TANGGAPAN ATAS WACANA PERUBAHAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH
DAYA, WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.
Oleh : Yosep Ubaama Kolin.
A.
Pendahuluan
Wacana Pemerintah untuk melakukan
revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan
Hubungan Kerja (PP 35/2021) dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021
tentang Pengupahan (PP 36/2021) semakin memperlihatkan titik terang menuju
realisasi. Tulisan ini berfokus pada wacana revisi PP 35/2021. Kebiasaan
Pemerintah yang sebatas menggugurkan kewajiban formil dalam kegiatan yang
demikian menimbulkan reaksi penolakan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
selama ini lantang menyuarakan penolakan terhadap mega proyek cipta kerja.
Bahwa penolakan tersebut sangat berdasar jika mencermati substansi bahan tayang
yang digunakan dalam sosialisasi tersebut, yang sama sekali tidak memperhatikan
aspirasi dan penolakan yang selama ini disampaikan oleh berbagai elemen Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Hal ini semakin menegaskan bahwa Pemerintah sama sekali
tidak memperhatikan aspirasi yang selama ini telah disampaikan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh baik dalam permohonan judicial review, audiensi
dan berbagai isu yang muncul dalam aksi-aksi unjuk rasa.
Tulisan ini memberikan beberapa
catatan kritis yang didasarkan pada bahan tayang yang digunakan dalam kegiatan
sosialisasi dan “menyerap aspirasi publik” diterbitkan oleh Pemerintah melalui
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Catatan kritis tersebut
menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, materi
permohonan judicial review sehubungan dengan cipta kerja secara
keseluruhan dan dengan didasarkan pada realitas dinamika hubungan industrial
sebagai dasar penilaian terhadap materi perubahan kedua Peraturan Pemerintah
tersebut.
B.
Menggugat
Eksistensi PP 35/2021
Sebagaimana
diketahui bersama bahwa eksistensi PP 35/2021 merupakan peraturan pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 2/2020) yang
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah
dinyatakan “...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun
sejak putusan ini diucapkan” (inkonstitusional bersyarat). Putusan ini
menimbulkan polemik yang memenuhi ruang publik sehubungan dengan ambiguitas
tafsir dalam memaknai putusan tersebut. Dalam kaitannya dengan logika proses,
eksistensi Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari suatu
Undang-Undang sangat bergantung kepada eksistensi dari Undang-Undang yang
menjadi sumber hukum sebagai dasar pembentukannya. Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya[1].
Penegasan
yang sama juga termaktub dalam Pasal 25 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), “Perencanaan
penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat
daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Bahwa meskipun Pasal 28 UU
12/2011 memberikan suatu pengecualian, namun pengecualian tersebut, tidak
menghilangkan akar historis eksistensi Undang-Undang yang menjadi dasar
legitimasi pembentukan suatu Peraturan Pemerintah. Bahwa mengingat dasar
legitimasi eksistensi dari PP 35/2021 adalah UU 2/2020 yang pada tanggal 25
November 2020 oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah
dinyatakan inkonstitusional bersyarat, maka keberlakuan UU 2/2020 adalah
bertentangan dengan UUD 1945 jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari perintah
Mahkamah Konstitusi yang termaktub dalam amar putusan tersebut. Bahwa secara
nyata pembentuk undang-undang melakukan tindakan pembangkangan terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Pembentuk undang-undang sama sekali tidak
melaksanakan satupun dari perintah amar putusan Mahkamah Konstitusi. Maka
eksistensi UU 2/2020 sebagai dasar legitimasi eksistensi PP 35/2021
sesungguhnya sudah tidak ada. Bahwa kesimpulan ini didasarkan juga atas sikap
Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review yang dilakukan
setelah pengucapan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, dimana
Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa “para pemohon telah
kehilangan obyek”. “Kehilangan obyek” dimaksud adalah UU 2/2020 yang menjadi
obyek permohonan judicial review.
Bahwa
persoalan ini menjadi salah satu akar polemik perihal ambiguitas putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang termaktub pada diktum 4 amar
putusan. Harusnya ketika memahami sikap Mahkamah Konstitusi dalam permohonan judicial
review pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2021, pemaknaan
terhadap diktum ke 4 amar putusan tersebut harus dimaknai keberlakuan yang
dibatasi oleh persyaratan yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Maka ketika
persyaratan tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka
eksistensi UU 2/2020 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Hal sama juga sebagai
pengakuan Pemerintah ketika menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022),
sebagaimana dalam konsideran huruf f ,“bahwa untuk melaksanakan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui
penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.
Bahwa pengakuan tersebut bagai pisau bermata dua, di satu sisi menegaskan
pengakuan Pemerintah bahwa eksistensi UU 2/2020 sudah tidak ada pasca putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2021 dan sekaligus menunjukkan sikap pembangkangan
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa
dalam keseluruhan penjelasan tersebut, maka jelas bahwa eksistensi UU 2/2020
sudah tidak berlaku pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020,
maka dengan demikian keseluruhan peraturan pelaksana yang merupakan peraturan
turunan dari UU 2/2020 dan/atau peraturan turunan yang dibentuk berdasarkan UU
2/2020 tidak mempunyai dasar legitimasi hukum. Dalam hal ini, maka eksistensi
dan keberlakuan dari PP 35/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU
2/2020 pada hakekatnya tidak memiliki dasar legitimasi. Mengingat UU 2/2020
yang merupakan dasar pembentukan dari PP 35/2021 telah tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan dengan memperhatikan keseluruhan pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka dalam hal Pemerintah
hari ini mewacanakan melakukan perubahan terhadap PP 35/2021 dan PP 36/2021
harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseluruhan pertimbangan hukum
tersebut. Karena secara nyata, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Konstitusi
juga memberikan beberapa catatan penting dalam hal substansi dari UU 2/2020
yang sebagian besar teknis implementasinya diatur dalam PP 35/2021. Dalam hal
ini, jika wacana revisi terhadap PP 35/2021 dilakukan tanpa memperhatikan
pertimbangan hukum tersebut, maka wacana revisi PP 35/2021 tidak lain merupakan
kelanjutan dari tindakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,
dan jika demikian maka wacana perubahan tersebut akan terus melanggengkan
tindakan perampasan hak-hak pekerja/buruh untuk memperoleh pemenuhan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
C.
Substansi
Perubahan PP 35/2021.
Berdasarkan
bahan tayang yang disampaikan Pemerintah dalam giat sosialisasi dan penyerapan
aspirasi publik sehubungan dengan wacana revisi terhadap PP 35/2021, isu
perubahan substansi tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Substansi
Perubahan PP 35/2021
a.
Pengaturan
Alih Daya Dalam UU 13/2003
Pasal
64 menegaskan, Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis[2].
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis[3].
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan alih daya harus memenuhi
ketentuan, (1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; (2) dilakukan dengan
perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, (3) merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, (4) tidak menghambat proses
produksi secara langsung[4].
Selanjutnya ditegaskan bahwa perusahaan alih daya harus berbentuk badan hukum[5],
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan
lain sebagaimana sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku[6].
Selanjutnya, jika persyaratan terhadap ketentuan pekerjaan yang dapat dialih
dayakan dan jika perusahaan alih daya tidak berbentuk badan hukum, maka
otomatis terjadinya peralihan status hubungan kerja antara pekerja perusahaan
alih daya menjadi pekerja pada perusahaan pengguna jasa perusahaan alih daya[7].
Mencermati
ketentuan tersebut, ketentuan dalam UU 13/2003 di satu sisi memberikan
perlindungan yang lebih baik, terutama dalam hal jaminan kesejahteraan disisi
lain terdapat kelemahan. Namun kelemahan tersebut timbul lebih karena praktik
kotor yang dilakukan oleh pengusaha alih daya yang tidak mau menanggung beban
operasional sehubungan dengan eksistensinya sebagai perusahaan alih daya dan
merupakan bentuk kejahatan untuk menyiasati pembayaran pajak kepada Negara.
Celah praktik kotor ini kemudian mendapatkan perlindungan yang lebih memadai
setelah dilakukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana nampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011
tanggal 5 Januri 2012, yang dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan sebagai
berikut:
Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian
kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak
tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan
outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan
atas hak-haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing[8].
Mencermati
pada poin pertama, hal ini karena jenis kegiatan tersebut merupakan core
business dari perusahaan alih daya, dimana karena merupakan core
business, maka wajib untuk mempekerjakan pekerja dengan status hubungan
kerja sebagai pekerja PKWTT (pekerja tetap), bukan pekerja PKWT (pekerja
kontrak). Sebab hal ini bertentangan dengan ketentuan mengenai sifat dan jenis
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja PKWT. Pekerja yang boleh dilakukan
oleh pekerja PKWT mempunyai sifat dan jenis yang mempunyai karakteristik
tertentu, yang pada intinya tidak berhubungan dengan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi[9]. Sehubungan
dengan poin ke dua, hal ini tidak lepas dari praktik kotor oknum pengusaha alih
daya yang nakal yang menempatkan pekerja alih daya sebagai obyek eksploitasi
untuk memupuk kekayaan dan sama sekali tidak peduli dengan jaminan
kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi pekerja alih daya. Bahwa mengingat
perlindungan sosial dan kesejahteraan bagi pekerja alih daya sekurang-kurangnya
sama dengan jaminan perlindungan sosial dan kesejahteraan pada perusahaan
pengguna pekerja alih daya dan/atau tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketentuan ini memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh pada perusahaan pengguna alih daya untuk melakukan monitoring terhadap jaminan
pemenuhan perlindungan sosial dan kesejahteraan. Hal ini yang sering membuat
perusahaan pengguna pekerja alih daya tidak nyaman dengan serikat
pekerja/serikat buruh. Bahwa fungsi monitoring yang dilakukan oleh Serikat
Pekerja/Serikat Buruh tersebut didasari oleh penyimpangan pelaksanaan dalam hal
penempatan kerja, dimana penempatan kerja pekerja alih daya melanggar ketentuan
Pasal 65 ayat (2) UU 13/2003, dimana dalam hal demikian, pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja alih daya dengan pekerja pada perusahaan pengguna jasa
pekerja alih daya adalah sama. Jika kondisi demikian yang terjadi dan terdapat
pembayaran upah yang berbeda, maka perusahaan pengguna jasa pekerja alih daya
telah melakukan pelanggaran diskriminasi pembayaran upah yang menegaskan bahwa
untuk pekerjaan yang sama harus dibayar secara sama.
b.
Pengaturan
Alih Daya Dalam UU 6/2023 dan PP 35/2021
Mencermati
ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 dalam UU 6/2023 dan Pasal 18 sampai
dengan Pasal 20 PP 35/2021, secara prinsip bisa dikatakan, ketentuan tersebut
telah menerapkan prinsip TUPE yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
putusan nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 5 Januri 2012. Kelemahan dari pengaturan
ini adalah menyetarakan daya tawar (bargainning
position) antara pekerja/buruh dengan pengusaha alih daya seakan sama.
Pemerintah tidak konsisten dengan isu yang dibangunnya sendiri. Bahwa
Pemerintah sering menyatakan bahwa angkatan kerja Indonesia secara mayoritas
merupakan pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat
keterampilan kerja (skill) yang rendah
namun menempatkan secara setara dalam relasi kuasa yang tidak seimbang.
Pemerintah Indonesia lupa bahwa ketika terdapat ketidakseimbangan ketersediaan
lapangan kerja dengan pencari kerja, maka daya tawar pencari kerja akan sangat
rendah. Bahwa kehadiran Pemerintah dalam memberikan proteksi dalam hal
perlindungan upah dan jaminan sosial minimum adalah patut diapresiasi dan itu
merupakan kewajiban negara, namun disisi lain menyetarakan kesamaan daya tawar
antara pekerja atau pencari kerja dengan pengusaha ketika terjadi
ketidakseimbangan ketersediaan lapangan kerja dengan angkatan kerja adalah
kesalahan yang fatal.
Kesalahan
kemudian berlanjut dengan hilangnya sanksi administratif berupa peralihan status
hubungan kerja antara pekerja alih daya dengan perusahaan pengguna jasa alih
daya dalam hal terjadi penyimpangan dan/atau pelanggaran dalam pemenuhan hak
maupun pelaksanaan penempatan kerja. Bahwa dihapusnya ketentuan mengenai
peralihan status hubungan kerja ini kemudian dalam praktik hanya akan
melahirkan rangkaian pelanggaran dan penyimpangan dalam pelaksanaan dan
semuanya bermuara menciptakan konflik hubungan industrial. Sanksi yang lemah
akan menimbulkan konflik.
c.
Wacana
Perubahan Substantif PP 35/2021
Merujuk
pada bahan tayang materi sosialisasi, diketahui bahwa wacana perubahan mencakup
antara lain; (1) Kriteria pekerja; (2) Pemberitahuan kepada Instansi
Ketenagakerjaan; (3) Muatan/Isi Perjanjian Alih Daya; (4) Pendaftaran
Perjanjian Alih Daya; (5) Jaminan Kelangsungan Bekerja Dalam Hal Terjadi
Pergantian Perusahaan Alih Daya; (6) Uang Kompensasi; dan (7) Sanksi
Administratif. Masing-masingnya akan diuraikan sebagai berikut:
1)
Kriteria
pekerjaan
Kriteria
pekerjaan yang dapat dialih dayakan mencakup:
a)
Pekerjaan
yang tidak terkait pengambilan keputusan
Merupakan
pekerjaan non manajerial, antara lain pelayanan kebersihan (cleaning service),
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), penyediaan tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), penyediaan jasa penunjang di sektor usaha
tertentu (pertambangan, perminyakan dan energi), serta penyediaan angkutan
pekerja/buruh. Catatan: Yang dimaksud dengan pekerjaan manajerial meliputi
pemikir, perencana, dan/atau pengendali jalannya perusahaan.
Catatan
Kritis:
(1)
Bahwa
pengaturan yang demikian hanya akan melahirkan konflik hubungan industrial yang
berkelanjutan. Penambahan terminologi dan/atau konsep “pekerjaan non
manajerial” dan “pekerjaan manajerial” memunculkan bias tafsir dalam pemaknaan
terhadap ketentuan tersebut. Bahwa pemberian contoh terhadap 5 (lima) jenis
pekerjaan yang antara lain: lain pelayanan kebersihan (cleaning service),
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), penyediaan tenaga pengaman
(security/satuan pengamanan), penyediaan jasa penunjang di sektor usaha
tertentu (pertambangan, perminyakan dan energi), serta penyediaan angkutan
pekerja/buruh, secara serta merta tidak membatasi ruang lingkup tafsir atas
pemaknaan akan konsep “pekerjaan non manajerial” dan “pekerjaan manajerial”.
(2)
Bahwa
penyebutan kelima jenis pekerjaan tersebut tidak dimaknai secara limitatif
bahwa pemaknaan akan konsep “pekerjaan non manajerial” hanya terbatas pada
kelima pekerjaan tersebut. Pertanyaan paling sederhana untuk menjelaskan hal
ini, misalnya, apakah pekerjaan sebagai seorang operator mesin press atau
operator mesin CNC masuk dalam kualifikasi pekerja manajerial? Tentu tidak,
maka dengan demikian, maka kedua contoh pekerjaan tersebut pun dapat diterapkan
perjanjian alih daya, karena memang bukan merupakan pekerjaan non manajerial.
Maka ruang lingkup pekerjaan yang masuk dalam kualifikasi “pekerjaan non
manajerial” adalah keseluruhan pekerjaan sepanjang tidak mencakup pemikir,
perencana, dan/atau pengendali jalannya perusahaan. Semua pekerjaan di luar kriteria
“pekerjaan manajerial” dapat dialih dayakan.
(3)
Bahwa
wacana perubahan ini sebatas bertujuan untuk mengaburkan batasan untuk
memperluas ruang lingkup pekerjaan yang dapat dialih dayakan. Perihal kelima
contoh pekerjaan yang termaktub dalam bahan tayang tersebut hanya sebagai
jebakan untuk mengaburkan ruang lingkup persepsi atas pemaknaan “pekerjaan
manajerial” dan “pekerjaan non manajerial”, sebatas memberi makna tidak ada
perubahan yang signifikan, namun senyatanya telah terjadi perubahan yang sangat
signifikan.
(4)
Bahwa
ketika wacana terebut direalisasi, realita perdebatan hukum bukan dibatasi oleh
kelima pekerjaan yang dijadikan contoh, apalagi tidak ada penegasan bahwa
kelima contoh tersebut merupakan pembatasan yang limitatif (tidak ada yang lain
dan hanya itu). Bahwa substansi perdebatan dalam praktik adalah apakah suatu
pekerjaan yang dialih dayakan merupakan “pekerjaan manajerial” atau
“pekerjaan non manajerial”.
b)
Pekerjaan
untuk memenuhi kenaikan volume pekerjaan atau peningkatan permintaan barang
atau jasa.
(Tidak
terdapat penjelasan tambahan dalam materi sosialisasi/bahan tayang).
Catatan
Kritis:
(1)
Bahwa
mengingat hadirnya UU 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 65 UU 13/2003 maka
penerapan ketentuan ini bisa dilakukan terhadap semua jenis pekerjaan sepanjang
ada kenaikan volume pekerjaan atau peningkatan permintaan barang dan jasa. Hal
ini tidak lepas dari perluasan kriteria pekerjaan yang dapat dialih dayakan
yang tidak memberikan suatu batasan limitatif sebagaimana termaktub dalam
ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU 13/2003.
(2)
Bahwa
implikasi dari ketentuan ini, hanya akan menciptakan ketidakpastian
keberlanjutan hubungan kerja. Bahwa mengingat syarat formil dari kebutuhan
untuk mempekerjakan pekerja alih daya adalah sebatas jika ada kenaikan volume
pekerjaan atau peningkatan permintaan barang jasa, maka sepanjang salah satu
dari kedua kondisi tersebut terpenuhi, maka perusahaan bisa menerapkan
penggunaan pekerja alih daya.
c)
Pekerjaan
yang membutuhkan keahlian khusus yang tidak dapat dikerjakan oleh perusahaan.
Antara
lain pekerjaan yang menggunakan kecerdasan buatan atau kecerdasan entitas
ilmiah seperti Geoscience, Data Scientists, Data Engineers, Artificial
Intelligence Scientist, Algorithm Engineer, Machine Learning Engineer, Machine
Learning Researchers, Software Architect, Software Developer, Software Engineer
dan pemasaran (marketing).
Catatan
Kritis:
Bahwa persoalan mendasar dalam isu
alih daya adalah mengenai pengaturan sifat dan jenis pekerjaan yang dapat
dialih dayakan. Sepanjang ada kriteria yang bersifat limitatif, maka terdapat
kepastian untuk pelaksanaan pekerjaan yang dapat dialih dayakan. Dalam kriteria
ini, kembali kepada hal yang disampaikan sebelumnya, bahwa keseluruhan contoh
pekerjaan tersebut tidak dapat dimaknai secara limitatif. Perluasan pemaknaan
sangat mungkin terjadi. Bagi pengusaha sangat mudah menyiasati penyimpangan
dalam pelaksanaan dengan isu "reorganisasi perusahaan”. Aktifitas bisnis
sebagai kegiatan yang dinamis, isu reorganisasi ini merupakan keniscayaan dalam
perusahaan. Bahwa dalam hal ini, semua penyimpangan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan bisa disiasati dengan isu-isu dinamika bisnis.
Pola ini sering dilakukan pengusaha sehingga mudah untuk mendeteksi potensi penyimpangan
jika wacana perubahan ini dipaksakan untuk dilakukan.
d)
Pekerjaan
yang sementara sifatnya.
Antara
lain pekerjaan proyek dengan durasi tertentu seperti pekerjaan musiman,
termasuk karena adanya kebutuhan sementara untuk memenuhi perubahan proses bisnis
baru yang masih perlu penyesuaian.
Catatan
kritis:
Bahwa
sehubungan dengan kriteria ini, pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan
penjelasan sebelumnya. Bahwa sampai saat ini tidak ada kejelasan acuan waktu
dalam memaknai “pekerjaan yang sementara sifatnya”. Maka penting untuk
ditentukan suatu acuan waktu atau suatu kriteria tertentu sebagai acuan untuk
menentukan batasan pemaknaan terhadap frasa “pekerjaan yang sementara
sifatnya”. Dalam praktik, semua dimulai dengan pemaknaan sebagai “pekerjaan yang
sementara sifatnya” dan kemudian berlanjut menjadi penyimpangan abadi.
e)
Penjelasan
tambahan (dalam bahan tayang)
§ Perusahaan tidak boleh
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya selain
dari kriteria pekerjaan yang telah ditetapkan Pemerintah;
§ Menteri dapat menambahkan
kriteria setelah mendapatkan rekomendasi dari lembaga hubungan industrial;
§ Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemberian rekomendasi dan/atau penambahan kriteria pekerjaan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Catatan
kritis:
Bahwa
pada poin pertama, seolah-olah ada ketegasan dari Pemerintah dalam menggulirkan
wacana perubahan ini, karena semuanya sama sekali tidak bermakna. Terhadap poin
kedua dan ketiga, dengan kewenangan yang mutlak dan sangat besar bagi Pemerintah
untuk menciptakan regulasi sesuai keinginan pemilik modal dan oligarki, kita
sebagai pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh tidak mungkin berharap
kewenangan yang besar tersebut akan digunakan untuk memberikan perlindungan
bagi pekerja/buruh. Beberapa kebijakan Pemerintah yang muncul belakangan ini
membuat kaum pekerja/buruh sulit untuk menaruh kepercayaan kepada Pemerintah,
bahwa Pemerintah akan menerbitkan ketentuan hukum yang memberikan perlindungan
yang memadai. Perubahan paradigma Pemerintah dalam melihat relasi hubungan
kerja adalah persoalan yang paling mendasar, yang menjadi sebab timbulnya
berbagai regulasi yang tidak memberikan perlindungan kepapa pekerja/buruh
sebagai pihak yang lemah dalam relasi hubungan kerja. Pemerintah lupa dengan
landasa filosofis yang termaktub dalam ketentuan UU 13/2003; (a) bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan; (c) bahwa sesuai
dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; (d) bahwa perlindungan terhadap
tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
2)
Pemberitahuan
kepada Instansi Ketenagakerjaan.
§ Perusahaan yang akan
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan alih daya wajib
melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum pekerjaan dilaksanakan.
§ Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya
memuat kriteria pekerjaan yang akan diserahkan kepada Perusahaan alih daya.
§ Perusahaan tidak boleh
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan alih daya diluar
dari kriteria pekerjaan yang telah diberitahukan secara tertulis kepada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerjaan dilaksanakan.
Catatan
kritis:
(1)
Bahwa
terhadap keseluruhan ketentuan tersebut, sulit bagi kita (pekerja/buruh
dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh) untuk melakukan monitoring, apakah
kepatuhan pelaksanaan terhadap ketentuan tersebut sungguh dijalankan atau
tidak. Hal ini mengingat keseluruhan proses tersebut sepenuhnya dalam domain
kewenangan pengusaha dan Pemerintah.
(2)
Persoalan
yang mendasar dalam hal urusan teknis administratif dalam ketentuan ini adalah
ketiadaan sanksi yang tidak menimbulkan efek jerah bagi pengusaha nakal.
3)
Muatan/Isi
Perjanjian Alih Daya;
Perjanjian
alih daya ditandatangani oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan alih
daya, dan sekurang-kurangnya memuat: (a) ruang lingkup pekerjaan yang
dialihdayakan kepada perusahaan alih daya; (b) jangka waktu perjanjian alih
daya; (c) lokasi pelaksanaan pekerjaan; (d) penegasan bahwa nilai pekerjaan
dan/atau nilai manajemen fee telah menjamin pelindungan kerja,
syarat-syarat kerja dan seluruh hak-hak pekerja/buruh termasuk hak-hak akibat
pemutusan hubungan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e)
penegasan bahwa perusahaan alih daya bersedia menerima pekerja/buruh dari
perusahaan alih daya sebelumnya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada dalam
hal terjadi penggantian perusahaan alih daya.
Catatan
kritis:
(1)
Bahwa
keseluruhan ketentuan tersebut dalam ruang lingkup B to B (business to
business), antara perusahaan dengan perusahaan. Bahwa pekerja alih daya
sekalipun nyaris tidak mempunyai akses terhadap keseluruhan perjanjian
tersebut. Hal ini posisinya sebatas obyek dalam penempatan kerja ketika
terdapat kerja sama antara perusahaan alih daya yang mempekerjakan dirinya
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(2)
Bahwa
meskipun secara gramatikal dapat dimaknai telah mengakomodir prinsip TUPE yang
disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun implementasi dari ketentuan
tersebut secara nyata adalah ketika tertuang dalam perjanjian antara perusahaan
alih daya dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Siapapun tidak bisa menjamin
kepatuhan substantif dalam sebuah perjanjian. Apalagi mengingat obyek dalam
perusahaan alih daya adalah manusia pekerja, yang harus disadari betul oleh
Pemerintah adalah jangan sampai muncul modus perbudakan modern gaya baru untuk
menyiasati kelemahan regulasi, minimnya mekanisme pengawasan di luar institusi
Pemerintah, rendahnya budaya kepatuhan hukum dan rendahnya komitmen penegakan
hukum.
(3)
Seharusnya
kerentanan posisi pekerja alih daya dalam relasi hubungan kerja mewajibkan
Pemerintah untuk menghadirkan regulasi yang memberikan batasan yang jelas,
terukur dan limitatif mengingat posisi pekerja sangat mungkin menjadi obyek
eksploitasi dari pengusaha pemilik perusahaan alih daya. Hal ini didasarkan
bahwa keberadaan alih daya adalah untuk memberikan ruang fleksibel bagi
pengusaha dalam merespon dinamika dunia bisnis yang semakin kompetitif di era
globalisasi sekarang ini. Maka suka-tidak suka, alih daya sepenuhnya untuk
memastikan bahwa pengusaha mempunyai ruang fleksibel untuk menekan beban biaya
tenaga kerja ketika terjadi perubahan dalam dinamika bisnis.
4)
Pendaftaran
Perjanjian Alih Daya;
Perjanjian
alih daya wajib didaftarkan oleh perusahaan alih daya kepada instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan atau dilakukan secara daring apabila sarana pendukung sudah
tersedia.
Catatan
Kritis:
Terhadap
ketentuan ini tidak terdapat sesuatu yang perlu untuk dikritisi secara
mendalam, selain kepatuhan dalam melaksanakan ketentuan dimaksud, yang sebagian
besarnya telah disampaikan pada bagian sebelumnya.
5)
Jaminan
Kelangsungan Bekerja Dalam Hal Terjadi Pergantian Perusahaan Alih Daya;
§ Dalam hal perusahaan alih
daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, maka perjanjian kerja
tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi pekerja/buruh
apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang obyek
pekerjaannya tetap ada.
§ Dalam hal pekerja/buruh
tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja, perusahaan alih daya
bertanggung jawab atas pemenuhan hak pekerja/buruh.
Catatan kritis:
(1) Terhadap
poin pertama merupakan penerapan dari prinsip TUPE. Bahwa inti dari persoalan
pengalihan perlindungan ini adalah siapa yang bisa memastikan bahwa perihal
pengalihan perlindungan ini diatur secara spesifik dengan mengurangi hak-hak
para pekerja alih daya dan siapa yang bisa memastikan komitmen pelaksanaan dari
perjanjian pengalihan tersebut.
(2) Bahwa
mengingat keseluruhan proses tersebut dilakukan tanpa melibatkan pekerja/buruh,
tentu menjadi persoalan tersendiri. Beberapa kasus yang terjadi mestinya
menjadi pelajaran bagi Pemerintah untuk memastikan bahwa suatu peraturan yang
dibuat hendaknya bida mencapai tujuan dari pengaturannya. Akan menjadi sia-sia
jika suatu ketentuan dibuat namun Pemerintah tidak bisa memastikan sejauh mana
efektifitas dari ketentuan tersebut untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
ini berkaitan dengan tanggapan atas poin kedua.
6)
Uang
Kompensasi
§ Perusahaan alih daya yang
mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT, wajib membayar uang kompensasi
pengakhiran hubungan kerja.
§ Dalam hal perusahaan alih
daya telah memberikan uang kompensasi bagi pekerja PKWT sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, maka pemberian uang kompensasi dimaksud dianggap
sebagai pemberian uang kompensasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
ini
Catatan kritis:
(1) Terhadap
ketentuan pada poin pertama patut diapresiasi namun sesungguhnya tidak
berdampak signifikan nilai kompensasi tersebut bagi pekerja/buruh. Apakah
pemerintah tidak mengetahui bahwa pasca terbitnya PP 35/2021 banyak pengusaha
menerapkan pola hubungan kerja dengan durasi waktu yang singkat? Pandangan ini
tidak dalam konteks tidak menghargai nilai nominal kompensasi yang diberikan
kepada para pekerja alih daya, namun bagaimana suatu nilai kompensasi itu bisa
memberikan manfaat bagi pekerja tersebut ketika kehilangan pekerjaan.
Perspektif yang dibangun dalam hal ini harusnya condong kepada asas manfaat,
bukan condong kepada formalistik regulasi yang minim kemanfaatan.
7)
Sanksi
Administratif
Sanksi
administratif dikenakan apabila:
1. Perusahaan
pemberi pekerjaan melaksanakan alih daya diluar dari kriteria pekerjaan yang
ditentukan;
2. Perusahaan
pemberi pekerjaan tidak melakukan pemberitahuan tertulis kepada instansi
dibidang ketenagakerjaan tingkat kab/kota;
3. Perusahaan
pemberi pekerjaan melaksanakan alih daya diluar dari jenis dan/atau ruang
lingkup pekerjaan yang telah diberitahukan secara tertulis kepada instansi
ketenagakerjaan;
4.
Perusahaan
alih daya tidak mendaftarkan perjanjian alih daya.
5.
Perusahaan
Alih Daya tidak membayarkan uang kompensasi;
6.
Perusahaan
Alih Daya membayarkan uang kompensasi tidak sesuai perhitungan;
7. Perusahaan
Alih Daya tidak berbadan Hukum dan tidak memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
8.
Sanksi
administrasi berupa:
a)
teguran
tertulis;
b)
pembatasan
kegiatan usaha;
c)
penghentian
sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d)
pembekuan
kegiatan usaha.
Catatan kritis:
(1)
Dengan
mencermati ruang lingkup perubahan sebagaimana yang disampaikan sebelumnya,
secara skeptis bisa dikatakan hampir sangat kecil peluang pelanggaran. Bahwa
hal ini disebabkan kontrol dan monitoring sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah
dan pekerja alih daya. Apakah sistem pada Pemerintah sudah cukup efektif untuk
memastikan pelanggaran yang bersifat administratif tersebut terdeteksi? Dari
sisi pekerja alih daya, kita tidak bisa berharap akan adanya mekanisme check
and balance yang efektif. Setiap sikap kritis pekerja alih daya adalah
menjadi korban tindakan pemutusan hubungan kerja.
(2) Sikap
permisif yang diperlihatkan Pemerintah terhadap berbagai pelanggaran regulasi
ketenagakerjaan dengan alasan dinamika perekonomian global dan regional dan
berbagai alasan lainnya dalam hal yang berkaitan dengan dinamika bisnis, tentu
sulit bagi kita untuk percaya bahwa sanksi tersebut akan diberlakukan. Dalam
kaitannya dengan itu, kepada siapa kita berharap yang akan memberikan laporan
kepada Pemerintah perihal dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan
pengusaha alih daya? Jika fungsi ini diharapkan muncul dari Pemerintah, ibarat
pungguk merindukan bulan. Pemerintah pasti akan selalu hadir dengan berbagai
alasan klasik, (1) sumber daya terbatas sehingga tidak bisa melakukan
pengawasan dan pemantauan terhadap semua pelanggaran yang terjadi, (2) bahwa
sepanjang pelanggaran masih bisa ditolerir, diberikan kebijakan, (3) Mengingat
fokus Pemerintah adalah untuk menekan angka pengangguran, maka sering muncul
alasan tidak normatif berupa “tahapan pembinaan” atau “tahapan pengawasan”, (4)
rekam jejak Pemerintah yang tidak pernah memberikan sanksi yang tegas
sehubungan dengan berbagai pelanggaran yang dilakukan pengusaha.
8)
Kemanfaatan
Bahwa
sebagaimana termaktub dalam bahan tayang sosialisasi, dinyatakan bahwa
kemanfaatan bagi revisi PP 35/2021 antara lain: bagi pekerja; (1) Kesempatan
kerja lebih luas; (2) Mendapatkan pengalaman kerja untuk memasuki pasar kerja
yang lebih baik; (3) Peluang kerja sebagai pekerja tetap, pada pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat tetap. Kemanfaatan bagi Pengusaha antara lain: (1) Fokus
menjalankan bisnis utama; (2) Peluang mengembangkan usaha; (3) Peluang
memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada pekerja. Kemanfaatan bagi
Pemerintah: (1) Mengatasi pengangguran; (2) Meningkatkan investasi; (3)
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Catatan
kritis:
(1) Dalam
hal kemanfaatan ini, mungkin bagi kepentingan pengusaha dan Pemerintah bisa
memenuhi ekspektasi sebagaimana dimaksud, namun apakah kemanfaatan yang sama
juga dinikmati oleh pekerja? Semua nilai kemanfaatan disajikan dalam usaha
untuk memberikan perspektif bahwa revisi terhadap PP 35/2021 dengan maksud
untuk mengakomodir kepentingan semua pihak. Sebab dalam praktik, semua itu jauh
panggang dari api jika melihatnya dalam perspektif pekerja alih daya.
Dipekerjakan dengan durasi yang singkat (dalam kontrak kerja yang
pendek/singkat) hanya memberikan kesempatan untuk sesaat mempunyai pekerjaan
dan asal “perut masih kenyang” ketika terikat dalam hubungan kerja dalam, selebihnya akan terus menciptakan
lingkaran pengangguran yang tidak berujung.
(2) Rendahnya
komitmen penegakan hukum yang diperlihatkan Pemerintah ketika pelanggaran hukum
dilakukan pengusaha, membuat semua kemanfaatan imajiner bagi pekerja/buruh
tersebut menjadi semakin tidak bermakna.
(3) Bahwa
adalah benar jika kesempatan kerja lebih luas bagi pekerja alih daya, namun
luasnya kesempatan tersebut menjadi ancaman bagi pekerja tetap pada perusahaan
pemberi kerja. Bahwa perluasan pengaturan untuk pekerjaan yang dapat dialih
dayakan memperlihatkan sikap pemerintah untuk saling membenturkan sesama
pekerja yang upahnya hanya cukup untuk hidup sebulan. Pola-pola pengaturan yang
provokatif ini tidak lain merupakan bentuk penjajahan modern yang diawali
dengan memecahbelah persatuan anak bangsa. Dan semua itu dilakukan hanya untuk
memenuhi keinginan tuan pemilik modal dalam lingkaran oligarki.
(4) Bagi
pekerja alih daya, peluang untuk menjadi pekerja tetap ibarat mimpi di siang
bolong. Hal ini mengingat klasifikasi pekerjaan yang hanya didasarkan pada
kategori “pekerjaan manajerial” dan “pekerjaan non manajerial”. Bahwa secara
kemungkinan pasti ada, namun kepastian itu pasti tidak pernah ada.
D.
Kesimpulan
dan sikap
Bahwa
berdasarkan seluruh uraian diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Bahwa
mendukung sepenuhnya sikap organisasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang secara
tegas menyatakan sikap menolak dan menghadiri undangan sosialisasi yang
dilakukan pemerintah dalam upaya untuk melakukan sosialisasi dan “menyerap
aspirasi publik” yang tidak pernah diserap, selain masuk dalam laci dan
didiamkan.
2.
Bahwa
wacana revisi terhadap PP 35/2021 sama sekali tidak memperhatikan aspirasi
pekerja/buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah disampaikan
kepada Pemerintah baik dalam pelaksanaan berbagai audiensi sebelumnya, maupun
dalam berbagai aksi unjuk yang bertujuan menyuarakan berbagai penolakan dan
usulan perubahan regulasi kepada Pemerintah.
3.
Bahwa
Pemerintah secara nyata menutup mata dan/atau mengabaikan berbagai persoalan
yang timbul sejak dimulainya “mega proyek cipta kerja”. bahwa telah banyak
pekerja/buruh yang menjadi korban sejak dimulainya “mega proyek cipta kerja”.
Bahwa pengabaian ini memperlihatkan bahwa eksistensi pekerja/buruh dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh tidak dihargai dan tidak diperhitungkan sebagai bagian
dari warga negara yang juga harus dijamin hak-hak sipil dan hak-hak ekonominya.
4.
Bahwa
wacana revisi PP 35/2021 merupakan kelanjutan dari tindakan pembangkangan
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
5.
Bahwa
perluasan ruang lingkup pekerjaan yang dapat dialih dayakan menjadi berpotensi
mengancam eksistensi pekerja tetap pada perusahaan pemberi pekerjaan dan sangat
mungkin menjadi potensi konflik sesama pekerja. Apakah Pemerintah sengaja
menciptakan regulasi yang bertujuan untuk mengadu domba sesama pekerja?
6.
Bahwa
lemahnya komitmen penegakan hukum dan minimnya sanksi yang memberikan efek
jerah kepada pengusaha nakal, revisi PP 35/2021 hanya menjadi bagian dari
barisan regulasi yang menambah daftar panjang penderitaan pekerja/buruh dan
melegitimasi tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oknum pengusaha nakal.
Bahwa
berdasarkan seluruh uraian tersebut, maka tidak ada hal lain yang bisa
dilakukan pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh selain
mengkonsolidasi diri untuk melakukan perlawanan kolektif. Perlawanan semesta
pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Salam
perjuangan.
Referensi
:
[1] Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 vide
Pasal 1 angka 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, jo. Pasal 1 angka 5 UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[2] Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
[3] Pasal 65 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[4] Pasal 65 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[5] Pasal 65 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[6] Pasal 65 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[7] Pasal 65 ayat (8) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011, hal. 44
[9] Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
[10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020.
[11] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011.
[12] UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
[13] UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja Menjadi Undang-Undang.
[14] PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan
Kerja.
0 comments:
Posting Komentar