingkup pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialih dayakan berpotensi menimbulkan konflik sesama pekerja (pekerja alih daya dan pekerja tetap) dan dalam jangka panjang pekerja tetap akan hilang pada semua perusahaan (terutama jika merujuk pada wacana perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021); pengaturan alih daya yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011.
i) Pergeseran otoritas melakukan pemutusan hubungan kerja, menimbulkan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi sekehendak hati pengusaha, terutama untuk membungkam pekerja/buruh atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang kritis, hal ini akan menghilangkan fungsi dan kontrol sosial otonom dari pekerja terhadap dominasi pengusaha dalam relasi hubungan kerja.
j) Program pelatihan kerja pemagangan yang dilakukan dengan minimnya sanksi terhadap setiap potensi pelanggaran yang dilakukan pengusaha dan lemahnya komitmen penegakan hukum dari instansi yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan akan menjadi ajang perbudakan modern atau perbudakan gaya baru; program pemagangan sebatas modus untuk menekan angka pengangguran dan mempekerjakan pekerja dengan upah murah.
3) Bahwa substansi Cipta Kerja pada kluster ketenagakerjaan berorientasi untuk melindungi kepentingan pengusaha dengan merampas hak-hak normatif pekerja/buruh yang dilindungi konstitusi. Hilangnya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negara. Praktek perampasan hak pekerja/buruh dilakukan secara sistematik legalistik.
4) Bahwa upaya untuk melanggengkan eksistensi Cipta Kerja (khususnya pada kluster ketenagakerjaan) kemudian masuk ke lembaga peradilan dengan diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021.
2. Ketidaktaatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pembentuk undang-undang cipta kerja.
Dalam keterangannya, Dr. Zainal Arifin Mochtar menerangkan bahwa perbedaan substansi antara UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 2/2020) dengan PERPPU 2/2022, bahkan nyaris tidak ada perubahan yang berarti. Bahwa pembentukan undang-undang merupakan sebuah proses yang sakral, sehingga pelibatan partisipasi publik menjadi hal yang sangat esensial. bahwa esensi dari pelibatan publik adalah amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Mahkamah Konstitusi sudah secara luar biasa menerjemahkan pemaknaan pelibatan partisipasi publik sebagai meaningful participation dalam konteks hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Jika kita membandingkan perubahan substansi dari UU 11/2020 dengan PERPPU 2/2022, terdapat perubahan antara lain:
UU 11/2020 |
PERPPU 2/2020 |
Pasal 64: dihapus |
Pasal 64: pengaturan baru 1. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. 2. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 67: frasa “penyandang cacat” |
Pasal 67: diganti “penyandang disabilitas” |
Pasal 84: dihapus |
Pasal 84: pengaturan baru Setiap Pekerja/ Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh. |
Pasal 88A ayat (7): diubah Pekerja/Buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. |
Pasal 88A ayat (7): perubahan Pekerja/Buruh yang karena kesengajaan dikenakan denda |
Pasal 88C ayat (2): diubah Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. |
Pasal 88C ayat (2): perubahan Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. |
Pasal 88C ayat (4) dan (5): dihapus 4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. 5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi. |
Pasal 88C ketentuan baru ayat (3) dan (6): perubahan: 3) Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi. 6) Dalam hal kabupaten / kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu |
Pasal 88D ayat (2): diubah Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. |
Pasal 88D ayat (2): perubahan Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. |
Pasal 92 ayat (2): diubah Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan upah. |
Pasal 92 ayat (2): perubahan Struktur dan skala Upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan Upah bagi Pekerja/Buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih. |
Jika mencermati perubahan substansi UU 11/2020 dengan PERPPU 2/2022, nampak bahwa keseluruhan perubahan tersebut merupakan perubahan yang sangat minimalis. Terdapat pengaturan kembali dari ketentuan yang sebelumnya dihapus dan yang lainnya sebatas melakukan penyesuaian sebagai dampak dari perubahan pada pasal yang lain. Selebihnya sebatas perbaikan redaksi.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 menegasnya perlunya dilakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation). Bahwa proses pembentukan PERPPU 2/2022 sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, sebab sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang agar dalam melakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 juga memperhatikan substansi yang mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, terutama para pekerja/buruh (telah dimohonkan judicial review namun belum dapat diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi karena harus memeriksa dan memutuskan permohonan pengujian formil). Semuanya sama sekali tidak diindahkan oleh Presiden dan DPR.
Pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi juga dilakukan dengan tidak mengindahkan diktum ketiga dan ketujuh. Bahwa secara nyata pemerintah tetap saja menerbitkan peraturan pelaksana yang didasarkan pada UU 11/2020 dan tetap menerbitkan dan/atau membuat berbagai kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU 11/2020 maupun peraturan pelaksana dari UU 11/2020.
Dengan mencermati perubahan substansi dari UU 11/2020 menjadi PERPPU 2/2022 dan dengan mencermati segala tindakan pembangkangan yang dilakukan pemerintah yang sebagian diantaranya telah diuraikan diatas, nampak bahwa perubahan substansi tersebut sebatas menggugurkan persyaratan bahwa telah dilakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 dan dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan penerbitan PERPPU 2/2022. Tindakan dimaksud dan keseluruhan tindakan pembangkangan yang dilakukan oleh pembentuk UU menegaskan tindakan pelecehan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan juga pelecehan terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Bahwa mengingat putusan Mahkamah Konstitusi merupakan pengejawantahan dari UUD 1945, maka tindakan yang dilakukan Presiden dan DPR merupakan tindakan pembangkangan terhadap Konstitusi negara. Maka adalah wajar jika kemudian mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, secara tegas menyatakan bahwa tindakan Presiden Joko Widodo dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat diarahkan untuk dilakukan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden Joko Widodo.
4. Undang-Undang Cipta Kerja sendiri, dianggap bertentangan dengan moralitas dan constitutional values dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam konteks ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa UU 6/2023 lahir dari PERPPU 2/2022, bukan lahir dari undang-undang sebagaimana biasanya, sehingga jika dilakukan pengujian secara formil maka bukan hanya UU 6/2023 nya saja yang diuji, tetapi juga pengujian terhadap formalitas pembentukan PERPPU 2/2022. Dalam kaitannya dengan pengujian formil, beberapa hal penting sebagai parameter penilaian antara lain; (1) memang ada kondisi kegentingan; (2) tidak ada peraturan yang bisa dipakai untuk mengisi kekosongan hukum; (3) tidak cukup waktu bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang dengan cara biasa, (4) harus dikeluarkan (PERPPU) ketika DPR sedang tidak bersidang; dan, (5) harus diperlakukan (proses pembahasannya) dalam konteks kondisi kedaruratan sebagai alasan penerbitan PERPPU. Kita tidak tahu sebenarnya, sampai saat ini, tidak terbayang sedikit pun apa sebenarnya kegentingan yang memaksa yang membuat Presiden harus mengeluarkan PERPPU dan menggeser dari logika hukum tata negara biasa menjadi masuk rezim tata negara darurat? Hal ihwal kegentingan memaksa ini harus mendapatkan porsi yang harus dibicarakan. Harus diingat bahwa undang-undang yang sekarang diujikan secara formil ini tidak lahir dari konteks biasa. Dia lahir dari konteks luar biasa. Karena lahir dari konteks luar biasa, maka pembicaraan soal formalitas PERPPU nya tetap menjadi penting.
5. Konstitusionalitas PERPPU (yakni PERPPU 2/2022).
Pada konteks ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar menyitir apa yang ditulis oleh K.C. Wheare, dikatakan formal konstitusional juga sebagai constitutional adjudication atau konstitusionalitas yang berbasis dari adjudikasi. Pada level ini, bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan tiba-tiba membentuk PERPPU, menggesernya dari konsep undang-undang dan kewajiban untuk memperbaiki yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam dua tahun, adalah penghinaan terhadap konstitusi itu sendiri, dan penghinaan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dan terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Tindakan ini seakan-akan mengatakan bahwa silakan Mahkamah Konstitusi membangun konstitusionalitas yang dia mau, sedangkan pemerintah dan DPR itu akan memikirkan konstitusionalitas yang ingin dibangun dengan sendirinya.
Beberapa pokok pemikiran tentang hal ini sebagian besarnya telah diuraikan sebelumnya. Bahwa sebagai negara hukum, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum. Dalam hal ini, ketentuan hukum harus dibuat secara tertulis agar terdapat kepastian hukum dan agar penguasa tidak bertindak semaunya. Hukum yang tertulis ini kemudian memberikan ruang partisipasi publik untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, untuk menilai validitas setiap tindakan penyelenggara dan penyelenggaraan negara. Sulit bagi kita untuk membayangkan komitmen kepatuhan hukum yang baik dari pemerintah, ketika suatu ketentuan hukum yang dibuat secara tertulis, dan ketahui banyak masyarakat, namun tetap dilanggar tanpa sedikitpun mempunyai rasa malu. Bisa dipastikan kondisi akan semakin memburuk jika ketentuan penyelenggaraan negara dan pengaturan ketertiban hidup bersama dibuat secara tidak tertulis. Budaya kepatuhan hukum yang rendah justru diperlihatkan dan dipertontonkan oleh Presiden dan DPR. Pencopotan mantan Hakim Konstitusi Aswanto yang oleh seorang anggota DPR dianalogikan selayaknya penunjukkan seorang direksi oleh pemilik modal, dimana direksi harus bekerja sesuai keinginan pemilik modal. Analogi ini menegaskan DPR tidak menghormati Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution), sama sekali tidak dihargai oleh DPR, dalam perspektif yang disampaikan oleh anggota DPR tersebut memberi pesan bahwa jika anda (hakim konstitusi) adalah pilihan atau utusan dari DPR maka tidak boleh membuat keputusan yang menganulir produk undang-undang yang dibuat DPR. Cara berpikir yang demikian menegaskan bahwa penyelenggaraan negara telah dibawa kendali oligarki. Ketika koalisi partai pendukung menjadi dominan maka fungsi check and balance tidak berfungsi, sebab konduktornya adalah kepentingan, bukan lagi trias politika sebagaimana seharusnya dalam negara demokrasi. Kepentinganlah yang menyatukan segala perbedaan.
6. Bahaya penggunaan kegentingan dan kemendesakan yang sering dilakukan oleh negara
Dengan merujuk pada buku “Ironi Demokrasi” yang ditulis oleh Giorgio Agamben, dikatakan bahwa demokrasi itu lahir dari kondisi yang darurat. Kenapa lahir dari kondisi darurat? Karena demokrasi itu selalu berkembang seiring dengan tragedi kemanusiaan. Selalu ada kedaruratan, baru kemudian lahir demokrasi. Yang namanya checks and balances itu lahir dari sebuah peristiwa luar biasa. Yang namanya trias politica itu juga lahir dari konteks luar biasa. Yang luar biasanya, kata Agamben, “Malah demokrasi ini kemudian sering dibuat seakan-akan menjadi keadaan darurat dan memaksa atau genting, sehingga kemudian ada alasan untuk menerabas demokrasi itu sendiri, dan itu berbahaya.” Yang paling berbahaya katanya dari demokrasi adalah ketika rezim yang terpilih dari sebuah proses demokratis itu membuat kegentingan-kegentingannya sendiri dan membuat kedaruratan-kedaruratannya sendiri, lalu dengan seketika dia bisa menggunakan alasan untuk menghilangkan standar-standar demokrasi dan hak asasi yang seharusnya dijaminkan dalam negara yang demokratis dan beradab. Ini berbahaya. Tradisi ini sudah seharusnya mulai diawasi dengan baik, agar Mahkamah Konstitusi mulai mengingatkan negara, khususnya pemerintah, untuk tidak serampangan dalam menggentingkan atau mendaruratkan sesuatu yang sebenarnya sangat bisa diperdebatkan soal kegentingan dan kedaruratannya. Batasan-batasan yang penting untuk itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh mengingat kebiasaan menggunakan keadaan kegentingan dan kedaruratan itu untuk menerabas prinsip hak asasi yang sebenarnya dijaminkan juga di dalam konstitusi.
Kekhawatiran Dr. Zainal Arifin Mochtar cukup beralasan dengan merujuk pada tulisan Giorgio Agamben. Sebagai contoh sederhana untuk menjelaskan hal ini, bahwa dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review terhadap UU 13/2003, terdapat beberapa putusan yang memberikan perlindungan hak konstitusional pekerja/buruh yang juga sebagai warga negara, sepanjang putusan tersebut memberikan jaminan dan perlindungan konstitusional bagi pekerja/buruh, pemerintah secara kreatif menyiasati dengan membuat peraturan hukum yang baru untuk mengaburkan atau menegasikan eksistensi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sebagai contoh, misalnya kewajiban menempuh mekanisme peradilan pidana dalam hal terdapat dugaan “kesalahan berat”, dalam Cipta Kerja, disiasati dengan membentuk konsep hukum baru yakni “alasan mendesak”. Hal lainnya misalnya terkait jaminan keberlangsungan hubungan kerja bagi pekerja alih daya, dimana Mahkamah Konstitusi mewajibkan agar hubungan kerja antara pekerja alih daya dengan pengusaha alih daya adalah hubungan kerja yang didasarkan pada PKWTT dan kewajiban menerapkan prinsip TUPE dalam hal terjadi perubahan perusahaan alih daya, semua itu tidak dipatuhi oleh Pemerintah. Hal lainnya misal dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi, pemaknaan atas efisiensi ini harus relevan dengan kondisi aktual perusahaan. Namun dalam PP 35/2021, kekuatiran akan terjadinya kerugian saja memberikan hak kepada pengusaha untuk dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, dan berbagai kasus pembangkangan lainnya.
Sebagai warga negara, dengan melihat situasi dan kondisi hari ini, sulit untuk menaruh kepercayaan akan komitmen keberpihakan dari Pemerintah dan DPR. Peta koalisi partai politik yang didominasi oleh Partai Pendukung pemerintah telah mematikan nalar sehat, kesadaran dukungan basis masyarakat, komitmen sebagai wakil rakyat yang harus sungguh mewakili rakyat dari segenap anggota DPR. Pengakuan Faisal Basri, seorang ekonom yang kritis terhadap berbagai kebijakan Pemerintah, bahwa sepanjang proses pembahasan UU 11/2020, beberapa kali diundang oleh beberapa fraksi untuk dimintakan pandangan, hal mana dalam kesempatan tersebut, beberapa anggota DPR secara vulgar menyatakan ketidaksetujuan atas UU 11/2020 namun tidak berdaya karena pimpinan partai politik sudah memberikan restu kepada Pemerintah untuk melanggengkan UU 11/2020.
Salam waras.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------bersambung