MENUNGGU KONSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP UU NO. 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG.
Oleh: Yosep Ubaama Kolin,SH.
A.
Pendahuluan
Bahwa
diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang, telah menuai polemik di masyarakat. Munculnya berbagai
polemik tersebut tentu wajar mengingat latar belakang Undang-Undang No. 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Sebagaimana diketahui
bersama, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang
menyatakan eksistensi UU No. 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 2/2020)
inkonstitusional bersyarat, Pemerintah merespon dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Respon ini jelas menyimpang dengan amar
yang diperintahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang
merupakan penetapan dan persetujuan DPR atas Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja.
Pasca
diundangkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang, berbagai kelompok masyarakat, terutama dari kalangan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh kembali mengajukan permohonan judicial review
kepada Mahkamah Konstitusi. Diketahui permohonan judicial review dalam lingkup
materiil maupun formil. Kita semua menunggu apa dan bagaimana keseluruhan
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dan apa amar putusan Mahkamah Konstitusi
dalam memutus permohonan judicial review tersebut. Apakah Mahkamah Konstitusi
konsisten dengan putusan terdahulu yakni pada putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020?
Pertanyaan ini adalah wajar mengingat berbagai tindakan intervensi yang
dilakukan oleh DPR maupun Pemerintah terhadap independensi Hakim Konstitusi.
Pemberitaan
berbagai media sehubungan dengan pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto cukup meresahkan
masyarakat. Sebagaimana diberikan berbagai media, bahwa alasan pencopotan Hakim
Konstitusi Aswanto karena sering membuat keputusan yang menganulir
Undang-Undang yang merupakan produk dari DPR, disisi lain, Hakim Konstitusi
Aswanto merupakan Hakim Konstitusi yang diusung oleh DPR. Secara gamblang,
Bambang Wuryanto, seorang anggota DPR menegaskan bahwa penunjukkan Hakim
Konstitusi Aswanto oleh DPR ibarat penunjukkan direksi perusahaan oleh pemilik,
dimana untuk itu sang direksi harus bekerja sesuai keinginan pemilik. Dalam hal
ini karena Hakim Konstitusi Aswanto merupakan Hakim Konstitusi yang di usung
oleh DPR maka Hakim Konstitusi Aswanto harus bekerja untuk kepentingan DPR.
Dengan paradigma yang dimiliki anggota DPR yang seperti ini kita tidak bisa
berharap bahwa kehadiran mereka dilembaga terhormat tersebut akan
memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat. Pencopotan Hakim Konstitusi
Aswanto oleh tuan principal DPR memperlihatkan arogansi dan intervensi
yang melampaui kewenangan.
Apakah
pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto akan menjadi “efek jerah” bagi Hakim
Konstitusi yang lainnya agar bertindak sesuai dengan keinginan tuan principal?.
Apakah dengan pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto membuat Hakim Konstitusi yang
lain kehilangan independensi dalam memutus setiap permohonan judicial review? Apakah
ketika Hakim Konstitusi hendak membuat keputusan atas setiap permohonan
judicial review harus dalam koordinasi dengan tuan principal? Apakah saat ini
Mahkamah Konstitusi bukan lagi sebagai lembaga penafsir konstitusi yang
independen, bebas dan mandiri? Atau, apakah saat ini Mahkamah Konstitusi harus
menafsirkan konstitusi sesuai keinginan dan pesanan tuan principal? Banyak
pertanyaan yang bisa diajukan sehubungan dengan peristiwa pencopotan Hakim
Konstitusi Aswanto.
Adalah
wajar jika kemudian masyarakat menjadi apatis dan tidak percaya dengan DPR dan
Pemerintah serta meragukan kredibilitas, independensi, integritas dan
profesionalitas segenap Hakim Konstitusi sehubungan dengan permohonan judicial
review atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang. Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto tidak lepas dari
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kita bisa juga mengatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang tidak ada bedanya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja. Dinamika historis inilah yang semoga tidak membelenggu Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan judicial review terhadap
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang.
B.
Meneguhkan
Dukungan Kepada Hakim Konstitusi.
Lembaga
peradilan merupakan lembaga yang independen dan bebas dari intervensi pihak
manapun ketika akan memutus suatu persoalan hukum yang diperhadapkan oleh warga
negara. Independensi dan bebas dari intervensi ini melekat untuk setiap
peradilan, tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan[1].
Mengingat besarnya kewenangan[2]
dan tanggung jawab yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, sulit untuk
mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi bebas dan mandiri serta tidak mendapatkan
intervensi dari berbagai kepentingan, terutama oleh penguasa. Bahwa terhadap
segala intervensi dengan berbagai kepentingan tersebut, semua berpulang kepada
integritas moral dari setiap Hakim Konstitusi, apakah memilih untuk tunduk dan
patuh atau tetap berdiri tegap dan kokoh untuk bebas, independen, berintegritas
dan profesional dalam memutus setiap permohonan judicial review.
Banyak
kepentingan dibalik lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja Menjadi Undang-Undang, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Hakim
Konstitusi dalam memutus permohonan judicial review atasnya. Secara gamblang,
pemberitaan berbagai media memperlihatkan, Pemerintah dan DPR kompak untuk
memastikan kelanggengan eksistensi Undang-Undang ini. Meskipun belakangan
beberapa fraksi tampak lantang menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang,
sulit bagi kita untuk meyakini bahwa semua itu murni gerakan penolakan yang
hakiki. Disisi lain, sistem demokrasi tidak memberikan ruang yang cukup bagi
beberapa fraksi tersebut untuk diperhatikan aspirasinya dalam mengambil
keputusan kolektif atas nama lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.
Penunjukkan
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah untuk menggantikan mantan Hakim Konstitusi
Aswanto juga membawa persoalan tersendiri. Terlepas dari berbagai jenjang
akademik dengan sederet prestasi dan jenjang karir yang gemilang, publik
menyangsikan independensi dan kebebasan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah. Publik
menilai penunjukkan Guntur Hamzah menggantikan mantan Hakim Konstitusi Aswanto
justru menjadi anomali atas sederet prestasi akademik dan karir yang gemilang.
Terlepas dari berbagai pernyataan akan independensi dan integritas yang diklaim
untuk membantah hal ini, suka tidak suka, beban moral tersebut telah melekat
dalam penunjukkan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dan untuk itu publik berharap
semoga hal ini tidak membelenggu Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam
menjalankan fungsinya sebagai Hakim Konstitusi. Batu ujian itu adalah dalam
putusan terhadap permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Mencermati
polarisasi sikap dan pendapat Hakim Konstitusi pada perkara nomor
91/PUU-XVIII/2020, dimana terdapat 4 (empat) Hakim Konstitusi yang menyampaikan
dissenting opinion yang pada intinya menyetujui metode omnibus law
digunakan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, apakah secara pragmatis, penunjukkan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah
untuk memenuhi rasio quorum dalam pengambilan keputusan dalam sidang Hakim
Konstitusi? Pertanyaan ini mungkin terkesan dangkal, tapi itulah gambaran
kekuatiran publik. Tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 91/PUU-XVIII/2020 menunjukkan bahwa “Mega Proyek Cipta Kerja” secara
nyata membuat rusaknya tatanan hukum dan keteladanan berhukum yang patut baik dari Pemerintah (Presiden) dan juga DPR.
Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi bahkan secara lantang
menyatakan bahwa tindakan Presiden Joko Widodo dalam menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat
diarahkan untuk dilakukan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden
Joko Widodo. Pernyataan ini tentu beralasan sebagaimana yang bisa kita simak
dalam pemberitaan berbagai media. Banyak juga dosen pada berbagai fakultas
hukum yang tendensius menyatakan gaya berhukum yang diperlihatkan Pemerintah
hari ini merusak tatanan pelajaran ilmu hukum di lembaga pendidikan.
Kedua
dinamika ini memperlihatkan dan mewakili keresahan publik atas gaya berhukum
yang diperlihatkan oleh Pemerintah dan DPR hari ini. Dinamika tersebut juga
menjelaskan saratnya kepentingan ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan
eksistensi Cipta Kerja. Sadar akan hal ini, tanpa bermaksud meragukan
integritas moral segenap Hakim Konstitusi, bahwa beban politik dalam memutus
perkara ini sangatlah berat, meskipun sesungguhnya tidak berat. Berat atau
ringan beban politik dalam memutus perkara ini sebatas mengubah sudut pandang
saja. Jika ketika memutus perkara ini, perspektif yang dominan adalah dari kepentingan
Pemerintah dan DPR, tentu akan terasa berat, namun akan menjadi ringan jika
perspektif yang dominan adalah murni menilai legalitas eksistensi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang baik
formil maupun materiil serta mendasarkan pada kepentingan seluruh rakyat
Indonesia.
Bahwa
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengakomodir metode omnibus law
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan[3],
pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, harus dimaknai secara komprehensif.
Pemaknaan yang komprehensif dimaksud dalam pengertian bahwa melihat historis
eksistensinya secara utuh dan juga mempertimbangkan keseluruhan putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini penting karena terkait
dengan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat
luas telah membuat perbandingan komparatif terhadap substansi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Terhadap beberapa
perubahan minor dalam dinamika tersebut, sama sekali tidak menggambarkan tindakan
yang patut dari pembentuk Undang-Undang sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Masyarakat luas dan khususnya segenap pihak yang
mengajukan permohonan judicial review pasti menolak jika perubahan minor
tersebut dimaknai sebagai pelaksanaan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 91/PUU-XVIII/2020, sebagaimana termaktub dalam konsideran huruf f
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang.
Sebagaimana
yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa tindakan pembangkangan terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi atas putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dilakukan
Pemerintah dan DPR adalah dengan sama sekali tidak mematuhi satupun dari
subtansi amar putusan tersebut yang memberikan pedoman tindakan yang harus
dilakukan oleh kedua lembaga tersebut. Penerbitan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun
diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang, sama sekali tidak sesuai dengan kepatutan tindakan yang
diamanatkan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Perbaikan terhadap
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maupun diundangkannya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang bukan sekedar mengganti eksistensinya dengan peraturan hukum lain
yang sederajat namun harus dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan hukum
terhadap pokok permohonan[4].
Mahkamah
Konstitusi telah memberikan rambu-rambu sebagai pedoman dalam melakukan
perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam
konteks ini jika kemudian dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pun tidak
masalah, sepanjang rambu-rambu sebagai pedoman dalam melakukan perbaikan
tersebut dilakukan. Hal yang sama juga dalam hal diundangkannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Yang dipersoalkan adalah rambu-rambu sebagai pedoman perbaikan yang tidak
dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang. Dengan semuanya ini tentu sudah jelas
sejauh mana legalitas eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dalam perspektif putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020.
C.
Kesimpulan
Dan Harapan
Dengan
mencermati beberapa pandangan yang telah disampaikan diatas, dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengingat
historis eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja Menjadi Undang-Undang yang secara nyata merupakan hasil dari tindakan
pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020,
maka eksistensi Undang-Undang tersebut tidak bisa dimaknai sebagai bagian dari
tindakan pembentuk Undang-Undang dalam melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi. Hal ini terutama terkait dengan buruknya kepatuhan Pemerintah
terhadap amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, juga terkait dengan pengabaian
terhadap rambu-rambu yang menjadi pedoman bagi pembentuk Undang-Undang untuk
melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.
2.
Bahwa
dengan pengaturan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, tidak serta merta dimaknai sebagai dasar
legalitas terhadap eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Bahwa hal ini mengingat dinamika
historis eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang dan tindakan pembangkangan Pemerintah dan DPR.
3.
Bahwa
sebagai termaktub dalam konsideran huruf f, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, “bahwa untuk melaksanakan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIIl2020, perlu dilakukan perbaikan
melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja”, jelas menunjukkan sikap yang tidak malu-malu dari pembentuk
Undang-Undang dalam melanggar amanat konstitusi. Sebab putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan pengejawantahan dari UUD 1945 sebagai konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa
untuk itu segenap masyarakat, terutama pihak-pihak yang telah mengajukan
permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang berharap Hakim Mahkamah Konstitusi
tetap teguh dan kokoh berdiri secara independen, berintegritas penuh dan bebas
dari segala belenggu kepentingan ekonomi-politik dalam memutus perkara ini.
Pencopotan terhadap Hakim Konstitusi Aswanto hendaknya menjadi motivasi untuk
semakin melepaskan diri segala belenggu kepentingan oligarki dan berpegang pada
cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[1] Pasal 2 UU No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
[2] Pasal 10 dan Pasal 11 UU
No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
[3] Konsideran huruf b, Pasal
42A, Pasal 64, Pasal 97A UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[4] Baca paragraf [3.17.4]
sampai dengan paragraf [3.23] Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
0 comments:
Posting Komentar