Looking For Anything Specific?

ads header
  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

MENGGUGAT EKSISTENSI UU NO. 6 TAHUN 2023; SEBUAH CATATAN DINAMIKA JUDICIAL REVIEW

 

MENGGUGAT EKSISTENSI UU NO. 6 TAHUN 2023;

SEBUAH CATATAN DINAMIKA JUDICIAL REVIEW

# 1

Oleh : Yosep Ubaama Kolin

Beberapa permohonan judicial review terhadap UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023), telah sampai pada tahapan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon. Tahapan ini tentu sangat menarik karena kita diberikan kesempatan untuk mengetahui perspektif lain sebagai kontra narasi yang dibangun pemerintah terhadap urgensi UU 6/2023. Pemerintah dalam banyak kesempatan sebagaimana diekspose oleh berbagai media, menyatakan bahwa Cipta Kerja merupakan solusi untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, baik dari isu politik, hukum, sosial, ekonomi dan bidang kehidupan lainnya. Semua perspektif itu seakan menjadi benar jika tidak diuji oleh perspektif yang lain, terutama yang berbeda pandangan dengan keseluruhan hal yang disampaikan pemerintah.

Dua isu utama yang selalu disampaikan pemerintah bahwa kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19 dan krisis Ukraina menjadi pemicu perlambatan pertumbuhan ekonomi global, dimana berpotensi berdampak bagi perekonomian Indonesia. Dalam kaitannya dengan isu tersebut, berkorelasi dengan isu kedua bahwa proses pembentukan UU 6/2023 harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Bahwa mengingat urgensi sebagaimana yang disampaikan pemerintah ketika menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022), menarik untuk dipahami sejauh mana kebenaran atas berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah. Sejauh mana kedaruratan yang digambarkan tersebut apakah benar demikian adanya dan apakah akan berdampak secara signifikan mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia dan apakah kehadiran UU 6/2023 menjadi satu-satunya solusi atas persoalan itu sehingga proses pembentukannya harus dilakukan dengan menciptakan suatu imajinasi kedaruratan yang mendesak sebagaimana yang digambarkan pemerintah.

Merujuk pada laman website Mahkamah Konstitusi, diketahui terdapat beberapa permohonan judicial review atas UU 6/2023. Permohonan tersebut sebagaimana diketahui teregistrasi dengan nomor 40/PUU-XXI/2023, yang diajukan oleh 121 pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 pekerja, selanjutnya perkara dengan nomor 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Seluruh Indonesia (KSBSI), selanjutnya perkara dengan nomor 45/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Aliansi Aksi Satu Juta Buruh, perkara dengan nomor 46/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 14 badan hukum, dan perkara dengan nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh. Jika mencermati Risalah Persidangan yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat dua kluster persidangan sehubungan dengan permohonan judicial review atas UU 6/2023 maupun PERPPU 2/2022. Kluster pertama antara lain perkara nomor 40/PUU-XXI/2023, perkara nomor 41/PUU-XXI/2023, perkara nomor 46/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 50/PUU-XXI/2023. Kluster kedua adalah perkara nomor 54/PUU-XXI/2023, perkara nomor 58/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 61/PUU-XXI/2023.

Pada tanggal 26 Juli 2023, proses persidangan atas perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pemohon yang menghadirkan Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LLM dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M, keduanya merupakan pakar hukum tata negara. Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 2023, proses persidangan atas perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pemohon yang menghadirkan Dr. Ir. Rizal Ramli, dimana untuk agenda sidang selanjutnya akan menghadirkan lagi seorang ahli yang akan mengelaborasi eksistensi UU 6/2023 dari aspek hukumnya. Menarik mencermati keterangan yang sampaikan semua ahli tersebut, lebih tepat jika dikatakan bagaimana mempersoalkan eksistensi dari UU 6/2023 dari sudut pandang hukum dan ekonomi, hal ini untuk menjawab kebenaran isu yang dibangun pemerintah. Tulisan ini berusaha mengelaborasi keterangan ketiga ahli dalam kedua persidangan tersebut.

Dr. Zainal Arifin Mochtar S.H., LLM, memberikan beberapa perspektif yang menarik, yang fokus menyoroti lima isu penting, yaitu, pertama bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang keluar saat ini tidak memenuhi prinsip good regulatory practices . Kedua, ketidaktaatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pembentuk undang-undang cipta kerja. ketiga, Undang-Undang Cipta Kerja sendiri, dianggap bertentangan dengan moralitas dan constitutional values dalam Undang-Undang Dasar 1945. Keempat, konstitusionalitas PERPPU (yakni PERPPU 2/2022), dan kelima, adalah bahaya dari penggunaan kegentingan dan kemendesakan yang sering dilakukan oleh negara.

1. Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi prinsip good regulatory practices.

Hal yang disoroti dalam hal ini adalah sehubungan dengan konsep yang paling penting soal persetujuan terhadap suatu PERPPU yang sebenarnya wajib dilakukan pada masa sidang berikutnya. Melacak catatan permulaan UUD 1945 yang ditulis oleh Soepomo, Soebardjo, dan Maramis di sekitar tahun 1942. Bahwa proses pembentukan PERPPU didasari dari hal ihwal suatu kegentingan memaksa. Selain itu PERPPU diterbitkan ketika DPR tidak tengah bersidang, hal inilah yang kemudian terdapat pengaturan dalam UUD 1945 bahwa PERPPU harus disidangkan pada masa sidang berikutnya. Hal terkait dengan urgensi pembentukan PERPPU yang dilakukan pada masa kedaruratan, kepentingan dan kegentingan luar biasa, sehingga proses pembahasannya pun harus dilakukan dalam keadaan atau dinamika yang sama, bahkan jika perlu anggota DPR yang sedang reses pun harus dipanggil untuk segera bersidang membahas persetujuan atas PERPPU tersebut. Hal ini sebab penerbitan PERPPU didasari oleh doktrin yakni Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 terkait dengan kewenangan Presiden dalam menetapkan keadaan bahaya, yang parameternya (untuk menentukan keadaan darurat atau bahaya atau kegentingan memaksa) didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan Pasal 22 terkait dengan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dimana PERPPU tersebut harus mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya, jika tidak disetujui oleh DPR maka PERPPU tersebut harus dicabut.

Untuk semakin memperjelas hal ini, mari kita perhatikan sistematika waktu sehubungan dengan eksistensi PERPPU 2/2022 sampai dengan ditetapkan menjadi undang-undang. PERPPU 2/2022 ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 30 Desember 2022. Masa sidang II tahun sidang 2022-2023 dimulai tanggal 1 November 2022 sampai dengan tanggal 9 Januari 2023, dimana, (a) Masa sidang dimulai tanggal 1 November 2022 sampai dengan tanggal 15 Desember 2022 (33 hari kerja), dan (b) masa reses, dimulai tanggal t16 Desember 2022 sampai dengan tanggal 9 Januari 2023. Dalam hal ini bahwa penetapan PERPPU dilakukan pada masa reses anggota DPR. Masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 dimulai tanggal 10 Januari 2023 sampai dengan tanggal 13 Maret 2023. Harusnya jika eksistensi PERPPU 2/2022 sungguh didasari oleh kedaruratan dan kegentingan yang memaksa, maka harusnya pembahasan PERPPU 2/2022 dilakukan pada masa sidang ini. Namun faktanya, pembahasan dan penetapan PERPPU menjadi undang-undang baru dilakukan pada masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 dimulai pada tanggal 14 Maret 2023 sampai dengan tanggal 15 Mei 2023. PERPPU cipta kerja ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Maret 2023.

Bahwa parameter keadaan bahaya yang dimaksud pada Pasa 12 dan Pasal 22 sebagai dasar menerbitkan PERPPU 2/2022, pemerintah merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi paragraf [3.10] yang antara lain: (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Sehubungan parameter sebagaimana termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penting untuk mencermati konsideran sebagai landasan fillosofis pembentukan PERPPU 2/2022, yang antara lain sebagai berikut:

a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan . Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;

b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi serta adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional;

c. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;

d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;

e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus;

f. bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 I/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

g. bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja;

h. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja;

Jika membandingkan pemaknaan atas konsep kegentingan/kedaruratan/keadaan memaksa dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009 dengan Konsideran PERPPU 2/2022 sebagai landasan filosofis dan yuridis, dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:

1) Terhadap konsideran huruf a, merupakan cita luhur yang diperjuangkan dari generasi ke generasi, melalui suatu proses yang berkesinambungan dan konsisten. Idealnya terdapat suatu blue print yang menjadi pedoman bagi setiap kepala negara. Faktanya, ajang pesta demokrasi dijadikan ajang kritik terhadap pencapaian pada periode kepemimpinan sebelumnya dalam perspektif yang cenderung negatif, maka kemudian menjadi viral pada beberapa istilah, misalnya “mangkrak”. Apakah blue print itu ada? Bagaimana implementasi atau pertautan antara blue print tersebut (jika ada) dengan janji kampanye atau program kerja Presiden yang baru? Sampai pada titik ini, tidak menampakkan urgensi sebagaimana dimaksud Mahkamah Konstitusi, hal ini sebatas persoalan komitmen politik dalam mengelola bangsa dan negara.

2) Mencermati frasa pada konsideran huruf a dan c yakni, “....Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;....termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;”. Secara nyata kerangka filosofis ini jauh panggang dari api. Jika pembentukan Cipta Kerja memberikan kemanfaatan sebagaimana dimaksud, maka tidak mungkin ada penolakan dari kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh serta berbagai kelompok masyarakat lain yang merasa kepentingan konstitusionalnya dirugikan. Keseluruhan perubahan dalam kluster ketenagakerjaan merampas hak pekerja/buruh atas upaya pencapaian penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Indikator niat pemerintah untuk memiskinkan pekerja/buruh dan merusak tatanan keseimbangan, antara lain;

a) Kenaikan upah minimum dibawah nilai inflasi;

b) Penetapan upah minimum kabupaten/kota dilakukan dengan persyaratan yang tidak rasional, dikondisikan untuk tidak ada upah minimum kabupaten/kota;

c) Dihapusnya kelompok upah sektoral merupakan perampasan hak pekerja pada sektor usaha tertentu untuk mendapatkan nilai upah yang lebih baik;

d) Perluasan alasan-alasan untuk terjadinya pemutusan hubungan kerja, termasuk beberapa alasan pemutusan hubungan kerja yang bersifat pada kondisi abstrak dan imajiner, sesuatu yang belum tentu terjadi;

e) Pengurangan nilai kompensasi akibat pemutusan hubungan kerja;

f) Pemberian kompensasi bagi pekerja PKWT (pekerja kontrak) merupakan sarana untuk mengadu domba sesama pekerja dan untuk melemahkan eksistensi organisasi serikat pekerja/serikat buruh;

g) Diperpanjangnya masa PKWT dan perluasan ruang lingkup pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh pekerja PKWT hanya akan menimbulkan ketidakpastian hubungan kerja dan berpotensi menimbulkan konflik sesama pekerja;

h) Perluasan ruang lingkup pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialih dayakan berpotensi menimbulkan konflik sesama pekerja (pekerja alih daya dan pekerja tetap) dan dalam jangka panjang pekerja tetap akan hilang pada semua perusahaan (terutama jika merujuk pada wacana perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021); pengaturan alih daya yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011.

i) Pergeseran otoritas melakukan pemutusan hubungan kerja, menimbulkan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi sekehendak hati pengusaha, terutama untuk membungkam pekerja/buruh atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang kritis, hal ini akan menghilangkan fungsi dan kontrol sosial otonom dari pekerja terhadap dominasi pengusaha dalam relasi hubungan kerja.

j) Program pelatihan kerja pemagangan yang dilakukan dengan minimnya sanksi terhadap setiap potensi pelanggaran yang dilakukan pengusaha dan lemahnya komitmen penegakan hukum dari instansi yang berwenang dalam bidang ketenagakerjaan akan menjadi ajang perbudakan modern atau perbudakan gaya baru; program pemagangan sebatas modus untuk menekan angka pengangguran dan mempekerjakan pekerja dengan upah murah.

3) Bahwa substansi Cipta Kerja pada kluster ketenagakerjaan berorientasi untuk melindungi kepentingan pengusaha dengan merampas hak-hak normatif pekerja/buruh yang dilindungi konstitusi. Hilangnya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negara. Praktek perampasan hak pekerja/buruh dilakukan secara sistematik legalistik.

4) Bahwa upaya untuk melanggengkan eksistensi Cipta Kerja (khususnya pada kluster ketenagakerjaan) kemudian masuk ke lembaga peradilan dengan diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021.

2. Ketidaktaatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pembentuk undang-undang cipta kerja.

Dalam keterangannya, Dr. Zainal Arifin Mochtar menerangkan bahwa perbedaan substansi antara UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 2/2020) dengan PERPPU 2/2022, bahkan nyaris tidak ada perubahan yang berarti. Bahwa pembentukan undang-undang merupakan sebuah proses yang sakral, sehingga pelibatan partisipasi publik menjadi hal yang sangat esensial. bahwa esensi dari pelibatan publik adalah amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Mahkamah Konstitusi sudah secara luar biasa menerjemahkan pemaknaan pelibatan partisipasi publik sebagai meaningful participation dalam konteks hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Jika kita membandingkan perubahan substansi dari UU 11/2020 dengan PERPPU 2/2022, terdapat perubahan antara lain:

UU 11/2020

PERPPU 2/2020

Pasal 64: dihapus

Pasal 64: pengaturan baru

1. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

2. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 67: frasa “penyandang cacat”

Pasal 67: diganti “penyandang disabilitas”

Pasal 84: dihapus

Pasal 84: pengaturan baru

Setiap Pekerja/ Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh.

Pasal 88A ayat (7): diubah

Pekerja/Buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Pasal 88A ayat (7): perubahan

Pekerja/Buruh yang karena kesengajaan dikenakan denda

Pasal 88C ayat (2): diubah

Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Pasal 88C ayat (2): perubahan

Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota.

Pasal 88C ayat (4) dan (5): dihapus

4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Pasal 88C ketentuan baru ayat (3) dan (6): perubahan:

3) Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi.

6) Dalam hal kabupaten / kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu

Pasal 88D ayat (2): diubah

Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Pasal 88D ayat (2): perubahan

Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Pasal 92 ayat (2): diubah

Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan upah.

Pasal 92 ayat (2): perubahan

Struktur dan skala Upah digunakan sebagai pedoman Pengusaha dalam menetapkan Upah bagi Pekerja/Buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih.

Jika mencermati perubahan substansi UU 11/2020 dengan PERPPU 2/2022, nampak bahwa keseluruhan perubahan tersebut merupakan perubahan yang sangat minimalis. Terdapat pengaturan kembali dari ketentuan yang sebelumnya dihapus dan yang lainnya sebatas melakukan penyesuaian sebagai dampak dari perubahan pada pasal yang lain. Selebihnya sebatas perbaikan redaksi.

Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 menegasnya perlunya dilakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation). Bahwa proses pembentukan PERPPU 2/2022 sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, sebab sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang agar dalam melakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 juga memperhatikan substansi yang mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, terutama para pekerja/buruh (telah dimohonkan judicial review namun belum dapat diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi karena harus memeriksa dan memutuskan permohonan pengujian formil). Semuanya sama sekali tidak diindahkan oleh Presiden dan DPR.

Pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi juga dilakukan dengan tidak mengindahkan diktum ketiga dan ketujuh. Bahwa secara nyata pemerintah tetap saja menerbitkan peraturan pelaksana yang didasarkan pada UU 11/2020 dan tetap menerbitkan dan/atau membuat berbagai kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU 11/2020 maupun peraturan pelaksana dari UU 11/2020.

Dengan mencermati perubahan substansi dari UU 11/2020 menjadi PERPPU 2/2022 dan dengan mencermati segala tindakan pembangkangan yang dilakukan pemerintah yang sebagian diantaranya telah diuraikan diatas, nampak bahwa perubahan substansi tersebut sebatas menggugurkan persyaratan bahwa telah dilakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 dan dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan penerbitan PERPPU 2/2022. Tindakan dimaksud dan keseluruhan tindakan pembangkangan yang dilakukan oleh pembentuk UU menegaskan tindakan pelecehan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan juga pelecehan terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Bahwa mengingat putusan Mahkamah Konstitusi merupakan pengejawantahan dari UUD 1945, maka tindakan yang dilakukan Presiden dan DPR merupakan tindakan pembangkangan terhadap Konstitusi negara. Maka adalah wajar jika kemudian mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, secara tegas menyatakan bahwa tindakan Presiden Joko Widodo dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat diarahkan untuk dilakukan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden Joko Widodo.

4. Undang-Undang Cipta Kerja sendiri, dianggap bertentangan dengan moralitas dan constitutional values dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam konteks ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa UU 6/2023 lahir dari PERPPU 2/2022, bukan lahir dari undang-undang sebagaimana biasanya, sehingga jika dilakukan pengujian secara formil maka bukan hanya UU 6/2023 nya saja yang diuji, tetapi juga pengujian terhadap formalitas pembentukan PERPPU 2/2022. Dalam kaitannya dengan pengujian formil, beberapa hal penting sebagai parameter penilaian antara lain; (1) memang ada kondisi kegentingan; (2) tidak ada peraturan yang bisa dipakai untuk mengisi kekosongan hukum; (3) tidak cukup waktu bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang dengan cara biasa, (4) harus dikeluarkan (PERPPU) ketika DPR sedang tidak bersidang; dan, (5) harus diperlakukan (proses pembahasannya) dalam konteks kondisi kedaruratan sebagai alasan penerbitan PERPPU. Kita tidak tahu sebenarnya, sampai saat ini, tidak terbayang sedikit pun apa sebenarnya kegentingan yang memaksa yang membuat Presiden harus mengeluarkan PERPPU dan menggeser dari logika hukum tata negara biasa menjadi masuk rezim tata negara darurat? Hal ihwal kegentingan memaksa ini harus mendapatkan porsi yang harus dibicarakan. Harus diingat bahwa undang-undang yang sekarang diujikan secara formil ini tidak lahir dari konteks biasa. Dia lahir dari konteks luar biasa. Karena lahir dari konteks luar biasa, maka pembicaraan soal formalitas PERPPU nya tetap menjadi penting.

5. Konstitusionalitas PERPPU (yakni PERPPU 2/2022).

Pada konteks ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar menyitir apa yang ditulis oleh K.C. Wheare, dikatakan formal konstitusional juga sebagai constitutional adjudication atau konstitusionalitas yang berbasis dari adjudikasi. Pada level ini, bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan tiba-tiba membentuk PERPPU, menggesernya dari konsep undang-undang dan kewajiban untuk memperbaiki yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam dua tahun, adalah penghinaan terhadap konstitusi itu sendiri, dan penghinaan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dan terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Tindakan ini seakan-akan mengatakan bahwa silakan Mahkamah Konstitusi membangun konstitusionalitas yang dia mau, sedangkan pemerintah dan DPR itu akan memikirkan konstitusionalitas yang ingin dibangun dengan sendirinya.

Beberapa pokok pemikiran tentang hal ini sebagian besarnya telah diuraikan sebelumnya. Bahwa sebagai negara hukum, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum. Dalam hal ini, ketentuan hukum harus dibuat secara tertulis agar terdapat kepastian hukum dan agar penguasa tidak bertindak semaunya. Hukum yang tertulis ini kemudian memberikan ruang partisipasi publik untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, untuk menilai validitas setiap tindakan penyelenggara dan penyelenggaraan negara. Sulit bagi kita untuk membayangkan komitmen kepatuhan hukum yang baik dari pemerintah, ketika suatu ketentuan hukum yang dibuat secara tertulis, dan ketahui banyak masyarakat, namun tetap dilanggar tanpa sedikitpun mempunyai rasa malu. Bisa dipastikan kondisi akan semakin memburuk jika ketentuan penyelenggaraan negara dan pengaturan ketertiban hidup bersama dibuat secara tidak tertulis. Budaya kepatuhan hukum yang rendah justru diperlihatkan dan dipertontonkan oleh Presiden dan DPR. Pencopotan mantan Hakim Konstitusi Aswanto yang oleh seorang anggota DPR dianalogikan selayaknya penunjukkan seorang direksi oleh pemilik modal, dimana direksi harus bekerja sesuai keinginan pemilik modal. Analogi ini menegaskan DPR tidak menghormati Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengawal konstitusi (the guardian of constitution), sama sekali tidak dihargai oleh DPR, dalam perspektif yang disampaikan oleh anggota DPR tersebut memberi pesan bahwa jika anda (hakim konstitusi) adalah pilihan atau utusan dari DPR maka tidak boleh membuat keputusan yang menganulir produk undang-undang yang dibuat DPR. Cara berpikir yang demikian menegaskan bahwa penyelenggaraan negara telah dibawa kendali oligarki. Ketika koalisi partai pendukung menjadi dominan maka fungsi check and balance tidak berfungsi, sebab konduktornya adalah kepentingan, bukan lagi trias politika sebagaimana seharusnya dalam negara demokrasi. Kepentinganlah yang menyatukan segala perbedaan.

6. Bahaya penggunaan kegentingan dan kemendesakan yang sering dilakukan oleh negara

Dengan merujuk pada buku “Ironi Demokrasi” yang ditulis oleh Giorgio Agamben, dikatakan bahwa demokrasi itu lahir dari kondisi yang darurat. Kenapa lahir dari kondisi darurat? Karena demokrasi itu selalu berkembang seiring dengan tragedi kemanusiaan. Selalu ada kedaruratan, baru kemudian lahir demokrasi. Yang namanya checks and balances itu lahir dari sebuah peristiwa luar biasa. Yang namanya trias politica itu juga lahir dari konteks luar biasa. Yang luar biasanya, kata Agamben, “Malah demokrasi ini kemudian sering dibuat seakan-akan menjadi keadaan darurat dan memaksa atau genting, sehingga kemudian ada alasan untuk menerabas demokrasi itu sendiri, dan itu berbahaya.” Yang paling berbahaya katanya dari demokrasi adalah ketika rezim yang terpilih dari sebuah proses demokratis itu membuat kegentingan-kegentingannya sendiri dan membuat kedaruratan-kedaruratannya sendiri, lalu dengan seketika dia bisa menggunakan alasan untuk menghilangkan standar-standar demokrasi dan hak asasi yang seharusnya dijaminkan dalam negara yang demokratis dan beradab. Ini berbahaya. Tradisi ini sudah seharusnya mulai diawasi dengan baik, agar Mahkamah Konstitusi mulai mengingatkan negara, khususnya pemerintah, untuk tidak serampangan dalam menggentingkan atau mendaruratkan sesuatu yang sebenarnya sangat bisa diperdebatkan soal kegentingan dan kedaruratannya. Batasan-batasan yang penting untuk itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh mengingat kebiasaan menggunakan keadaan kegentingan dan kedaruratan itu untuk menerabas prinsip hak asasi yang sebenarnya dijaminkan juga di dalam konstitusi.

Kekhawatiran Dr. Zainal Arifin Mochtar cukup beralasan dengan merujuk pada tulisan Giorgio Agamben. Sebagai contoh sederhana untuk menjelaskan hal ini, bahwa dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review terhadap UU 13/2003, terdapat beberapa putusan yang memberikan perlindungan hak konstitusional pekerja/buruh yang juga sebagai warga negara, sepanjang putusan tersebut memberikan jaminan dan perlindungan konstitusional bagi pekerja/buruh, pemerintah secara kreatif menyiasati dengan membuat peraturan hukum yang baru untuk mengaburkan atau menegasikan eksistensi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sebagai contoh, misalnya kewajiban menempuh mekanisme peradilan pidana dalam hal terdapat dugaan “kesalahan berat”, dalam Cipta Kerja, disiasati dengan membentuk konsep hukum baru yakni “alasan mendesak”. Hal lainnya misalnya terkait jaminan keberlangsungan hubungan kerja bagi pekerja alih daya, dimana Mahkamah Konstitusi mewajibkan agar hubungan kerja antara pekerja alih daya dengan pengusaha alih daya adalah hubungan kerja yang didasarkan pada PKWTT dan kewajiban menerapkan prinsip TUPE dalam hal terjadi perubahan perusahaan alih daya, semua itu tidak dipatuhi oleh Pemerintah. Hal lainnya misal dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi, pemaknaan atas efisiensi ini harus relevan dengan kondisi aktual perusahaan. Namun dalam PP 35/2021, kekuatiran akan terjadinya kerugian saja memberikan hak kepada pengusaha untuk dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, dan berbagai kasus pembangkangan lainnya.

Sebagai warga negara, dengan melihat situasi dan kondisi hari ini, sulit untuk menaruh kepercayaan akan komitmen keberpihakan dari Pemerintah dan DPR. Peta koalisi partai politik yang didominasi oleh Partai Pendukung pemerintah telah mematikan nalar sehat, kesadaran dukungan basis masyarakat, komitmen sebagai wakil rakyat yang harus sungguh mewakili rakyat dari segenap anggota DPR. Pengakuan Faisal Basri, seorang ekonom yang kritis terhadap berbagai kebijakan Pemerintah, bahwa sepanjang proses pembahasan UU 11/2020, beberapa kali diundang oleh beberapa fraksi untuk dimintakan pandangan, hal mana dalam kesempatan tersebut, beberapa anggota DPR secara vulgar menyatakan ketidaksetujuan atas UU 11/2020 namun tidak berdaya karena pimpinan partai politik sudah memberikan restu kepada Pemerintah untuk melanggengkan UU 11/2020.

Salam waras.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------bersambung

FSP LEM SPSI : MENUJU PERUBAHAN YANG BERKELANJUTAN

 

                           FSP LEM SPSI : MENUJU PERUBAHAN YANG BERKELANJUTAN

Oleh : Yosep Ubaama Kolin

 

Sebagai organisasi pergerakan, Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) terus berbenah diri untuk menuju organisasi yang maju, dinamis, bertumbuh dan modern. Tantangan organisasi yang semakin berat menuntut FSP LEM SPSI untuk segera merealisasi program kerja dan berbagai rekomendasi yang diamanatkan dalam Musyawarah Nasional VII (MUNAS VII) yang diselenggarakan di Grand Mercure Hotel, Malang pada tanggal 16 hingga18 Februari 2023. Untuk melaksanakan salah satu amanat MUNAS VII, pada hari Selasa 25 Juli 2023, bertempat di Kantor DPP FSP LEM SPSI, yang dikenal sebagai Rumah LEM diadakan pelantikan badan-badan organisasi, yaitu Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) dan Badan Kehormatan Organisasi (BKO). Kehadiran kedua lembaga menjadi sangat penting dan dibutuhkan organisasi mengingat dinamika organisasi yang terus meningkat.

Orang bijak mengatakan bahwa, perubahan selalu dimulai dari dalam. Dalam semangat itulah pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP FSP LEM SPSI) merasa perlu untuk segera merealisasi keberadaan badan organisasi untuk mengawal perjalanan organisasi ini dalam melewati segala tantangan, baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Majelis Pertimbangan Organisasi adalah suatu lembaga yang memberikan gagasan, saran, pendapat, pertimbangan, dan konsultasi terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pengurus DPP FSP LEM SPSI, baik diminta maupun tidak diminta. Kehadiran badan organisasi ini sangat penting untuk mendukung kinerja pengurus DPP FSP LEM SPSI dalam mengemban amanah organisasi. Kehadiran MPO diharapkan mampu memberikan ide-ide baru dan kontekstual sehingga FSP LEM SPSI terus berkembang secara adaptif dan responsif. Hal yang sama juga dengan BKO, dalam mengawal komitmen segenap elemen organisasi dalam menjalankan tugas, peran dan fungsi, sehingga komitmen berorganisasi bisa dikawal dan ditegakkan jika terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya.  

Proses seleksi personalia dalam badan organisasi MPO dan BKO, dilakukan melalui seleksi berjenjang. Dimulai dengan setiap Dewan Pimpinan Daerah FSP LEM SPSI diminta untuk memberikan usulan nama, selanjutnya setiap pengurus DPP yang hadir pada rapat insidensil juga memberikan usulan nama. Setelah semua nama terkumpul, dilakukan verifikasi untuk masing-masingnya, apakah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan organisasi. Untuk menduduki jabatan sebagai ketua dan sekretaris untuk masing-masing, ditentukan dari jumlah suara yang mengusung setiap nama tersebut. Perolehan suara terbanyak ditunjuk sebagai ketua dan selanjutnya sesuai dengan struktur organisasi untuk setiap badan. Proses seleksi tersebut dilakukan secara terbuka dan demokratis.

Kepengurusan MPO FSP LEM SPSI dikukuhkan berdasarkan Surat Keputusan DPP FSP LEM SPSI Nomor: KEP.008/DPP FSP LEM SPSI/SPSI/VII/2023, dengan komposisi personalia terdiri dari; Drs. Fauna Sukma Prayoga, sebagai ketua; Wiryanti, S.T., sebagai Sekretaris, Ir. Idrus, Yulianto, S.H., dan Dra. Agusdina Kusumastuti, masing-masingnya sebagai anggota. Kehadiran MPO untuk mengawal jalannya roda organisasi DPP FSP LEM SPSI agar sesuai dengan program kerja yang sudah dibuat dan disepakati dalam MUNAS VII FSP LEM SPSI, maka di pandang perlu dibentuk sebuah badan/majelis yang tugasnya memberikan gagasan, saran, pendapat, pertimbangan, dan konsultasi terhadap kebijakan-kebijakan yang di ambil DPP FSP LEM SPSI. Latar belakang personalia MPO ini memberikan optimisme tersendiri. Melihat latar belakang dan pengalaman berorganisasi dari semua personalia MPO yang telah teruji, diharapkan mampu memberikan akselerasi yang dinamis dalam perjalanan FSP LEM SPSI sesuai dengan tugas, peran dan tanggung jawabnya. Berdasarkan Peraturan Organisasi Nomor: 01/PO/DPP FSP LEM/SPSI/V/2023, MPO mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab; (1) Bertugas memberikan gagasan, saran, pendapat kepada pengurus DPP FSP LEM SPSI selama 1 (satu) periode kepengurusan DPP FSP LEM SPSI; (2) Berwenang memberikan pertimbangan kepada pengurus DPP FSP LEM SPSI; (3) Majelis Pertimbangan Organisasi dan pengurus DPP bersidang minimal 2 (dua) kali dalam 1 (satu) periode kepengurusan; dan, (4) Berkewajiban membuat laporan tertulis pada akhir kepengurusan yang disampaikan dalam MUNAS atau MUNASLUB.

Kepengurusan BKO FSP LEM SPSI dikukuhkan berdasarkan Surat Keputusan DPP FSP LEM SPSI Nomor: KEP.007/DPP FSP LEM SPSI/SPSI/VII/2023, dengan komposisi personalia terdiri dari; Muadji Santoso, S.H., sebagai ketua, Agus Jaenal, S.H., M.H., sebagai sekretaris, Dewa Sukma Kelana, S.H., MKn, Daniel, S.H., M.H., dan Surya Sanjaya, S.H., masing-masing sebagai anggota. BKO hadir dengan suatu tekad untuk menjaga eksistensi, nama baik dan kehormatan organisasi FSP LEM SPSI dari perilaku pengurus dan anggota yang menyimpang atau tidak sesuai dengan AD/ART serta ketentuan organisasi lainnya di semua tingkatan. Tanggung jawab ini tidak mudah, mengingat organisasi FSP LEM SPSI terus berkembang dan bertumbuh dengan segala dinamika konflik yang semakin kompleks. Dengan melihat komposisi personalia yang duduk dalam badan organisasi ini, diharapkan mampu menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam kaitannya dengan penyelenggaraan dan tata kelola organisasi pada setiap tingkatan. Dengan kematangan dan pengalaman berorganisasi serta latar belakang pendidikan yang berbasis ilmu hukum untuk setiap personalia BKO, diharapkan mampu menyelesaikan setiap persoalan keorganisasian dengan pendekatan-pendekatan yang sistematis, terukur, imparsial dan profesional dengan tetap mengedepankan menjaga persatuan dan kesatuan organisasi. Persoalan merupakan keniscayaan dalam setiap organisasi, maka keterbukaan, ketenangan, kesungguhan dan tekad yang kuatlah yang bisa menghantar kita semua melewati setiap tantangan tersebut dalam kebersamaan dan kesolidan.

Berdasarkan Peraturan Organisasi Nomor: 02/PO/DPP FSP LEM/SPSI/V/2023, BKO bertugas; (1) Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para pengurus dan anggota dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik Organisasi; (2) Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan pengurus atau anggota terhadap peraturan, Tata Tertib dan Kode Etik organisasi; (3) Melakukan penyidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan anggota; (4) Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti DPP FSP LEM SPSI; (5) Menyampaikan rekomendasi kepada DPP FSP LEM SPSI berupa rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan pengurus atau anggota atas pengaduan anggota; (6) Menyampaikan laporan atas keputusan badan kehormatan kepada DPP FSP LEM SPSI; (7) Dapat menjatuhkan sanksi kepada anggota yang terbukti melanggar kode etik; (8) Badan Kehormatan Organisasi dan pengurus DPP bersidang minimal 2 (dua) kali dalam 1 (satu) periode kepengurusan; dan (9) Berkewajiban membuat laporan tertulis pada akhir kepengurusan yang disampaikan dalam MUNAS atau MUNASLUB.

Dalam sambutannya, bung Ir. Arif Minardi, Ketua Umum DPP FSP LEM SPSI mengingatkan agar dalam berorganisasi penting untuk tidak terjebak pada pragmatisme dan kepentingan pribadi yang akan membawa menuju perpecahan dan keruntuhan organisasi. Diharapkan semua elemen keluarga besar FSP LEM SPSI mampu menyikapi dinamika organisasi dengan kematangan sikap, keterbukaan dan kejernihan berpikir tanpa tendensi negatif antara satu dengan yang lainnya. Hal senada juga disampaikan oleh bung Drs. Fauna Sukma Prayoga, sebagai ketua MPO, yang dalam sambutannya memberikan penekanan, pentingnya membangun komunikasi yang konsisten dan berkelanjutan untuk menghindari saling curiga dan tendensi negatif dalam berorganisasi. Beliau mengingatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik, selama komunikasi yang setara dan terbuka dikedepankan dalam mengkomunikasi setiap persoalan yang terjadi. Kerja sama dengan berbagai lembaga harus terus digiatkan, terutama dengan lembaga-lembaga internasional, sehingga pada saatnya FSP LEM SPSI mampu menapakkan kakinya pada berbagai lembaga tersebut. Hal ini penting untuk menunjukkan eksistensi organisasi.

Dalam sambutannya, bung Muadji Santoso, S.H., sebagai ketua BKO mengingatkan pentingnya membangun organisasi ini untuk terus berbenah diri dan bersama berjuang untu menjaga nama baik organisasi. Persoalan yang semakin kompleks harus direspon dengan bijaksana dan diselesaikan hingga tuntas. Untuk itu agar kehadiran organisasi ini mampu memberikan kemanfaatan sesuai dengan maksud dan tujuannya, maka sangat diharapkan dukungan dan kerja sama semua elemen organisasi dalam membantu BKO dalam melaksanakan tugasnya. Proficiat dan selamat bertugas.

Resolusi Maja, Lebak, Banten naikan tuntutan dalam aksi buruh 10 Agustus 2023 mendatang

Para pimpinan serikat buruh/serikat pekerja tingkat nasional yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) menghasilkan suatu kesepakatan yang disebut Resolusi Maja di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten, (22/07/23).


F SP LEM SPSI, Gerakan buruh untuk mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja masih belum berhenti. Bahkan gerakan ini terus membesar dan melibatkan semakin banyak lagi organisasi buruh dan organisasi rakyat lainnya yang merasa dirugikan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Tadi malam (22/07/23) di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten para pimpinan serikat buruh/serikat pekerja tingkat nasional yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) menghasilkan suatu kesepakatan yang disebut Resolusi Maja.

“Resolusi Maja, Lebak  Banten ini merupakan penyempurnaan dari Resolusi Majalengka Jawa Barat bulan Mei lalu yang memutuskan bahwa 10 Agustus 2023 akan dilakukan aksi akbar kaum buruh Indonesia menuntut dicabutnya UU Omnibus Law Cipta Kerja dan pembatalan RUU Kesehatan. Namun tuntutan itu dinaikan lagi seiring dengan perkembangan kebijakan-kebijakan politik serta semakin bertambahnya organisasi buruh yang bergabung dalam AASB”, ungkap Ketua Umum GSBI. Rudi HB. Daman

Sementara itu menurut Ketua Umum SPN, Djoko Heriyono, terdapat UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang meliberalisasi sektor keuangan termasuk penggunaan oleh pemerintah terhadap dana-dana yang dikumpulkan masyarakat.

“Ini juga bersesuaian dengan UU Omnibus Law Kesehatan yang baru saja disahkan dengan tidak mencantumkan anggaran wajib untuk kesehatan masyarakat yang sebelumnya dianggarkan dalam APBN/APBD. Dengan begitu maka pelayanan kesehatan untuk  masyarakat bisa anjlok,” tegas Ketua Umum SPN Djoko Heriyono.

Djoko Heriyono yang didapuk membacakan Deklarasi Maja mengatakan bahwa yang diperlukan rakyat itu justru adanya jaminan sosial semesta sepanjang hayat, yaitu sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia, bukan malah semakin memunculkan ketidakpastian.

Adanya ketiga UU tadi, yaitu UU Cipta Kerja, UU Penguatan Sektor Keuangan dan UU Kesehatan, semakin menjauhkan rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial yang melingkupi kepastian kerja (job security), kepastian pendapatan (income security) dan kepastian jaminan sosial (sosial security).

Adapun Konsolidasi pimpinan serikat buruh/serikat pekerja di Maja, Lebak Banten tersebut berakhir sebelum jam 12 malam. Tampak juga hadir di antaranya Ketua Umum FSP-KEP Dedi Sudarajat, Sunarti Ketua Umum SBSI ’92, Presiden PPMI Daeng Wahidin, Sekjend GSBI Emelia Yanti Siahaan, Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat, Andi Mulyadi FSP-LEM dan Abdul Halim FSP-MI.


RESOLUSI MAJA, LEBAK BANTEN 22 JULI 2023 ALIANSI AKSI SEJUTA BURUH (AASB)

Sehubungan dengan perkembangan kebijakan politik, dan bergabungnya berbagai Serikat Pekerja – Serikat Buruh serta organisasi rakyat dari berbagai sektor dalam gerakan aksi 10 Agustus 2023 Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja pasca deklarasi Resolusi Majalengka-Jawa Barat 11 Mei 2023.

Maka pada hari ini Sabtu, 22 Juli 2023 jam 23.38 WIB, bertempat di Maja, Lebak Banten, untuk dan atas nama serta Demi Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia, Kami Pimpinan Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang tergabung dalam ALIANSI AKSI SEJUTA BURUH menyatakan ;

1. Bersepakat untuk menggelar Aksi Kepung Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2023, dengan Tuntutan CABUT OMNIBUS LAW  UU NOMOR 6 TAHUN 2023 tetang Cipta Kerja, CABUT UU PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN (UU P2SK), CABUT UU OMNIBUSLAW KESEHATAN DAN WUJUDKAN JAMINAN SOSIAL SEMESTA SEPANJANG HAYAT (Job Security, Income Security dan Social Security). dengan Sasaran aksi ISTANA  NEGARA/Kantor Presiden RI dan MAHKAMAH KONSTITUSI RI.

2. Menyerukan kepada seluruh Pimpinan (Pengurus) Badan organisasi Konfederasi dan Federasi untuk Memperkuat Kerja Konsolidasi di PUK/PSP/PPA/PTP/PB/PK/RANTING/ SPTP (Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Tingkat perusahaan) dan seluruh anggota, serta untuk memobilisasi anggota dan massa kaum buruh dan rakyat pada tanggal 10 Agustus 2023.

3. Memaksimalkan kerja perluasan jaringan dan mobilisasi massa, dengan Menjalin, mempererat dan Memperluas Aliansi dengan berbagai organisasi dari Seluruh sektor dan golongan Rakyat (Pemuda, Mahasiswa, Pelajar, Petani, Nelayan, Ojol, Perempuan, Masyarakat Adat, Kaum Miskin Kota, Para Akademisi, Ahli hukum dan lain sebagainya), untuk memenangkan tuntutan dan perjuangan kaum buruh dan rakyat Indonesia.

Demikian Resolusi ini di buat dan di siarkan untuk seluruh Serikat Pekerja-Serikat Buruh, kaum buruh dan rakyat Indonesia, sebagai bagian menyempurnakan resolusi. (obn) 

Aliansi Buruh Gruduk MKRI, kawal sidang MK Tentang DPR dan Presiden Jelaskan Proses Pembentukan UU Cipta Kerja

 

Foto: Aliansi Buruh Gruduk MKRI

MEDIA LEM SPSI,  Sekitar 500 orang buruh yang tergabung di Aliansi Buruh, mengruduk MKRI dalam rangka pengawalan Sidang Mahkamah konstitusi, buruh dari berbagai daerah seperti dari kabupaten Karawang,Bekasi dan Provini Banten untuk mendengarkan agenda kali ini tentang "Penjelasan DPR dan presiden mengenai proses Pembentukan UU Cipta Kerja,   Selasa (17/7/2023) 

Sidang  pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023         tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang  Cipta  Kerja  menjadi  Undang-Undang   (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah  Konstitusi  (MK).   Beragenda   mendengarkan  keterangan  DPR  dan  Pemerintah,  Permohonan Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 15 serikat atau federasi pekerja.

Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar dengan didampingi delapan hakim konstitusi, Anggota Komisi III DPR RI, Supriansa, menegaskan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian formil UU Cipta Kerja. DPR memohon kepada MK agar benar-benar menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan permohonan a quo sesuai dengan parameter kerugian hak atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan formil UU terhadap UUD 1945.

Foto: Penjelasan kuasa hukum Aliansi Buruh

Kuasa hukum dalam keteranganya menanggapi penjelasan dari DPR dan Presiden bahwa apa yang di jelaskan oleh kuasa hukum pemerintah tidak ada perubahan sama sekali yang akhirnya hakim meminta agar semua penjelasan agar tidak usah dibacakan dianggap sudah dibacakan

"Jelas legislasi model esekutif vi artinya kewenangan lebih berat dikewengan presiden  walau dari keterangan presiden menolak hal itu, meskipun ada penolakan dari presiden salah satu hakim konstitusi menangkap pesan kami sebenarnya, bagaimana kurang DPR untuk mengawasi presiden dalam pembentukan PERPPU itu tidak ditangkap presiden. justru keterangan presiden berputar-putar mengenai legilasi mengenai mahkamah konstitusi power, bukan itu poin kami tapi bagaimana DPR menyeimbangi proses legislasi, artinya fungsi pengawasan DPR dalam pembentukan undang-undang dalam hal ini pengesahan Peraturan Pemeritah tapi itu tidak di bahas dan itu tidak di tangkap presiden," ujar Caisa Aamuliadiga sebagai salah satu kuasa hukum Aliansi Buruh.

@krd


TANGGAPAN ATAS WACANA PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.

 

TANGGAPAN ATAS WACANA PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.

Oleh : Yosep Ubaama Kolin.


 

A.     Pendahuluan

Wacana Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36/2021) semakin memperlihatkan titik terang menuju realisasi. Tulisan ini berfokus pada wacana revisi PP 35/2021. Kebiasaan Pemerintah yang sebatas menggugurkan kewajiban formil dalam kegiatan yang demikian menimbulkan reaksi penolakan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang selama ini lantang menyuarakan penolakan terhadap mega proyek cipta kerja. Bahwa penolakan tersebut sangat berdasar jika mencermati substansi bahan tayang yang digunakan dalam sosialisasi tersebut, yang sama sekali tidak memperhatikan aspirasi dan penolakan yang selama ini disampaikan oleh berbagai elemen Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Hal ini semakin menegaskan bahwa Pemerintah sama sekali tidak memperhatikan aspirasi yang selama ini telah disampaikan Serikat Pekerja/Serikat Buruh baik dalam permohonan judicial review, audiensi dan berbagai isu yang muncul dalam aksi-aksi unjuk rasa.

Tulisan ini memberikan beberapa catatan kritis yang didasarkan pada bahan tayang yang digunakan dalam kegiatan sosialisasi dan “menyerap aspirasi publik” diterbitkan oleh Pemerintah melalui Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Catatan kritis tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, materi permohonan judicial review sehubungan dengan cipta kerja secara keseluruhan dan dengan didasarkan pada realitas dinamika hubungan industrial sebagai dasar penilaian terhadap materi perubahan kedua Peraturan Pemerintah tersebut.

 

B.      Menggugat Eksistensi PP 35/2021

Sebagaimana diketahui bersama bahwa eksistensi PP 35/2021 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 2/2020) yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah dinyatakan “...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” (inkonstitusional bersyarat). Putusan ini menimbulkan polemik yang memenuhi ruang publik sehubungan dengan ambiguitas tafsir dalam memaknai putusan tersebut. Dalam kaitannya dengan logika proses, eksistensi Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari suatu Undang-Undang sangat bergantung kepada eksistensi dari Undang-Undang yang menjadi sumber hukum sebagai dasar pembentukannya. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya[1].

Penegasan yang sama juga termaktub dalam Pasal 25 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), “Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Bahwa meskipun Pasal 28 UU 12/2011 memberikan suatu pengecualian, namun pengecualian tersebut, tidak menghilangkan akar historis eksistensi Undang-Undang yang menjadi dasar legitimasi pembentukan suatu Peraturan Pemerintah. Bahwa mengingat dasar legitimasi eksistensi dari PP 35/2021 adalah UU 2/2020 yang pada tanggal 25 November 2020 oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, maka keberlakuan UU 2/2020 adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari perintah Mahkamah Konstitusi yang termaktub dalam amar putusan tersebut. Bahwa secara nyata pembentuk undang-undang melakukan tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pembentuk undang-undang sama sekali tidak melaksanakan satupun dari perintah amar putusan Mahkamah Konstitusi. Maka eksistensi UU 2/2020 sebagai dasar legitimasi eksistensi PP 35/2021 sesungguhnya sudah tidak ada. Bahwa kesimpulan ini didasarkan juga atas sikap Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review yang dilakukan setelah pengucapan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, dimana Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa “para pemohon telah kehilangan obyek”. “Kehilangan obyek” dimaksud adalah UU 2/2020 yang menjadi obyek permohonan judicial review.

Bahwa persoalan ini menjadi salah satu akar polemik perihal ambiguitas putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang termaktub pada diktum 4 amar putusan. Harusnya ketika memahami sikap Mahkamah Konstitusi dalam permohonan judicial review pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2021, pemaknaan terhadap diktum ke 4 amar putusan tersebut harus dimaknai keberlakuan yang dibatasi oleh persyaratan yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Maka ketika persyaratan tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka eksistensi UU 2/2020 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Hal sama juga sebagai pengakuan Pemerintah ketika menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022), sebagaimana dalam konsideran huruf f ,“bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Bahwa pengakuan tersebut bagai pisau bermata dua, di satu sisi menegaskan pengakuan Pemerintah bahwa eksistensi UU 2/2020 sudah tidak ada pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2021 dan sekaligus menunjukkan sikap pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Bahwa dalam keseluruhan penjelasan tersebut, maka jelas bahwa eksistensi UU 2/2020 sudah tidak berlaku pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka dengan demikian keseluruhan peraturan pelaksana yang merupakan peraturan turunan dari UU 2/2020 dan/atau peraturan turunan yang dibentuk berdasarkan UU 2/2020 tidak mempunyai dasar legitimasi hukum. Dalam hal ini, maka eksistensi dan keberlakuan dari PP 35/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 2/2020 pada hakekatnya tidak memiliki dasar legitimasi. Mengingat UU 2/2020 yang merupakan dasar pembentukan dari PP 35/2021 telah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dengan memperhatikan keseluruhan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka dalam hal Pemerintah hari ini mewacanakan melakukan perubahan terhadap PP 35/2021 dan PP 36/2021 harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseluruhan pertimbangan hukum tersebut. Karena secara nyata, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Konstitusi juga memberikan beberapa catatan penting dalam hal substansi dari UU 2/2020 yang sebagian besar teknis implementasinya diatur dalam PP 35/2021. Dalam hal ini, jika wacana revisi terhadap PP 35/2021 dilakukan tanpa memperhatikan pertimbangan hukum tersebut, maka wacana revisi PP 35/2021 tidak lain merupakan kelanjutan dari tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, dan jika demikian maka wacana perubahan tersebut akan terus melanggengkan tindakan perampasan hak-hak pekerja/buruh untuk memperoleh pemenuhan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

 

C.      Substansi Perubahan PP 35/2021.

Berdasarkan bahan tayang yang disampaikan Pemerintah dalam giat sosialisasi dan penyerapan aspirasi publik sehubungan dengan wacana revisi terhadap PP 35/2021, isu perubahan substansi tersebut antara lain sebagai berikut:

1.       Substansi Perubahan PP 35/2021

a.       Pengaturan Alih Daya Dalam UU 13/2003

Pasal 64 menegaskan, Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis[2]. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis[3]. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan alih daya harus memenuhi ketentuan, (1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; (2) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, (3) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, (4) tidak menghambat proses produksi secara langsung[4]. Selanjutnya ditegaskan bahwa perusahaan alih daya harus berbentuk badan hukum[5], Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku[6]. Selanjutnya, jika persyaratan terhadap ketentuan pekerjaan yang dapat dialih dayakan dan jika perusahaan alih daya tidak berbentuk badan hukum, maka otomatis terjadinya peralihan status hubungan kerja antara pekerja perusahaan alih daya menjadi pekerja pada perusahaan pengguna jasa perusahaan alih daya[7].

Mencermati ketentuan tersebut, ketentuan dalam UU 13/2003 di satu sisi memberikan perlindungan yang lebih baik, terutama dalam hal jaminan kesejahteraan disisi lain terdapat kelemahan. Namun kelemahan tersebut timbul lebih karena praktik kotor yang dilakukan oleh pengusaha alih daya yang tidak mau menanggung beban operasional sehubungan dengan eksistensinya sebagai perusahaan alih daya dan merupakan bentuk kejahatan untuk menyiasati pembayaran pajak kepada Negara. Celah praktik kotor ini kemudian mendapatkan perlindungan yang lebih memadai setelah dilakukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana nampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 5 Januri 2012, yang dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan sebagai berikut:

Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing[8].

Mencermati pada poin pertama, hal ini karena jenis kegiatan tersebut merupakan core business dari perusahaan alih daya, dimana karena merupakan core business, maka wajib untuk mempekerjakan pekerja dengan status hubungan kerja sebagai pekerja PKWTT (pekerja tetap), bukan pekerja PKWT (pekerja kontrak). Sebab hal ini bertentangan dengan ketentuan mengenai sifat dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja PKWT. Pekerja yang boleh dilakukan oleh pekerja PKWT mempunyai sifat dan jenis yang mempunyai karakteristik tertentu, yang pada intinya tidak berhubungan dengan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi[9]. Sehubungan dengan poin ke dua, hal ini tidak lepas dari praktik kotor oknum pengusaha alih daya yang nakal yang menempatkan pekerja alih daya sebagai obyek eksploitasi untuk memupuk kekayaan dan sama sekali tidak peduli dengan jaminan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi pekerja alih daya. Bahwa mengingat perlindungan sosial dan kesejahteraan bagi pekerja alih daya sekurang-kurangnya sama dengan jaminan perlindungan sosial dan kesejahteraan pada perusahaan pengguna pekerja alih daya dan/atau tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada perusahaan pengguna alih daya untuk melakukan monitoring terhadap jaminan pemenuhan perlindungan sosial dan kesejahteraan. Hal ini yang sering membuat perusahaan pengguna pekerja alih daya tidak nyaman dengan serikat pekerja/serikat buruh. Bahwa fungsi monitoring yang dilakukan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut didasari oleh penyimpangan pelaksanaan dalam hal penempatan kerja, dimana penempatan kerja pekerja alih daya melanggar ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU 13/2003, dimana dalam hal demikian, pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja alih daya dengan pekerja pada perusahaan pengguna jasa pekerja alih daya adalah sama. Jika kondisi demikian yang terjadi dan terdapat pembayaran upah yang berbeda, maka perusahaan pengguna jasa pekerja alih daya telah melakukan pelanggaran diskriminasi pembayaran upah yang menegaskan bahwa untuk pekerjaan yang sama harus dibayar secara sama.

b.       Pengaturan Alih Daya Dalam UU 6/2023 dan PP 35/2021

Mencermati ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 dalam UU 6/2023 dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 PP 35/2021, secara prinsip bisa dikatakan, ketentuan tersebut telah menerapkan prinsip TUPE yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 5 Januri 2012. Kelemahan dari pengaturan ini adalah  menyetarakan daya tawar (bargainning position) antara pekerja/buruh dengan pengusaha alih daya seakan sama. Pemerintah tidak konsisten dengan isu yang dibangunnya sendiri. Bahwa Pemerintah sering menyatakan bahwa angkatan kerja Indonesia secara mayoritas merupakan pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat keterampilan kerja (skill) yang rendah namun menempatkan secara setara dalam relasi kuasa yang tidak seimbang. Pemerintah Indonesia lupa bahwa ketika terdapat ketidakseimbangan ketersediaan lapangan kerja dengan pencari kerja, maka daya tawar pencari kerja akan sangat rendah. Bahwa kehadiran Pemerintah dalam memberikan proteksi dalam hal perlindungan upah dan jaminan sosial minimum adalah patut diapresiasi dan itu merupakan kewajiban negara, namun disisi lain menyetarakan kesamaan daya tawar antara pekerja atau pencari kerja dengan pengusaha ketika terjadi ketidakseimbangan ketersediaan lapangan kerja dengan angkatan kerja adalah kesalahan yang fatal.

Kesalahan kemudian berlanjut dengan hilangnya sanksi administratif berupa peralihan status hubungan kerja antara pekerja alih daya dengan perusahaan pengguna jasa alih daya dalam hal terjadi penyimpangan dan/atau pelanggaran dalam pemenuhan hak maupun pelaksanaan penempatan kerja. Bahwa dihapusnya ketentuan mengenai peralihan status hubungan kerja ini kemudian dalam praktik hanya akan melahirkan rangkaian pelanggaran dan penyimpangan dalam pelaksanaan dan semuanya bermuara menciptakan konflik hubungan industrial. Sanksi yang lemah akan menimbulkan konflik.

c.       Wacana Perubahan Substantif PP 35/2021

Merujuk pada bahan tayang materi sosialisasi, diketahui bahwa wacana perubahan mencakup antara lain; (1) Kriteria pekerja; (2) Pemberitahuan kepada Instansi Ketenagakerjaan; (3) Muatan/Isi Perjanjian Alih Daya; (4) Pendaftaran Perjanjian Alih Daya; (5) Jaminan Kelangsungan Bekerja Dalam Hal Terjadi Pergantian Perusahaan Alih Daya; (6) Uang Kompensasi; dan (7) Sanksi Administratif. Masing-masingnya akan diuraikan sebagai berikut:

1)      Kriteria pekerjaan

Kriteria pekerjaan yang dapat dialih dayakan mencakup:

a)       Pekerjaan yang tidak terkait pengambilan keputusan

Merupakan pekerjaan non manajerial, antara lain pelayanan kebersihan (cleaning service), penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), penyediaan tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), penyediaan jasa penunjang di sektor usaha tertentu (pertambangan, perminyakan dan energi), serta penyediaan angkutan pekerja/buruh. Catatan: Yang dimaksud dengan pekerjaan manajerial meliputi pemikir, perencana, dan/atau pengendali jalannya perusahaan.

Catatan Kritis:

(1)    Bahwa pengaturan yang demikian hanya akan melahirkan konflik hubungan industrial yang berkelanjutan. Penambahan terminologi dan/atau konsep “pekerjaan non manajerial” dan “pekerjaan manajerial” memunculkan bias tafsir dalam pemaknaan terhadap ketentuan tersebut. Bahwa pemberian contoh terhadap 5 (lima) jenis pekerjaan yang antara lain: lain pelayanan kebersihan (cleaning service), penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), penyediaan tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), penyediaan jasa penunjang di sektor usaha tertentu (pertambangan, perminyakan dan energi), serta penyediaan angkutan pekerja/buruh, secara serta merta tidak membatasi ruang lingkup tafsir atas pemaknaan akan konsep “pekerjaan non manajerial” dan “pekerjaan manajerial”.

(2)    Bahwa penyebutan kelima jenis pekerjaan tersebut tidak dimaknai secara limitatif bahwa pemaknaan akan konsep “pekerjaan non manajerial” hanya terbatas pada kelima pekerjaan tersebut. Pertanyaan paling sederhana untuk menjelaskan hal ini, misalnya, apakah pekerjaan sebagai seorang operator mesin press atau operator mesin CNC masuk dalam kualifikasi pekerja manajerial? Tentu tidak, maka dengan demikian, maka kedua contoh pekerjaan tersebut pun dapat diterapkan perjanjian alih daya, karena memang bukan merupakan pekerjaan non manajerial. Maka ruang lingkup pekerjaan yang masuk dalam kualifikasi “pekerjaan non manajerial” adalah keseluruhan pekerjaan sepanjang tidak mencakup pemikir, perencana, dan/atau pengendali jalannya perusahaan. Semua pekerjaan di luar kriteria “pekerjaan manajerial” dapat dialih dayakan.

(3)    Bahwa wacana perubahan ini sebatas bertujuan untuk mengaburkan batasan untuk memperluas ruang lingkup pekerjaan yang dapat dialih dayakan. Perihal kelima contoh pekerjaan yang termaktub dalam bahan tayang tersebut hanya sebagai jebakan untuk mengaburkan ruang lingkup persepsi atas pemaknaan “pekerjaan manajerial” dan “pekerjaan non manajerial”, sebatas memberi makna tidak ada perubahan yang signifikan, namun senyatanya telah terjadi perubahan yang sangat signifikan.

(4)    Bahwa ketika wacana terebut direalisasi, realita perdebatan hukum bukan dibatasi oleh kelima pekerjaan yang dijadikan contoh, apalagi tidak ada penegasan bahwa kelima contoh tersebut merupakan pembatasan yang limitatif (tidak ada yang lain dan hanya itu). Bahwa substansi perdebatan dalam praktik adalah apakah suatu pekerjaan yang dialih dayakan merupakan “pekerjaan manajerial” atau “pekerjaan  non manajerial”.

b)      Pekerjaan untuk memenuhi kenaikan volume pekerjaan atau peningkatan permintaan barang atau jasa.

(Tidak terdapat penjelasan tambahan dalam materi sosialisasi/bahan tayang).

Catatan Kritis:

(1)    Bahwa mengingat hadirnya UU 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 65 UU 13/2003 maka penerapan ketentuan ini bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan sepanjang ada kenaikan volume pekerjaan atau peningkatan permintaan barang dan jasa. Hal ini tidak lepas dari perluasan kriteria pekerjaan yang dapat dialih dayakan yang tidak memberikan suatu batasan limitatif sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU 13/2003.

(2)    Bahwa implikasi dari ketentuan ini, hanya akan menciptakan ketidakpastian keberlanjutan hubungan kerja. Bahwa mengingat syarat formil dari kebutuhan untuk mempekerjakan pekerja alih daya adalah sebatas jika ada kenaikan volume pekerjaan atau peningkatan permintaan barang jasa, maka sepanjang salah satu dari kedua kondisi tersebut terpenuhi, maka perusahaan bisa menerapkan penggunaan pekerja alih daya.

c)       Pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus yang tidak dapat dikerjakan oleh perusahaan.

Antara lain pekerjaan yang menggunakan kecerdasan buatan atau kecerdasan entitas ilmiah seperti Geoscience, Data Scientists, Data Engineers, Artificial Intelligence Scientist, Algorithm Engineer, Machine Learning Engineer, Machine Learning Researchers, Software Architect, Software Developer, Software Engineer dan pemasaran (marketing).

Catatan Kritis:

Bahwa persoalan mendasar dalam isu alih daya adalah mengenai pengaturan sifat dan jenis pekerjaan yang dapat dialih dayakan. Sepanjang ada kriteria yang bersifat limitatif, maka terdapat kepastian untuk pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialih dayakan. Dalam kriteria ini, kembali kepada hal yang disampaikan sebelumnya, bahwa keseluruhan contoh pekerjaan tersebut tidak dapat dimaknai secara limitatif. Perluasan pemaknaan sangat mungkin terjadi. Bagi pengusaha sangat mudah menyiasati penyimpangan dalam pelaksanaan dengan isu "reorganisasi perusahaan”. Aktifitas bisnis sebagai kegiatan yang dinamis, isu reorganisasi ini merupakan keniscayaan dalam perusahaan. Bahwa dalam hal ini, semua penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan bisa disiasati dengan isu-isu dinamika bisnis. Pola ini sering dilakukan pengusaha sehingga mudah untuk mendeteksi potensi penyimpangan jika wacana perubahan ini dipaksakan untuk dilakukan.

d)      Pekerjaan yang sementara sifatnya.

Antara lain pekerjaan proyek dengan durasi tertentu seperti pekerjaan musiman, termasuk karena adanya kebutuhan sementara untuk memenuhi perubahan proses bisnis baru yang masih perlu penyesuaian.

Catatan kritis:

Bahwa sehubungan dengan kriteria ini, pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan penjelasan sebelumnya. Bahwa sampai saat ini tidak ada kejelasan acuan waktu dalam memaknai “pekerjaan yang sementara sifatnya”. Maka penting untuk ditentukan suatu acuan waktu atau suatu kriteria tertentu sebagai acuan untuk menentukan batasan pemaknaan terhadap frasa “pekerjaan yang sementara sifatnya”. Dalam praktik, semua dimulai dengan pemaknaan sebagai “pekerjaan yang sementara sifatnya” dan kemudian berlanjut menjadi penyimpangan abadi.

e)       Penjelasan tambahan (dalam bahan tayang)

§  Perusahaan tidak boleh menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya selain dari kriteria pekerjaan yang telah ditetapkan Pemerintah;

§  Menteri dapat menambahkan kriteria setelah mendapatkan rekomendasi dari lembaga hubungan industrial;

§  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian rekomendasi dan/atau penambahan kriteria pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri.

Catatan kritis:

Bahwa pada poin pertama, seolah-olah ada ketegasan dari Pemerintah dalam menggulirkan wacana perubahan ini, karena semuanya sama sekali tidak bermakna. Terhadap poin kedua dan ketiga, dengan kewenangan yang mutlak dan sangat besar bagi Pemerintah untuk menciptakan regulasi sesuai keinginan pemilik modal dan oligarki, kita sebagai pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak mungkin berharap kewenangan yang besar tersebut akan digunakan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh. Beberapa kebijakan Pemerintah yang muncul belakangan ini membuat kaum pekerja/buruh sulit untuk menaruh kepercayaan kepada Pemerintah, bahwa Pemerintah akan menerbitkan ketentuan hukum yang memberikan perlindungan yang memadai. Perubahan paradigma Pemerintah dalam melihat relasi hubungan kerja adalah persoalan yang paling mendasar, yang menjadi sebab timbulnya berbagai regulasi yang tidak memberikan perlindungan kepapa pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah dalam relasi hubungan kerja. Pemerintah lupa dengan landasa filosofis yang termaktub dalam ketentuan UU 13/2003; (a) bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; (c)  bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; (d) bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

2)      Pemberitahuan kepada Instansi Ketenagakerjaan.

§  Perusahaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan alih daya wajib melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.

§  Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat kriteria pekerjaan yang akan diserahkan kepada Perusahaan alih daya.

§  Perusahaan tidak boleh menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan alih daya diluar dari kriteria pekerjaan yang telah diberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

Catatan kritis:

(1)    Bahwa terhadap keseluruhan ketentuan tersebut, sulit bagi kita (pekerja/buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh) untuk melakukan monitoring, apakah kepatuhan pelaksanaan terhadap ketentuan tersebut sungguh dijalankan atau tidak. Hal ini mengingat keseluruhan proses tersebut sepenuhnya dalam domain kewenangan pengusaha dan Pemerintah.

(2)    Persoalan yang mendasar dalam hal urusan teknis administratif dalam ketentuan ini adalah ketiadaan sanksi yang tidak menimbulkan efek jerah bagi pengusaha nakal.

 

3)      Muatan/Isi Perjanjian Alih Daya;

Perjanjian alih daya ditandatangani oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan alih daya, dan sekurang-kurangnya memuat: (a) ruang lingkup pekerjaan yang dialihdayakan kepada perusahaan alih daya; (b) jangka waktu perjanjian alih daya; (c) lokasi pelaksanaan pekerjaan; (d) penegasan bahwa nilai pekerjaan dan/atau nilai manajemen fee telah menjamin pelindungan kerja, syarat-syarat kerja dan seluruh hak-hak pekerja/buruh termasuk hak-hak akibat pemutusan hubungan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) penegasan bahwa perusahaan alih daya bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan alih daya sebelumnya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada dalam hal terjadi penggantian perusahaan alih daya.

Catatan kritis:

(1)    Bahwa keseluruhan ketentuan tersebut dalam ruang lingkup B to B (business to business), antara perusahaan dengan perusahaan. Bahwa pekerja alih daya sekalipun nyaris tidak mempunyai akses terhadap keseluruhan perjanjian tersebut. Hal ini posisinya sebatas obyek dalam penempatan kerja ketika terdapat kerja sama antara perusahaan alih daya yang mempekerjakan dirinya dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(2)    Bahwa meskipun secara gramatikal dapat dimaknai telah mengakomodir prinsip TUPE yang disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun implementasi dari ketentuan tersebut secara nyata adalah ketika tertuang dalam perjanjian antara perusahaan alih daya dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Siapapun tidak bisa menjamin kepatuhan substantif dalam sebuah perjanjian. Apalagi mengingat obyek dalam perusahaan alih daya adalah manusia pekerja, yang harus disadari betul oleh Pemerintah adalah jangan sampai muncul modus perbudakan modern gaya baru untuk menyiasati kelemahan regulasi, minimnya mekanisme pengawasan di luar institusi Pemerintah, rendahnya budaya kepatuhan hukum dan rendahnya komitmen penegakan hukum.

(3)    Seharusnya kerentanan posisi pekerja alih daya dalam relasi hubungan kerja mewajibkan Pemerintah untuk menghadirkan regulasi yang memberikan batasan yang jelas, terukur dan limitatif mengingat posisi pekerja sangat mungkin menjadi obyek eksploitasi dari pengusaha pemilik perusahaan alih daya. Hal ini didasarkan bahwa keberadaan alih daya adalah untuk memberikan ruang fleksibel bagi pengusaha dalam merespon dinamika dunia bisnis yang semakin kompetitif di era globalisasi sekarang ini. Maka suka-tidak suka, alih daya sepenuhnya untuk memastikan bahwa pengusaha mempunyai ruang fleksibel untuk menekan beban biaya tenaga kerja ketika terjadi perubahan dalam dinamika bisnis.

4)      Pendaftaran Perjanjian Alih Daya;

Perjanjian alih daya wajib didaftarkan oleh perusahaan alih daya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan atau dilakukan secara daring apabila sarana pendukung sudah tersedia.

Catatan Kritis:

Terhadap ketentuan ini tidak terdapat sesuatu yang perlu untuk dikritisi secara mendalam, selain kepatuhan dalam melaksanakan ketentuan dimaksud, yang sebagian besarnya telah disampaikan pada bagian sebelumnya.

5)      Jaminan Kelangsungan Bekerja Dalam Hal Terjadi Pergantian Perusahaan Alih Daya;

§  Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada.

§  Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja, perusahaan alih daya bertanggung jawab atas pemenuhan hak pekerja/buruh.

Catatan kritis:

(1) Terhadap poin pertama merupakan penerapan dari prinsip TUPE. Bahwa inti dari persoalan pengalihan perlindungan ini adalah siapa yang bisa memastikan bahwa perihal pengalihan perlindungan ini diatur secara spesifik dengan mengurangi hak-hak para pekerja alih daya dan siapa yang bisa memastikan komitmen pelaksanaan dari perjanjian pengalihan tersebut.

(2) Bahwa mengingat keseluruhan proses tersebut dilakukan tanpa melibatkan pekerja/buruh, tentu menjadi persoalan tersendiri. Beberapa kasus yang terjadi mestinya menjadi pelajaran bagi Pemerintah untuk memastikan bahwa suatu peraturan yang dibuat hendaknya bida mencapai tujuan dari pengaturannya. Akan menjadi sia-sia jika suatu ketentuan dibuat namun Pemerintah tidak bisa memastikan sejauh mana efektifitas dari ketentuan tersebut untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini berkaitan dengan tanggapan atas poin kedua.

6)      Uang Kompensasi

§  Perusahaan alih daya yang mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, wajib membayar uang kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

§  Dalam hal perusahaan alih daya telah memberikan uang kompensasi bagi pekerja PKWT sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka pemberian uang kompensasi dimaksud dianggap sebagai pemberian uang kompensasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini

Catatan kritis:

(1) Terhadap ketentuan pada poin pertama patut diapresiasi namun sesungguhnya tidak berdampak signifikan nilai kompensasi tersebut bagi pekerja/buruh. Apakah pemerintah tidak mengetahui bahwa pasca terbitnya PP 35/2021 banyak pengusaha menerapkan pola hubungan kerja dengan durasi waktu yang singkat? Pandangan ini tidak dalam konteks tidak menghargai nilai nominal kompensasi yang diberikan kepada para pekerja alih daya, namun bagaimana suatu nilai kompensasi itu bisa memberikan manfaat bagi pekerja tersebut ketika kehilangan pekerjaan. Perspektif yang dibangun dalam hal ini harusnya condong kepada asas manfaat, bukan condong kepada formalistik regulasi yang minim kemanfaatan.

7)      Sanksi Administratif

Sanksi administratif dikenakan apabila:

1. Perusahaan pemberi pekerjaan melaksanakan alih daya diluar dari kriteria pekerjaan yang ditentukan;

2.  Perusahaan pemberi pekerjaan tidak melakukan pemberitahuan tertulis kepada instansi dibidang ketenagakerjaan tingkat kab/kota;

3.  Perusahaan pemberi pekerjaan melaksanakan alih daya diluar dari jenis dan/atau ruang lingkup pekerjaan yang telah diberitahukan secara tertulis kepada instansi ketenagakerjaan;

4.       Perusahaan alih daya tidak mendaftarkan perjanjian alih daya.

5.       Perusahaan Alih Daya tidak membayarkan uang kompensasi;

6.       Perusahaan Alih Daya membayarkan uang kompensasi tidak sesuai perhitungan;

7.  Perusahaan Alih Daya tidak berbadan Hukum dan tidak memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

8.       Sanksi administrasi berupa:

a)       teguran tertulis;

b)      pembatasan kegiatan usaha;

c)       penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan

d)      pembekuan kegiatan usaha.

Catatan kritis:

(1)    Dengan mencermati ruang lingkup perubahan sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, secara skeptis bisa dikatakan hampir sangat kecil peluang pelanggaran. Bahwa hal ini disebabkan kontrol dan monitoring sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah dan pekerja alih daya. Apakah sistem pada Pemerintah sudah cukup efektif untuk memastikan pelanggaran yang bersifat administratif tersebut terdeteksi? Dari sisi pekerja alih daya, kita tidak bisa berharap akan adanya mekanisme check and balance yang efektif. Setiap sikap kritis pekerja alih daya adalah menjadi korban tindakan pemutusan hubungan kerja.

(2) Sikap permisif yang diperlihatkan Pemerintah terhadap berbagai pelanggaran regulasi ketenagakerjaan dengan alasan dinamika perekonomian global dan regional dan berbagai alasan lainnya dalam hal yang berkaitan dengan dinamika bisnis, tentu sulit bagi kita untuk percaya bahwa sanksi tersebut akan diberlakukan. Dalam kaitannya dengan itu, kepada siapa kita berharap yang akan memberikan laporan kepada Pemerintah perihal dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan pengusaha alih daya? Jika fungsi ini diharapkan muncul dari Pemerintah, ibarat pungguk merindukan bulan. Pemerintah pasti akan selalu hadir dengan berbagai alasan klasik, (1) sumber daya terbatas sehingga tidak bisa melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap semua pelanggaran yang terjadi, (2) bahwa sepanjang pelanggaran masih bisa ditolerir, diberikan kebijakan, (3) Mengingat fokus Pemerintah adalah untuk menekan angka pengangguran, maka sering muncul alasan tidak normatif berupa “tahapan pembinaan” atau “tahapan pengawasan”, (4) rekam jejak Pemerintah yang tidak pernah memberikan sanksi yang tegas sehubungan dengan berbagai pelanggaran yang dilakukan pengusaha.

8)      Kemanfaatan

Bahwa sebagaimana termaktub dalam bahan tayang sosialisasi, dinyatakan bahwa kemanfaatan bagi revisi PP 35/2021 antara lain: bagi pekerja; (1) Kesempatan kerja lebih luas; (2) Mendapatkan pengalaman kerja untuk memasuki pasar kerja yang lebih baik; (3) Peluang kerja sebagai pekerja tetap, pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap. Kemanfaatan bagi Pengusaha antara lain: (1) Fokus menjalankan bisnis utama; (2) Peluang mengembangkan usaha; (3) Peluang memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada pekerja. Kemanfaatan bagi Pemerintah: (1) Mengatasi pengangguran; (2) Meningkatkan investasi; (3) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Catatan kritis:

(1)  Dalam hal kemanfaatan ini, mungkin bagi kepentingan pengusaha dan Pemerintah bisa memenuhi ekspektasi sebagaimana dimaksud, namun apakah kemanfaatan yang sama juga dinikmati oleh pekerja? Semua nilai kemanfaatan disajikan dalam usaha untuk memberikan perspektif bahwa revisi terhadap PP 35/2021 dengan maksud untuk mengakomodir kepentingan semua pihak. Sebab dalam praktik, semua itu jauh panggang dari api jika melihatnya dalam perspektif pekerja alih daya. Dipekerjakan dengan durasi yang singkat (dalam kontrak kerja yang pendek/singkat) hanya memberikan kesempatan untuk sesaat mempunyai pekerjaan dan asal “perut masih kenyang” ketika terikat dalam hubungan kerja  dalam, selebihnya akan terus menciptakan lingkaran pengangguran yang tidak berujung.

(2)  Rendahnya komitmen penegakan hukum yang diperlihatkan Pemerintah ketika pelanggaran hukum dilakukan pengusaha, membuat semua kemanfaatan imajiner bagi pekerja/buruh tersebut menjadi semakin tidak bermakna.

(3) Bahwa adalah benar jika kesempatan kerja lebih luas bagi pekerja alih daya, namun luasnya kesempatan tersebut menjadi ancaman bagi pekerja tetap pada perusahaan pemberi kerja. Bahwa perluasan pengaturan untuk pekerjaan yang dapat dialih dayakan memperlihatkan sikap pemerintah untuk saling membenturkan sesama pekerja yang upahnya hanya cukup untuk hidup sebulan. Pola-pola pengaturan yang provokatif ini tidak lain merupakan bentuk penjajahan modern yang diawali dengan memecahbelah persatuan anak bangsa. Dan semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi keinginan tuan pemilik modal dalam lingkaran oligarki.

(4)  Bagi pekerja alih daya, peluang untuk menjadi pekerja tetap ibarat mimpi di siang bolong. Hal ini mengingat klasifikasi pekerjaan yang hanya didasarkan pada kategori “pekerjaan manajerial” dan “pekerjaan non manajerial”. Bahwa secara kemungkinan pasti ada, namun kepastian itu pasti tidak pernah ada.

 

D.     Kesimpulan dan sikap

Bahwa berdasarkan seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1.       Bahwa mendukung sepenuhnya sikap organisasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang secara tegas menyatakan sikap menolak dan menghadiri undangan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dalam upaya untuk melakukan sosialisasi dan “menyerap aspirasi publik” yang tidak pernah diserap, selain masuk dalam laci dan didiamkan.

2.       Bahwa wacana revisi terhadap PP 35/2021 sama sekali tidak memperhatikan aspirasi pekerja/buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah disampaikan kepada Pemerintah baik dalam pelaksanaan berbagai audiensi sebelumnya, maupun dalam berbagai aksi unjuk yang bertujuan menyuarakan berbagai penolakan dan usulan perubahan regulasi kepada Pemerintah.

3.       Bahwa Pemerintah secara nyata menutup mata dan/atau mengabaikan berbagai persoalan yang timbul sejak dimulainya “mega proyek cipta kerja”. bahwa telah banyak pekerja/buruh yang menjadi korban sejak dimulainya “mega proyek cipta kerja”. Bahwa pengabaian ini memperlihatkan bahwa eksistensi pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak dihargai dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari warga negara yang juga harus dijamin hak-hak sipil dan hak-hak ekonominya.

4.       Bahwa wacana revisi PP 35/2021 merupakan kelanjutan dari tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

5.       Bahwa perluasan ruang lingkup pekerjaan yang dapat dialih dayakan menjadi berpotensi mengancam eksistensi pekerja tetap pada perusahaan pemberi pekerjaan dan sangat mungkin menjadi potensi konflik sesama pekerja. Apakah Pemerintah sengaja menciptakan regulasi yang bertujuan untuk mengadu domba sesama pekerja?

6.       Bahwa lemahnya komitmen penegakan hukum dan minimnya sanksi yang memberikan efek jerah kepada pengusaha nakal, revisi PP 35/2021 hanya menjadi bagian dari barisan regulasi yang menambah daftar panjang penderitaan pekerja/buruh dan melegitimasi tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oknum pengusaha nakal.

Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka tidak ada hal lain yang bisa dilakukan pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh selain mengkonsolidasi diri untuk melakukan perlawanan kolektif. Perlawanan semesta pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

 

Salam perjuangan.

 

 

Referensi :

[1] Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 vide Pasal 1 angka 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jo. Pasal 1 angka 5 UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

[2] Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[3] Pasal 65 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[4] Pasal 65 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[5] Pasal 65 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[6] Pasal 65 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[7] Pasal 65 ayat (8) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, hal. 44

[9] Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

[11] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

[12] UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

[13] UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

[14] PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.