Looking For Anything Specific?

ads header
  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Duduk Bareng, Ini Hasil Pertemuan Buruh dan Manajemen Pertamina



Buruh, Manajemen PT Pertamina (Persero) Tbk dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) akhirnya duduk satu meja di Kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu (22/12/2021) lalu.

Pertemuan ini dilakukan sebagai respons atas dinamika hubungan industrial yang tengah terjadi di internal PT Pertamina. Salah satunya terkait pemotongan gaji yang dilakukan Pertamina atas sejumlah karyawannya.

"Pertemuan ini sebagai upaya nyata Kemnaker untuk merespon kondisi hubungan industrial yang sedang berkembang di masyarakat Indonesia dan hangat dibicarakan, baik pada media online dan media sosial yang dalam beberapa hari menjadi topik bahasan yang hangat," kata Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri dalam keterangannya, Jumat (24/12/2021).

Putri mengatakan, dinamika hubungan industrial yang terjadi di PT Pertamina menyebabkan para karyawan berencana melakukan mogok kerja pada 29 Desember 2021. Rencana mogok kerja ini telah diberitahukan kepada stakeholders.

"Oleh karenanya, Kemnaker menfasilitasi audiensi kekeluargaan kedua belah pihak  pada tanggal 22 Desember 2021, di mana hadir dalam pertemuan tersebut Direksi SDM dan tim, serta Presiden FSPPB dan tim," katanya.

Audiensi tersebut menghasilkan sejumlah titik persoalan di antaranya konsultasi dan komunikasi antar pihak masih perlu dioptimalkan, salary increase (kenaikan upah) diperlukan komunikasi yang efektif antar pihak, kedua belah pihak akan mencermati insentif sesuai dengan content PKB serta penguatan persepsi para pihak terkait lingkup kewenanganya dengan mendasarkan pada ketentuan yang berlaku.

"Untuk dapat memfolow-up identifikasi dimaksud akan digelar pertemuan lanjutan pasca Natal dan sebelum Tahun Baru," ujarnya.(obn)

Ketemu di Kemnaker, Direksi-Pekerja Pertamina Belum Sepakat soal Gaji



Buruh,Kementerian Ketenagakerjaan buka suara terkait kisruh hubungan industrial antara Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dengan manajemen PT Pertamina soal gaji. Mereka menyatakan telah memediasi kedua belah pihak pada Rabu (22/12) kemarin.
Dari hasil mediasi, mereka menyatakan direksi Pertamina dan FSPPB sepakat untuk berkomunikasi lagi soal rencana pemotongan gaji. 

"Audiensi tersebut menghasilkan sejumlah titik persoalan di antaranya konsultasi dan komunikasi antar pihak (yang) masih perlu dioptimalkan," kata Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker Indah Anggoro Putri dalam pernyataan yang dikeluarkan di Jakarta, Kamis (23/12)

Karena masalah itu, ia mengatakan kedua pihak akan mengoptimalkan konsultasi dan komunikasi. Selain itu, mereka juga akan mencermati insentif sesuai dengan isi perjanjian kerja bersama (PKB) dan memperkuat persepsi terkait kewenangan masing-masing sesuai ketentuan berlaku.

"Untuk dapat mem-follow up identifikasi dimaksud akan digelar pertemuan lanjutan pasca Natal dan sebelum Tahun Baru. Pertemuan ini sebagai upaya nyata Kemnaker untuk merespons kondisi hubungan industrial yang sedang berkembang di masyarakat Indonesia dan hangat dibicarakan," ucap Indah dalam keterangan resmi, Kamis (23/12).

Sebelumnya, FSPPB mengancam bakal menggelar mogok kerja pada 29 Desember 2021 dan 7 Januari 2022. Aksi mogok kerja akan dilakukan oleh seluruh pekerja Pertamina di seluruh wilayah.

Aksi mogok dilakukan karena tidak tercapainya kesepakatan PKB di internal perusahaan. Selain itu, serikat pekerja juga menuntut agar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati turun dari jabatannya.(obn)


Beredar Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Membuat Buruh Semakin Resah

Ir. Muhamad Sidarta, Ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Jawa Barat.

MEDIA LEM - BandungPemerintah semakin nampak mengabaikan amanah Konstitusi Negara Republik Indonesia dan amar putusan Mahkamah Konstitusi dengan dikeluarkannya Intruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2021, tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Tentang Cipta Kerja, tanggal 21 Desember 2021 yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota Seluruh Indonesia beredar dikalangan buruh, pada intinya intruksi Mendagri agar Gubernur/Bupati/Walikota tetap mempedomani dan melaksanakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pelaksanaannya; segera melakukan perubahan, pencabutan, atau melakukan penyusunan baru Peraturan Daerah (Perda).

Instruksi Menteri Dalam Negeri yang beredar tersebut membuat buruh semakin resah," ungkap Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat yang juga Ketua V DPP FSP LEM SPSI, Muhamad Sidarta.

Disampaikan Sidarta bahwa Dalam pembukaan UUD 1945 Pemerintah  Negara Republik Indonesia dibentuk untuk  melindungi  segenap  bangsa  Indonesia  dan  seluruh  tumpah  darah  Indonesia  dan untuk memajukan kesejahteraan umum,  mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila, kemudian dalam batang tubuhnya pasal 28 D :

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**) 

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.


Lebih lanjut Sidarta mengatakan, " putusan Mahkamah Konstitusi telah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam Uji Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentangCipta  Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."

Berikut Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Mengadili :

Dalam Provisi :

1.  Menyatakan Permohonan Provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat  diterima;

2.  Menolak Permohonan Provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI

Dalam Pokok Permohonan :

1.  Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;

2.  Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;

3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;

4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;

6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;

7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

8.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

9.  Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Aksi Buruh di depan Gedung Sate Bandung


Menurut Sidarta, Pemerintah tidak mempertimbangkan dan melaksanakan seluruh amar putusan Mahkamah Konstitusi secara utuh dan adil, terutama diktum 7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, Tentang Pengupahan BAB II Pasal 4 Ayat 2 Kebijakan Pengupahan Merupakan Program Strategis Nasional. Artinya dalam penetapan upah minimum yang menjadi kewenangan Gubernur tidak boleh berpedoman pada PP 36 tersebut sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, lebih-lebih Undang-Undang Cipta Kerja tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga telah mengebiri hak dan kepentingan buruh Indonesia.

Sidarta mengaku tidak mengerti yang dilakukan Pemerintah, kan amar putusan Mahkamah Konstitusi diktum 5 Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Kenapa yang akan diperbaiki malah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan mengintuksikan para Gubernur/Bupati/Walikota segera melakukan perubahan, pencabutan, atau melakukan penyusunan baru Peraturan Daerah (Perda).

" ini sangat tidak demokratis ." keluhnya.

Disisi lain ujar Sidarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa telah menjelaskan kenaikan upah optimal di level 5 % yang dapat mendorong konsumsi masyarakat hingga sebesar Rp180 triliun per tahun. 

"Jumlah buruh formal di Indonesia tidak kurang dari 70 juta orang belum termasuk keluarganya, dimana kesejahteraannya sangat tergantung dengan kenaikan upah pada setiap tahunnya untuk menyesuaikan kenaikan harga barang dan jasa yang terus naik, lebih-lebih pada masa pandemi ini buruh harus membeli masker dan vitamin untuk menjaga kesehatan bagi dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu buruh berharap kepada para Gubernur di seluruh Indonesia keluarkan kebijakan dan kebajikan untuk kesejahteraan buruh beserta keluarganya, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan buruh berada di tangan para gubernur. " Kata  Sidarta.[RSY].


Karut Marut Upah Minimum 2022, Refleksi atas PP 36/2021




Buruh, 
UPAH minimum provinsi (UMP) untuk tahun 2022 telah ditetapkan pekan lalu oleh para gubernur dengan besaran kenaikan rata-rata 1,09 persen, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Setelah itu dilanjutkan dengan menetapkan UMK. 

Meskipun mendapatkan tekanan dari buruh karena kenaikannya sangat kecil, gubernur tetap ketuk palu. Bahkan beberapa daerah seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bogor, tidak naik sama sekali karena UMK-nya saat ini sudah melebihi batas atas upah minimum yang juga dihitung berdasarkan PP 36/2021. 

Diskusi di ruang publik tidak hanya didominasi oleh kebijakan upah minimum, tetapi juga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan formil terhadap UU 11/2020. Seperti kita tahu, PP 36/2021 adalah produk turunan dari UU 11/2020 yang dinyatakan inskonstitional bersyarat oleh MK. 

Menurut MK, inskonstitional bersyarat berarti, UU 11/2020 tetap berlaku, tapi harus diperbaiki dalam 2 tahun. Kalau tidak, akan dinyatakan inskonstitutional permanen. Keputusan ini memicu perdebatan baru tentang keabsahan UU 11/2020. Serikat pekerja/buruh menganggap UU 11/2020 cacat dan tidak bisa dipakai, termasuk aturan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan. 

PP 36/2021 juga menghapus upah minimum sektoral (UMS) dan memberikan pengecualian usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar upah minimum. Berbeda dengan PP 78/2015, PP 36/2021 menggunakan formula baru dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi dari daerah yang bersangkutan. 

PP 36/2021 ini juga memperkenalkan formula untuk menghitung batas atas, sehingga upah minimum di sebuah daerah tidak naik jika besarannya melebihi batas atas. Variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas adalah rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, serta rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga. Dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak menaati PP 36/2021.

Kecilnya kenaikan upah minimum ini sudah diprediksi, bahkan sejak 2015 ketika Pemerintah menerbitkan PP 78/2015. Sejak itu, upah minimum ditetapkan dengan formula matematika, bukan dengan perundingan di dewan pengupahan daerah seperti sebelumnya. Tahun ini, berdasarkan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah mengatur cara penetapan upah minimum dengan PP 36/2021 yang akan berlaku untuk tahun 2022.

Untuk merespons kecilnya kenaikan upah minimum, serikat pekerja/buruh memberikan tekanan kepada bupati/wali kota untuk merekomendasikan besaran upah minimum yang lebih besar kepada gubernur. Tetapi rekomendasi itu ditolak dan gubernur tetap menggunakan formula dalam PP 36/2021 untuk menetapkan UMP dan UMK

Upah minimum dapat dihitung dengan formula matematika dengan variabel ekonomi sebagaimana yang kita gunakan sekarang dan bisa juga dirundingkan, seperti yang dipakai sebelum tahun 2015. Beberapa literatur memberikan kelebihan dan kekurangan dari kedua cara tersebut.  Menurut Dickens (2015), model perundingan memberika

Menurut Dickens (2015), model perundingan memberikan fleksibilitas dan ruang dialog antara pekerja dengan pengusaha, tetapi prosesnya lama dan besarannya sulit diprediksi, apalagi jika ada intervensi politik. Sementara itu, model formula memberikan transparansi dan kepastian dalam proses dan ketepatan waktu, tetapi kurang fleksibel dalam merespons keadaan pasar tenaga kerja yang dinamis.

Selain itu, sering terjadi formula yang ditetapkan tidak dapat memasukkan semua faktor ekonomi dan ketenagakerjaan yang sangat kompleks (ILO, 2017). Kita perlu mencari model yang sesuai kemampuan institusi yang dimiliki oleh suatu negara, kemampuan badan statistik, dan kemampuan para pemangku kepentingan (ILO, 2017) untuk mencapai tujuan kebijakan upah minimum.

Dalam konteks Indonesia, Nugroho (2021) menemukan bahwa model formula matematika memberikan biaya transaksi ex-ante lebih rendah dibandingkan model perundingan, tetapi dapat meningkatkan risiko biaya ex-post. Penelitian tersebut menggunakan transaction cost economics (ekonomi biaya transaksi) dengan metode Delphi untuk mendapatkan konsensus pakar yang menjadi narasumber penelitian.

Pakar dalam penelitian tersebut sepakat bahwa penghapusan perundingan, penggunaan data Badan Pusat Statistik (BPS), dan penghapusan peran kepala daerah dalam menetapkan besaran upah minimum meningkatkan efisiensi waktu dan efisiensi koordinasi. Tetapi, pakar tidak mencapai konsensus dalam menilai risiko perselisihan hubungan industrial yang muncul karena penerapan PP 36/2021. Sebagian pakar menilai penggunaan formula menurunkan risiko perselisihan, sebagian lain berpendapat risiko perselisihan naik karena upah minimum di beberapa daerah tidak naik.

Menyimak berita beberapa hari terakhir, tampaknya perselisihan masih akan terjadi sampai beberapa waktu ke depan karena pekerja/buruh merasa dirugikan dengan kebijakan upah minimum yang berlaku saat ini. Secara umum hubungan industrial memang sedang tidak baik. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya unjuk rasa dan gugatan pada PP 78/2015 dan dilanjutkan unjuk rasa dan gugatan kepada UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Mahkamah Konstitusi baru saja menetapkan bahwa Undang-Undang 11/2020 inkonstitutional bersyarat berdasarkan gugatan formil yang diajukan oleh SP/SB. Peraturan Pemerintah No 36/2021 yang saat ini mengatur kebijakan upah minimum adalah turunan dari UU 11/2020, sehingga hasil gugatan pada undang-undang tersebut dapat berdampak pada kebijakan upah minimum. 

Untuk merespons kemungkinan memburuknya hubungan industrial ini, para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dalam melakukan beberapa hal dalam jangka pendek dan jangka menengah/panjang. Harapannya, biaya transaksi ekonomi yang muncul setelah penetapan kebijakan upah minimum dan kebijakan ketenagakerjaan pada umumnya dapat dikendalikan. 

Bagi pemerintah, PP 36/2021 tetap berlaku dan digunakan dalam menghitung upah minimum. Pemerintah perlu segera mengawasi kewajiban perusahaan menyusun struktur dan skala upah yang juga diamanatkan dalam PP 36/2021. Struktur dan skala upah merupakan bagian dari Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dirundingkan di tingkat perusahaan. 

Pemerintah dapat mengurangi perselisihan hubungan industrial dengan mendorong adanya struktur dan skala upah berbasis produktivitas. Meskipun upah minimum tidak naik, pekerja dapat menikmati upah yang lebih tinggi sesuai dengan struktur dan skala upah di tingkat perusahaan. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki tugas pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan dapat memberikan bantuan teknis bagi perusahaan untuk membuat struktur dan skala upah. 

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah juga dapat memberikan subsidi seperti Kartu Pekerja Jakarta. Dengan subsidi ini, beban hidup pekerja yang cukup tinggi karena pandemi dapat dikurangi meskipun kenaikan upahnya kecil. Program bantuan subsidi upah yang sempat diberikan oleh pemerintah pada 2020 juga dapat diberikan lagi untuk pekerja di beberapa daerah yang tidak mendapatkan kenaikan upah minimum.  

Meskipun demikian, dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu terus memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum, karena ini merupakan program strategis nasional. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum secara berkesinambungan, sebagai bagian dari program strategis nasional. Pemerintah membutuhkan sistem monitoring dan evaluasi yang baik, sehingga tujuan kebijakan upah minimum dapat dicapai dan dampak buruknya dapat dikurangi. Monitoring dan evaluasi juga diperlukan untuk memastikan kebijakan upah minimum adaptif terhadap pasar tenaga kerja yang dinamis. 

Bila perlu, formula penghitungan upah minimum dapat diubah, disesuaikan dengan pasar kerja yang dinamis. Nugroho (2021) menemukan bahwa meskipun pakar mencapai konsensus penggunaan formula lebih efisien dibandingkan perundingan, tetapi mereka memberikan catatan pada formula dan variabel yang digunakan dalam PP 36/2021. Selain lebih rumit dibandingkan dengan formula pada PP 78/2015, beberapa pakar menilai formula ini mungkin tidak cocok dengan kondisi daerah tertentu.

Sebagian juga menilai formula yang digunakan tidak memperhitungkan kebutuhan dasar. Sebagian pakar juga mengkritisi batas atas upah minimum yang sebaiknya digunakan hanya di beberapa daerah yang upah minimumnya sudah terlalu tinggi saja. 

Peninjauan kembali ini juga dapat mengambil momentum tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang meminta Pemerintah dan DPR memperbaiki tata cara pembuatan UU 11/2020, yang merupakan induk dari PP 36/2021. 

Dalam jangka menengah, pengawasan harus terus dilakukan untuk memastikan hak pekerja untuk berserikat dan berunding juga dihormati oleh pengusaha. Dengan berserikat, yang merupakan hak dasar, pekerja mempunyai jalur untuk berunding dan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Harapan pekerja untuk mendapatkan kenaikan upah bisa didapatkan dari perundingan ditingkat perusahaan. 

Sayangnya, tidak banyak pekerja yang menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Menurut BPS, hanya 13 orang menjadi anggota serikat pekerja dari 100 pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Hal ini juga merupakan pekerjaan rumah untuk aktivis serikat pekerja/buruh. Pengawasan juga perlu ditingkatkan untuk memastikan pekerja mendapatkan hak-hak lainnya seperti hak atas jaminan sosial, jam kerja, dan jam istirahat, tunjangan hari raya, cuti melahirkan dan hak lainnya sesuai dengan ketentuan. 

Dan terakhir, sosial dialog perlu terus dikembangkan baik oleh SP/SB, APINDO maupun pemerintah. Sosial dialog seharusnya dilakukan secara berkala, tidak hanya ketika ada perselisihan hubungan industrial. Bahkan, sebenarnya sudah sangat terlambat untuk melakukan sosial dialog ketika sudah terjadi perselisihan. 

Pemerintah dapat memulai sosial dialog ini dalam rangka perbaikan UU 11/2020 yang diamanatkan oleh MK. Meskipun MK hanya meminta perbaikan proses pembentukan UU 11/2020, tapi masalah materiilnya juga bisa diselesaikan apabila pihak-pihak yang terlibat dapat mengedepankan hubungan industrial yang dewasa.

Mohamad Anis Agung Nugroho Direktur Eksekutif Kemitraan Kerja

Revisi UMP DKI Jakarta 2022, Pengusaha Sebut Anies Baswedan Langgar 2 Pasal PP 36/2021



Buruh,Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2022 dari 0,85 persen menjadi 5,1 persen. Dengan adanya revisi ini maka di 2022 UMP DKI Jakarta sebesar Rp 4.641.854.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, Anies Baswedan telah langgar regulasi Pengupahan yang berlaku saat ini, terutama Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yaitu pasal 26 mengenai cara perhitungan upah minimum dan pasal 27 mengenai Upah minimum propinsi. 

"Selain itu revisi ini bertentangan dengan pasal 29 tentang waktu penetapan Upah Minimum yang selambat-lambatnya ditetapkan pada tanggal 21 November 2021," katanya, Jakarta, Senin (20/12/2021).

Hariyadi mengatakan, pemprov DKI Jakarta secara sepihak melakukan revisi UMP DKI Jakarta 2022 tanpa memperhatikan pendapat dunia usaha, khususnya Apindo DKI Jakarta yang menjadi bagian dari Dewan Pengupahan Daerah sebagai unsur dunia usaha (pengusaha).

Dengan revisi UMP DKI Jakarta 2022 tersebut maka upaya untuk mengembalikan prinsip Upah Minimum sebagai Jaring Pengaman Sosial (JPS atau Social Safety Net) bagi pekerja pemula tanpa pengalaman tidak terwujud dan kembali menjadi Upah Rata-rata sehingga penerapan Struktur Skala Upah akan sulit dilakukan karena ruang/jarak antara UM dengan Upah diatas UM menjadi kecil.

"Atas kondisi tersebut, Apindo menyayangkan keputusan Gubernur DKI Jakarta atas revisi besaran UMP DKI," katanya.(obn)

Ternyata Tak Cuma DKI Jakarta, Provinsi Lain Ikut Revisi UMP 2022



Buruh, Kenaikan upah minimum provinsi atau UMP DKI Jakarta di 2022 telah banyak berimplikasi kepada berbagai hal. Kebijakan serupa bahkan disebut sudah mulai diikuti oleh pemerintah provinsi (pemprov) lain.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mengatakan, sudah ada satu provinsi lain yang coba merevisi kebijakan UMP di daerahnya. Namun, ia enggan menyebut spesifik nama provinsi itu.

"Sudah ada satu provinsi yang lain mengikutinya. Silakan Anda cek sendiri, saya enggak menyampaikan di sini, tapi sudah ada. Ini lah yang kami khawatirkan," ujar Adi dalam sesi teleconference, Senin (20/12/2021).

Adi lantas menyentil Anies yang gegabah dalam menentukan keputusan itu. Sebab, kebijakan revisi UMP 2022 jelas akan berdampak luas secara nasional, terlebih DKI Jakarta kerap dijadikan tolak ukur suatu kebijakan.

Revisi UMP DKI Jakarta ini ditakutkan bakal menyebabkan aksi PHK massal, sehingga jumlah pengangguran di Indonesia makin bertambah.

"Kan pengangguran formal kita sudah 9,7 juta. Ditambah informal berapa puluh juta," keluh Adi.(obn)

Revisi UMP DKI Jakarta 2022 Bikin Pengusaha dan Investor Bingung



Buruh, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan, Adi Mahfudz, mengaku sangat kebingungan dengan revisi upah minimum provinsi atau UMP DKI Jakarta di 2022 yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Adi menyatakan, putusan itu akan merusak sistem arus cas (cashflow) perusahaan, utamanya dalam hal pemberian upah pekerja.

"Sangat membingungkan. Jadi proyeksi kami, cashflow in/out-nya jadi enggak karuan," kata dia dalam sesi teleconference, Senin (20/12/2021).

Tak hanya pengusaha, dia menambahkan, revisi kenaikan UMP DKI Jakarta ini juga akan berdampak kepada investor. Terlebih keputusan tersebut tidak punya kepastian hukum, dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

"Karena apa, sebetulnya investor dan kami selaku pelaku usaha itu kan satu kata kunci, ada kepastian hukum. Kepastian itu tidak berubah-ubah maksudnya. Nah, ini pak Anies berubah-ubah," keluh Adi.

Menurut dia, penetapan UMP seharusnya berdasarkan kesepakatan tripartit antara pemerintah, dunia usaha dan pekerja. Adi pun menolak skema bipartit atau musyarawah informal untuk menentukan kenaikan upah minimum tersebut.

"Ini yang perlu kita pahami, bahwa mekanisme penentuan upah minimum itu harus melalui mekanisme tripartit, titik, enggak ada koma," ujar Adi.

"Tetapi untuk upah minimum provinsi DKI ini, mau enggak mau, suka enggak suka, karena memang regulasinya seperti itu, dilalui melalui mekanisme tripartit," tegasnya.(obn)

UMP Naik 5,1 Persen Diprotes Apindo, Anies: Ekonomi Sudah Bergerak, Masa Hanya Naik 0,8 Persen



Buruh, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan angkat bicara mengenai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 5,1 persen untuk tahun 2022. Menurut Anies, kenaikan tersebut tak setinggi beberapa tahun sebelumnya.

"Para pengusaha juga sudah terbiasa bahwa UMP di Jakarta itu selama enam tahun terakhir rata-ratanya naik sekitar 8,6 persen. Artinya dunia usaha sudah terbiasa dengan kenaikan sekitar 8,6 persen," kata Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (20/12/2021).

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menjelaskan kenaikan UMP tahun 2021 mencapai 3,3 persen. Padahal pada tahun 2020 merupakan awal pandemi Covid-19.

"Tahun lalu tuh naik 3,3 persen dalam kondisi yang amat berat. Tahun ini alhamdulillah sudah lebih baik, biasanya 8,6 persen," ucapnya.

Anies menilai tahun 2021 laju perekonomian di Jakarta telah membaik dibandingkan tahun 2020. Sedangkan bila menggunakan formula perhitungan dari Kementerian Tenaga Kerja hanya naik tak mencapai 1 persen.

"Saya ingin sampaikan ke semua cobalah objektif, tahun lalu yang sulit saja itu 3,3 persen. Tahun ini ekonomi sudah bergerak, masa kita masih mengatakan 0,8 persen itu sebagai angka yang pas. Ini akal sehat aja nih, kan common sense," paparnya.

Anies pun mengharapkan kenaikan UMP sebesar 5,1 persen tersebut dapat disikapi dengan bijaksana.

"Demi kebaikan semuanya, di satu sisi tidak setinggi biasanya, di mana biasanya 8,6 tapi tidak rendah seperti di tahun sebelumnya," jelas Anies.

Protes Apindo

Sebelumnya, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menentang keras kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang melakukan revisi besaran upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta menjadi sebesar 5,1 persen.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyatakan, pihaknya akan menggugat kenaikan UMP DKI Jakarta tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sembari menunggu hasil gugatan tersebut, ia meminta kepada seluruh perusahaan di Ibu Kota agar tidak mematuhi ketetapan itu, dengan membayar gaji pekerja sesuai besaran minimal upah Jakarta.

"Kami meminta perusahaan tidak melaksanakan aturan ini, sambil menunggu aturan keputusan tetap PTUN. Kami menghimbau untuk tidak menerapkan revisi itu, karena melanggar PP Nomor 36/2021," seru Hariyadi dalam sesi teleconference, Senin (20/12/2021).

Anies Rinci Data Pendukung Kenaikan UMP DKI Jakarta Tahun 2022



Buruh,Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, rerata inflasi di Ibu Kota selama Januari-November 2021 sebesar 1,08 persen. Adapun, rerata inflasi nasional selama Januari – November 2021 sebesar 1,30 persen. Sementara itu, dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (2016-2021) rerata kenaikan UMP DKI Jakarta dengan mempertimbangkan nilai pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional adalah sebesar 8,6 persen.

Pada 22 November 2021, Anies melayangkan surat nomor 533/-085.15 tentang Usulan Peninjauan Kembali Formula Penetapan Upah Minumum Provinsi (UMP) 2022 kepada Menteri Ketenagakerjaan RI.

Melalui surat itu, Anies menyampaikan bahwa kenaikan UMP 2022 di DKI Jakarta yang sebelumnya hanya Rp 37.749, atau 0,85 persen jauh dari layak dan tidak memenuhi asas keadilan. Hal itu disebabkan peningkatan kebutuhan hidup pekerja/buruh terlihat dari inflasi di DKI Jakarta.

Berdasarkan proyeksi Bank Indonesia yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia, diungkapkan pula bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 mencapai 4,7 persen sampai dengan 5,5 persen , untuk inflasi akan terkendali pada posisi 3 persen (2-4 persen).

Berdasarkan proyeksi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 sebesar 4,3 persen.

Dalam penjelasan tertulisnya, Anies menerangkan formulasi yang dipakai Pemprov DKI untuk pengkajian ulang standar UMP 2022 menggunakan variabel inflasi 1,6 persen dan variabel pertumbuhan ekonomi nasional 3,51 persen. Dari kedua variabel itu, maka keluar angka 5,1 persen sebagai angka kenaikan UMP tahun 2022.(obn)

Anies Revisi Nilai UMP Jakarta Naik 5,1 Persen, Jadi Rp4.641.854



Buruh,Gubernur DKI JakartaAnies Baswedan memutuskan untuk merevisi dan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 sebesar 5,1 persen atau senilai Rp225.667. Dengan demikian, UMP DKI pada 2022 berdasarkan revisi tersebut sebesar Rp4.641.854.

Pihak Humas Pemprov DKI saat di konfirmasi fsplemspsi.or.id dalam keterangan tertulis untuk di kutip rilis terkait UMP membenarkan adanya kenaikan.

Anies mengatakan, kenaikan UMP ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat.

"Kami menilai kenaikan 5,1 persen ini suatu kelayakan bagi pekerja dan tetap terjangkau bagi pengusaha," ucap Anies dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/12). 

Anies menegaskan, kebijakan ini dilakukan setelah adanya kajian ulang dan pembahasan kembali dengan semua pemangku kepentingan terkait.

Dia juga menambahkan, azas keadilan menjadi dasar penting Anies merevisi formulasi kenaikan upah bagi para buruh. Nilai kenaikan upah, dinilai Anies cukup untuk kebutuhan sehari-hari seperti daging ayam, telur, susu, beras.

Anies juga menyampaikan, kenaikan UMP tahun 2022 sebesar 5,1 persen merupakan angka yang layak sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerja yang turut berkontribusi dalam perekonomian Jakarta kala pandemi.

"Ini wujud apreasi bagi pekerja dan juga semangat bagi geliat ekonomi dan dunia usaha. Harapan kami ke depan, ekonomi dapat lebih cepat derapnya demi kebaikan kita semua”, tutur Anies.(obn)


BURUH GELAR AKSI TOLAK REVISI UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN GRUDUK SENANYAN

Masa Aksi GEKANAS sampaikan aspirasi ke wakil rakyat di Senayan tolak revisi UU 12/2011 (foto soleh media Lem)


F SP LEM SPSI, Kamis 16/12/2021, Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan kebutuhan masyarakat sehingga  perlu di rubah.

Adapun isi dari undang undang tersebut menegaskan sistematisasi materi pokok tentang pembentukan peraturan perundang-undangan adalah asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jenis hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan, perencanaan peraturan perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan.

Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) yang terdiri dari FSP LEM SPSI, FSP KEP SPSI, FSP TSK SPSI, FSP RTMM SPSI, FSPI, PPMI'98, FSP PAR REF MENOLAK Pembahasan Revisi UU No. 12/2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusioal) bersyarat. Tapi masih tetap berlaku selama 2 (dua) tahun, untuk diperbaiki.

Dalam Orasinya Korlap Gekanas Ir M Sidarta mengatakan Berbahaya jika UU No 12 Tahun 2011 jika di revisi, mengingat keinginan tersebut didasari sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi(MK) dimana dalam putusan tersebut menyebut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi dan yang dimaksud tentu salah satunya bertentangan dengan UU 12 Tahun 2011 yang isinya tidak ada satupun menyebutkan frasa Omnibuslawdi dalamnya.

Jika Frasa Omnibuslaw masuk kedalamnya maka akan bermunculan Omnibuslaw lainnya dan ini siasat buruk yang sengaja nantinya semakin mempersulit buruh untuk melakukan pembatalan UU Cipta Kerja karena sudah konstitusional.

Dinyatakan dalam putusan MK tsb, bahwa pembuatan UU Cipta Kerja tidak sesuainya dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai amanat dari UUD 1945. Dimana dalam UU 12/2011 tidak ada norma tidak ada frasa yang mengatur tentang omnibus law.

Untuk menyisiati agar UU Cipta Kerja konstutional dengan cepat tanpa harus sampai 2 tahun, maka DPR dan Pemerintah memasukkan revisi UU 12/2011 dan revisi UU 11/2020 ke dalam Prolegnas Prioritas 2022.

Jelas ini langkah akal-akalan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Pemerintah, DPR RI dan Makamah Konstitusi) untuk memasukkan metode Omnibus Law secara asal jadi. Dengan begitu UU 11/2020 cepat berlaku secara efektif.

Oleh karena itu, GEKANAS dengan tegas menolak revisi UU No.12/2011, yang tujuannya adalah untuk memberlakukan UU Cipta Kerja yang jelas dan nyata materinya sangat merugikan pekerja/Buruh dan seluruh rakyat Indonesia.

Dampak buruk dengan tetap diberlakukan UU 11/2020 beserta peraturan turunannya, adalah:

∆ Pekerja kontrak (PKWT) dan pekerja alih daya (outsourcing) semakin merajalela tanpa ada sanksi kepada pengusaha;

∆ Upah murah tanpa ada kenaikan upah minimum yang menyebabkan upah yang diterima pekerja/buruh di bawah inflasi;

∆ Pekerja/Buruh mudah di PHK secara sepihak oleh Perusahaan, dan dengan pesangon suka-suka pengusaha yang sudah dapat perlindungan dari Pemerintah;

∆ Tarif dasar listrik akan segera naik yang memberatkan rakyat, karena urusan perlistrikan akan sepenuhnya dikuasai pihak swasta. (Obn)

Buruh Tolak Revisi UU 12/2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 


Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) yang didalamnya terhimpun beberpa presidium Federasi Serikat Pekerja diantaranya FSP LEM SPSI, FSP KEP SPSI, FSP TSK SPSI, FSP RTMM SPSI, FSPI, PPMI'98, FSP PAR REF dan yang lainya, tanggal 16 Desember 2021 akan mendatangi halaman DPR RI untuk menyuarakan penolakan revisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP)


Dewa Sukma Kelana, S.H., M.Kn Ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Banten usai mengikuti teklap persiapan aksi mengatakan, dirinya siap menjalankan instruksi DPP FSP LEM SPSI sebagai bagian presidium Gekanas dimana hasil komunikasi dengan para ketua DPC, atas nama Gekanas asal Banten telah dipersiapkan kurang lebih sebanyak 500an massa/anggota untuk mengikuti aksi tersebut.


Dewa menjelaskan, berbahaya jika UU 12/2011 jadi di revisi mengingat keinginan revisi tersebut didasari sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi dan yang dimaksud tentu salah satunya bertentangan dengan UU 12/2011 yang isinya tidak ada satupun menyebutkan frasa Omnibuslaw didalamnya. Jika frasa Omnibuslaw masuk kedalamnya maka akan bermunculan Omnibuslaw lainya dan ini siasat busuk yang sengaja nantinya semakin mempersulit buruh untuk melakukan pembatalan UU Cipta Kerja karena sudah konstitusional.


Demi mempertahan UU Cipta Kerja, diperoleh informasi badan legislatif DPR RI ternyata sudah menyiapkan rancangan naskah akademik dan rancangan undang-undang (RUU) untuk merevisi UU PPP tersebut. "Jadi rupanya DPR telah bersiasat ingin mencari celah supaya UU Cipta Kerja dari yang tadinya sudah dinyatakan oleh MK Inkonstitusional menjadi konstitusional tdak lagi cacat hukum dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,, katanya.


Dewa menilai, permasalahan yang menjadi dasar putusan MK berkaitan dengan tidak sesuainya pembuatan UU Cipta Kerja dengan UU PPP. Apalagi di dalam amar putusan MK disebutkan berkali-kali UU Ciptaker ini dianggap inkonstitusional karena di UU PPP tidak pernah mengenal yang namanya atau norma atau frasa yang mengatur tentang omnibus law.


Itu mengapa DPR bersikap ngotot ingin melakukan revisi UU PPP dan itu tentu kami tolak, jikapun dalam aksi nanti DPR tetap tidak menggubris dan tetap memaksakan agendanya, maka FSP LEM SPSI bersama Gekanas dipastikan akan terus menerus aksi menurunkan masanya lebih besar lagi dari sebelumnya sampai tidak ada lagi DPR akan mengajukan revisi UU PPP untuk memasukkan frasa omnibus law, tegas Dewa yang juga praktisi hukum ini.


telah diketahui bersama, MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan. Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional secara permanen.


Sebagaimana pertimbangannya, MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi. Selanjutnya dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. 


Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik, urainya.


Jadi aksi ini merupakan bentuk antisipasi sekaligus mengingatkan kepada DPR supaya jangan coba-coba mencari celah hanya untuk melegalkan UU Cipta Kerja yang sesungguhnya UU tersebut sudah banyak menelan korban PHK dan memperbanyak pengangguran tidak sesuai dengan namanya menciptakan kerja, malah bertolak belakang jadi banyaknya menciptakan pengangguran, jelas Dewa.


Konon katanya bahwa revisi UU PPP itu akan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Dimana penyusunan Prolegnas tersebut bakal dilakukan pada Desember 2021.


Untuk mendukung penolakan revisi UU PPP tersebut, DPD FSP LEM SPSI Provinsi Banten sendiri telah mempersiapkan massanya menggunakan bus, mobil pribadi dan kendaraan bermotor dengan titik kumpul parkir timur Senayan jam 09.00 WIB untuk selanjutnya secara bersama-sama longmarch menuju pintu halaman gedung DPR-RI, imbuhnya

Hati-Hati, Perusahaan Tak Terapkan Struktur dan Skala Upah akan Kena Sanksi


 

Buruh, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah meminta para pengusaha agar menerapkan struktur dan skala upah (SUSU) di perusahaannya dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas. Jika masih terdapat perusahaan yang tidak melaksanakan SUSU, maka akan dikenakan sanksi. Sanksinya mulai dari administratif berupa teguran tertulis hingga pembekuan kegiatan usaha.

Menaker menjelaskan, dengan penerapan SUSU di perusahaan agar upah yang berkeadilan dan menguntungkan pihak pengusaha dan pekerja/buruh dapat terwujud.

"Apabila penerapan struktur dan skala upah dapat dilakukan oleh seluruh pihak, maka akan mendorong perekonomian yang pada ujungnya meningkatkan daya saing kita sebagai bangsa Indonesia," kata Menaker dalam acara NGOPI SUSU (Ngobrol Pintar Struktur dan Skala Upah) di Jakarta, Kamis (9/12).

Menaker Ida menyayangkan masih sedikitnya perusahaan yang menetapkan SUSU. Hingga kini, baru sebanyak 23 persen perusahaan yang menerapkan SUSU.

Melihat masih sedikitnya perusahaan yang menerapkan SUSU, Menaker Ida akan terus mendorong forum-forum dialog, sehingga kesadaran sosial tentang penerapan struktur dan skala upah dapat terwujud.

"Saya akan terus mengajak perusahaan-perusahaan lain agar menerapkan struktur dan skala upah. Ini tidak akan tercapai kalau hanya pemerintah yang ngotot, tapi dari pihak perusahaan juga harus ngotot. Makanya ini butuh komitmen bersama," tegasnya.

Menaker mengatakan, pada tahun 2022, pihaknya akan lebih meningkatkan berbagai bentuk sosialisasi dan bimbingan teknis SUSU.(obn)

Buruh Jawa Barat Kembali Bergerak Kepung Gedung Sate Bandung

Buruh kepung Gedung Sate Bandung


Bandung, MEDIA LEM - 29 November 2021, Buruh Jawa Barat dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat kembali bergerak kepung Gedung Sate Bandung. Mereka meminta Gubernur Jawa Barat agar tetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sesuai rekomendasi Bupati/Walikota se-Jawa Barat dan tetapkan upah diatas minimum/upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) paska pembacaan putusan uji formil dan materiil oleh Mahkamah Konstitusi RI.


Ketua DPD K-SPSI Jawa Barat Roy Jinto Ferianto menjelaskan, unjuk rasa kali ini diikuti oleh berbagai serikat pekerja/serikat buruh dari kabupaten/kota di Jawa Barat, paska putusan Mahkamah Konstitusi RI kamis 25 November 2021 yang menyatakan bahwa, UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 Cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945.


Berdasarkan Amar putusan MK Angka (7) yang pada pokoknya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/Kebijakan yang bersifat Strategis dan berdampak luas,  serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja, oleh karena Pengupahan merupakan Program Strategis Nasional sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan metode formula pengupahan akan berdampak luas kepada para Pekerja/Buruh di Indonesia, maka dalam penetapan Upah Minimum Tahun 2022 tidak didasarkan pada PP No. 36 Tahun 2021, jelas Roy Jinto.

Lebih lanjut Roy Jinto menjelaskan bahwa, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat telah melakukan Rapat Pleno UMK Tahun 2022 terhadap Rekomendasi/Usulan Bupati/Walikota Se-Jawa Barat pada Tanggal 26 Nopember 2021 sampai malam hari, dimana mayoritas rekomendasi UMK tahun 2022 yang disampaikan oleh Bupati/Walikota Se-Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat tidak lagi berdasarkan atau mengacu pada perhitungan Formula PP No. 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, maka berdasarkan hal tersebut kami menyatakan sikap atau tuntutan SBB :

Menolak penetapan UMK Tahun 2022 berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 tentang pengupahan.

Meminta Gubernur Jawa Barat MENETAPKAN  Upah Minimum Kab/Kota (UMK) Tahun 2022 sesuai dengan Rekomendasi atau Usulan yang terakhir Bupati/Walikota Se-Jawa Barat yang telah disampaikan Kepada Gubernur Jawa Barat.

Meminta Kepada Gubernur untuk menetapkan Upah diatas Upah Minimum Tahun 2022 atau menetapkan UMSK kembali.

Bahwa Kaum Buruh di Jawa Barat khususnya anggota K-SPSI Provinsi Jawa Barat akan mengawal penetapan UMK Tahun 2022 baik dengan cara Aksi Unjuk Rasa maupun Mogok Kerja pada Tanggal 29 dan 30 November 2021, yang dilaksanakan 

“ PERNYATAAN SIKAP DPD FSP LEM SPSI JAWA BARAT “ MENGENAI PUTUSAN MK DAN PENETAPAN UMK TAHUN 2022

Foto media lem : Pimpinan Federasi Tingkat Daerah Jawa Barat

Bandung, MEDIA LEM - Mahkamah Konstitusi RI Pada Tanggal 25 Nopember 2021 telah membacakan putusan pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan pada tanggal 26 nopember 2021 Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat telah mengadakan Rapat Pleno terhadap Rekomendasi/usulan UMK Tahun 2022 yang disampaikan oleh Bupati/Walikota Se Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat, Rapat Pleno dilakukan sampai malam hari, dan tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga masing – masing unsur dalam Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat menyampaikan pendapat dan usulan yang dituangkan dalam Berita Acara Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat tanggal 26 Nopember 2021, yang akan diserahkan kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengambil keputusan.

Rapat Dewan Pengupahan Propinsi unsur serikat Pekerja bersama Depekab se Jawa Barat

Berdasarkan hal tersebut kami menyampaikan hal – hal sebagai berikut :

1. Pembentukan  UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan metode dan tekhnik penyusunan peraturan perundang – undangan sebagaimana di maksud pada UU No.12 tahun 2011 JO UU No.15 Tahun 2019 tentang pembentukan UU sebagai amanat pasal 22 A UUD 1945.

2. Bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melanggar “asas” kejelasan Rumusan sebagaimana UU No.12 Tahun 2011.

3. Bahwa alasan Pemerintah untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan UU dengan menggabungkan 78 UU dengan metode Omnibus Law dengan dalil agar lebih cepat dan efisien, menurut pendapat MK persoalan lamanya waktu dalam membentuk suatu UU, tidak dapat dijadikan dasar pembenar untuk menyimpangi atau melanggar UUD 1945.

4. Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan telah terjadi perubahan materi muatan secara substansial UU No. 11 tahun 2020  Pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh MK sebagaimana dalam pertimbangan hukum putusan MK.

5. Bahwa terungkap dalam fakta persidangan mengenai “ asas keterbukaan “ pembentuk UU tidak memberikan ruang partisipasi publik kepada Masyarakat secara maksimal, dan NA (naskah akademik) RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sehingga UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan cacat formil.

6. Bahwa berdasarkan Amar putusan MK Angka (7) yang pada pokoknya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/Kebijakan yang bersifat Strategis dan berdampak luas,  serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja

7. Bahwa oleh karena Pengupahan merupakan Program Strategis Nasional sebagaimana dinyatakan dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan metode formula pengupahan sebagaimana  PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan akan berdampak luas kepada para Pekerja/Buruh di Indonesia, maka dalam penetapan Upah Minimum Tahun 2022 tidak didasarkan pada PP No.36 Tahun 2021.

8. Bahwa Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat telah melakukan Rapat Pleno UMK Tahun 2022 terhadap Rekomendasi/Usulan Bupati/Walikota Se Jawa Barat pada Tanggal 26 Nopember 2021 sampai malam hari.

9. Bahwa mayoritas rekomendasi UMK tahun 2022 yang disampaikan oleh Bupati/Walikota Se Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat tidak lagi berdasarkan atau mengacu pada perhitungan Formula PP No.36 Tahun 2021 tentang pengupahan, maka berdasarkan hal tersebut kami menyatakan sikap atau tuntutan SBB :

       1. Menolak penetapan UMK Tahun 2022 berdasarkan PP No.36 Tahun 2021 tentang pengupahan.

      2. Meminta Gubernur Jawa Barat MENETAPKAN  Upah Minimum Kab/Kota (UMK) Tahun 2022 sesuai dengan Rekomendasi atau Usulan yang terakhir Bupati/Walikota Se Jawa Barat yang telah disampaikan Kepada Gubernur Jawa Barat.

    3. Meminta Kepada Gubernur untuk menetapkan Upah diatas Upah Minimum Tahun 2022 atau menetapkan UMSK kembali.

    4. Bahwa Kaum Buruh di Jawa Barat khususnya anggota KSPSI Provinsi Jawa Barat akan mengawal penetapan UMK Tahun 2022 baik dengan cara Aksi Unjuk Rasa maupun Mogok Kerja pada Tanggal 29 dan 30 Nopember 2021, yang dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.