Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, Pasal 90 ayat (2) UUK memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk dapat melakukan penangguhan.
Langkah Hukum Jika Upah Dibawah Standar
Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, Pasal 90 ayat (2) UUK memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk dapat melakukan penangguhan.
Selain Ford, Banyak Industri Tutup Akibat Melemahnya Ekonomi
- Daya beli konsumen menurun yang berakibat permintaan menurun;
- Jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar meningkatkan biaya untuk material, komponen yang harus diimpor;
- Meningkatnya biaya-biaya operasional terutama energi yang naik di Indonesia ketika harga energi dunia cenderung turun terus;
- Permintaan dari luar negeri turun seperti batubara untuk industri China yang mengalami pelambatan.
- 27 perusahaan tekstil & produk tekstil dengan karyawan rata-rata 300-500 orang per perusahaan (Keterangan Dr Lili Asdjudiredja Ketua Umum Dewan Masyrakat Tekstil di DPR- RI Juli 2015);
- 125 Perusahaan pertambangan batubara di Kalimatan Timur (data dari Ketua Asosiasai Pengusaha Indonesia Kaltim Slamet Broto. Diperkirakan sampai akhir 2015 total 200 perusahaan berpotensi tutup);
- 11 perusahan di Batam di bidang galangan kapal, elektronik, garmen diantaranya modal asing PT Nagano Hidro Jet Marine. PT Yee Woo, PT Heat Exchanger, PT Nolek Sanyo, PT Siemen Hearing Instrument dsb (keterangan Kepala Disnaker Batam, Zarefriade);
- PT General Motor, pabrik mobil di di pondok Ungu Bekasi;
- perusahaan di Bekasi; PT Kirin Dinamika, PT Delta Inova.PT Argo Pantes, PT Panasonic, PT Guru Paramita;
- 2 Pabrik besar di Depok; PT Takagi & PT Tranco;
- PT Matshushita Toshiba Picture Display & PT Panasonic Electronic Divice. Kedua prusahaan memiliki 4,625 jaryawan.
SELAIN FORD,BANYAK INDUSTRI TUTUP AKIBAT MELEMAHNYA EKONOMI INDONESIA ERA JOKOWI
Banyak yang kaget ketika kemarin (25/01/16) resmi diumumkan penutupan semua kantor dealer dan pabrik mobil Ford milik PT Ford Motor Indonesia yang telah 16 tahun beroperasi di Indonesia. Sebetulnya tidak perlu kaget kalau kita perhatikan banyaknya perusahaan-perusahaan industri yang tutup di tahun 2015 sejak melemahnya ekonomi di tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.
Berbagai penyebab penutupan perusahaan dijelaskan, tetapi yang utama:
1. Daya beli konsumen menurun yang berakibat permintaan menurun;
2. Jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar meningkatkan biaya untuk material, komponen yang harus diimpor;
3. Meningkatnya biaya-biaya operasional terutama energi yang naik di Indonesia ketika harga energi dunia cenderung turun terus;
4. Permintaan dari luar negeri turun seperti batubara untuk industri China yang mengalami pelambatan.
Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang ditutup atau dipindah ke luar negeri di tahun 2015, adalah:
- 27 perusahaan tekstil & produk tekstil dengan karyawan rata-rata 300-500 orang per perusahaan (Keterangan Dr Lili Asdjudiredja Ketua Umum Dewan Masyrakat Tekstil di DPR- RI Juli 2015);
- 125 Perusahaan pertambangan batubara di Kalimatan Timur (data dari Ketua Asosiasai Pengusaha Indonesia Kaltim Slamet Broto. Diperkirakan sampai akhir 2015 total 200 perusahaan berpotensi tutup);
- 11 perusahan di Batam di bidang galangan kapal, elektronik, garmen diantaranya modal asing PT Nagano Hidro Jet Marine. PT Yee Woo, PT Heat Exchanger, PT Nolek Sanyo, PT Siemen Hearing Instrument dsb (keterangan Kepala Disnaker Batam, Zarefriade);
- PT General Motor, pabrik mobil di di pondok Ungu Bekasi;
- 5 perusahaan di Bekasi; PT Kirin Dinamika, PT Delta Inova.PT Argo Pantes, PT Panasonic, PT Guru Paramita;
- 2 Pabrik besar di Depok; PT Takagi & PT Tranco;
- PT Matshushita Toshiba Picture Display & PT Panasonic Electronic Divice. Kedua prusahaan memiliki 4,625 jaryawan.
Di samping itu banyak perusahaan-perusahaan kecil, menengah yang tutup tanpa melapor ke Disnakertrans atau instansi lain sehingga tidak tercatat.
Saat ini pemerintah sedang merampingkan birokrasi, menambah insentif pajak dan non-pajak agar investor mau masuk. Akan tetapi apabila pengelolaan ekonomi makro dan konflik di dalam pemerintah (intra governmental conflict) masih seburuk tahun 2015, sukar mengharapkan lompatan perbaikan.[]
*Sumber: theglobal-review.com
Konsolidasi dan Implementasi Umsp DKI Jakarta 2016
Konsolidasi dan Implementasi Umsp DKI Jakarta 2016
Lem, DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta mengumpulkan perangkat Pegurus DPC FSP LEM SPSI se DKI Jakarta, PUK se DKI Jakarta serta Struktutal Bapor di DKI Jakarta di Ruang Prity Pulogadung Trade Center, Jl Raya Bekasi KM 21, Pulogadung, Selasa 26/01/2016.
Agenda sharing organisasi tentang konsolidasi UMSP DKI Jakarta 2016 dan Implementasi UMSP di tingkat perusahaan, di buka dengan pemamaran proses UMP sampai UMSP DKI Jakarta 2016 oleh Bung Azis.
Agenda tersebut merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh DPD DKI Jakarta setiap selesai UMSP pada tiap tahunan.
Selain agenda tersebut Ketua DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta Bung Yulianto juga menjelaskan dan bertanggung jawab atas langkah-langkah dan sikap DPD FSP LEM SPSI DKI terhadap pengupahan dan hasil yang sudah diperoleh.
"Kenaikan UMP dan UMSP 2016 DKI Jakarta rata 12-14% dari tahun lalu, sedangkan daerah penyangga hanya 11,5% yang terkendala dengan PP 78/2015" katanya.
"Nanti kita akan mengawasi dan mengambil sikap tegas kepada tiap-tiap perusahaan yang tidak menggunakan Umsp" terangnya.
Agenda tersebut di akhiri dengan sesi evaluasi untuk perbaikan pengupahan DKI Jakarta ke depannya.
Umsp DKI Jakarta 2016 Sudah Selesai
Bapor Lem, Akhirnya Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) DKI Jakarta sudah selesai, surat Peraturan Gubernur DKI Jakarta dengan No 8 tahun 2016 yang di tetapkan tanggal 13 Januari 2016 yang lalu.
Peraturan Gubernur tersebut mengatur upah minimum provinsi dari 11 sektor, seperti sektor bangunan dan umum, sektor kimia, sektor logam, sektor otomotif, sektor perbankan, sektor makanan, sektor farmasi, sektor tekstil, sektor pariwisata, sektor telekomunikasi dan sektor retail.
Berikut Peraturan Gubernur lengkapnya;
Tetapkan UMSP DKI Jakarta 2016 Tertinggi se Pulau Jawa
Aksi UMSP DKI Ditunda
Bapor Lem, Sehubungan dengan adanya kesepakatan bersama team perunding UMSP sektor otomotif, tanggal 13 Januari 2013 pukul 23:00 WIB, DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta akhirnya mengambil sikap untuk menunda Aksi UMSP di DKI Jakarta.
Hal ini di utarakan oleh Sekertaris DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta Bung Azis di Kantor Kesetariatan DPD FSP LEM SPSI DKI Jajarta.
"Ada 17 Sektor UMSP, memang baru dua sektor yang kelar tapi kita harus menghormati sektor lain yanhg masih berunding" katanya.
"Tujuan aksi sebenernya untuk mendongkrak nilai dari UMSP yang dead lock, kita lakukan mediasi dengan dinas terkait hal ini" Tambahnya.
Tetapkan UMSP DKI Jakarta 2016 Tertinggi se Pulau Jawa
Tetapkan UMSP DKI Jakarta 2016 Tertinggi se Pulau Jawa
Bapor Lem, DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta kembali akan turun aksi untuk menuntut agar Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) agar segera di tetapkan.
Sehubungan dengan hal tersebut masih terkendala bahwa UMSP DKI Jakarta tahun 2016, khususnya menyangkut 17 Sektor/Sub Sektor yang berhubungan langsung dengan anggota FSP LEM SPSI, hingga saat ini hanya terselesaikan cuma 2 Sub Sektor.
Maka DPD FSP LEM SPSI DKI akan melakukan Aksi besok, Kamis 14 Januari 2016, dengan titik unjuk rasa di wilayah industri Pulogadung, Pegangsaan Dua, Sunter, Kantor KADIN DKI Jakarta dan Balaikota.
Aksi Unras tersebut menuntut agar ditetapkan UMSP DKI Jakarta 2016 tertinggi se Pulau Jawa, kemudian dengan massa aksi 6.000 anggota.
Hadapi MEA Indonesia Bertarung dengan Tangan Kosong
Bapor Lem, Siap atau tidak siap, implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan terjadi mulai hari pertama 2016. Namun, tidak terlihat gebrakan pemerintah dalam menghadapi pasar bebas di kawasan Asia Tenggara ini. Apakah kita memang sudah siap dan memiliki senjata ampuh atau hanya tangan kosong?
Seperti biasa, kita akan panik saat implementasi berbagai perjanjian telah memunculkan kerugian tanpa mempersiapkan matang-matang.
Tidak banyak yang dapat diandalkan dari kehadiran kita di perdagangan lintas negara itu. Dapat dikatakan Indonesia hanya unggul di faktor jumlah penduduk (kekuatan konsumsi swasta). Dan jumlah penduduk yang besar ini bukan hanya dalam tataran ASEAN, tetapi juga pada cakupan dunia.
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Negara berpenduduk 250 juta jiwa ini, juga ditopang oleh penduduk berpendapatan menengah (middle-income) yang menjadi sasaran empuk produk-produk asing. Hal itu semakin menjadi-jadi, karena (biasanya) konsumen akan lebih percaya diri (prestige) saat mengenakan barang asing.
Jika harus dipreteli, banyak sisi di negara ini yang jauh tertinggal dibandingkan negara anggota ASEAN lain.
Bagian pertama dapat diinvestigasi melalui struktur ekonomi rapuh. Dari sisi penawaran, peranan sektor padat karya (tradable) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat tinggi, sekitar 45 persen (Triwulan III-2015). Sebetulnya, angka itu turun signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, rata-rata 50 persen.
Penurunan peranan sektor penyerapan tenaga kerja utama ini, tidak diikuti dengan migrasi tenaga kerjanya. Hingga kini, sektor tradable masih menyerap lebih dari 45 persen tenaga kerja nasional.
Persoalannya adalah sektor tradable, terutama industri manufaktur, harus berhadapan dengan polemik ketersediaan bahan baku (dari keran impor), biaya tenaga kerja dan energi, hingga biaya tak terduga (biaya pelicin).
Sulitnya memindahkan tenaga kerja ke sektor formal disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Data Human Development Index (HDI) dari United Nation Development Program (UNDP) menetapkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada posisi 108 dari 187 negara. Lembaga tersebut mengukurnya melalui angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, ekspektasi lama sekolah, dan pendapatan per kapita.
Untuk ukuran Asean, kita hanya lebih baik dari Filipina (117); Timor-Leste (128); Laos (139); dan jauh tertinggal dari Singapura (9); Brunei (30); Malaysia (62); atau Thailand (89).
Membedah lebih dalam kualitas sumberdaya manusia, dapat merujuk pada kondisi tenaga kerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2015 mewartakan bahwa lebih dari separuh dari tenaga kerja nasional berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Sehingga, keterpurukan tingkat pendidikan memasung mereka pada sektor pertanian dan informal. Mereka terpental dari sektor-sektor padat modal (non-tradable) yang mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu. Upaya mengakses jenis pekerjaan lain pun terkendala oleh minimnya keterampilan.
Bukan hanya itu, kita juga bersusah payah untuk memerbaiki iklim investasi, agar modal asing masuk. Hanya saja, hingga kini, peringkat daya saing dan iklim investasi kita masih jauh dibandingkan negara-negara Asean.
Bank Dunia (2015) mencatat peringkat daya saing Indonesia pada 2016 hanya berada di posisi 109, Malaysia 18, Thailand 49, Vietnam 90, dan Filipina 103. Sementara, peringkat komponen memulai bisnis (starting a business) melorot 10 level menjadi 173.
Persoalan tidak berhenti di sini saja, saat investasi asing masuk, dana tersebut tidak bertahan lama. Dana itu kembali ke negara asal dalam bentuk pembayaran pendapatan.
Sepanjang 2010-2014, rata-rata dana yang ke luar dan tercatat pada neraca pendapatan primer mencapai US$26,12 miliar per tahun. Pada 2015: neraca pendapatan primer telah defisit hingga US$21,44 miliar.
Yang paling mencengangkan adalah pencetak defisit neraca pendapatan primer bersumber dari aliran dana asing melalui pendapatan investasi langsung. Komponen ini menyumbang rata-rata 64 persen terhadap total defisit pendapatan primer. Pendapatan investasi portofolio dan investasi lainnya masing-masing menyumbang 23 persen dan 8,5 persen.
Negara ini juga sangat lemah dalam pengelolaan harga. Inflasi nasional masih sangat liar, karena bergerak dari dua sisi sekaligus. Dari sisi permintaan, inflasi mengepung karena depresiasi nilai tukar terhadap Dollar Amerika Serikat. Sejak 2011 hingga saat ini, realisasi nilai tukar selalu melenceng dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada 2011 dan 2012, margin realisasi dan target nilai tukar masing-masing meleset sekitar Rp200 per dolar Amerika Yang paling parah terjadi pada 2013-2014 masing-masing di atas Rp2.000 per dolar Amerika, sedangkan pada 2015 diproyeksi sekitar Rp1.000 per dolar Amerika. Depresiasi nilai tukar yang terjadi terus menerus menyebabkan mahalnya biaya impor, sehingga mendorong inflasi dari sisi impor (imported inflation).
Dari sisi penawaran (cost push inflation), inflasi terutama bergejolak dari masalah ketersediaan bahan pangan (ketahanan pangan), distribusi (infrastruktur), dan masalah harga barang-barang yang diatur pemerintah (ketahanan energi).
Pergerakan inflasi yang begitu liar menyebabkan tingkat suku bunga tinggi. Pada November 2015, suku bunga kebijakan (policy rate) di Indonesia mencapai 7,5 persen; Malaysia 3,25 persen; Filipina 4 persen; dan Thailand 3 persen (data September 2015).
Dampak lanjutannya terlihat dari dangkalnya peranan sektor keuangan. Rasio kredit Indonesia terhadap PDB misalnya tidak lebih dari 45 persen pada 2014. Indikator tersebut di Malaysia mencapai 140 persen, Thailand 168 persen dan Filipina 55 persen.
Berbagai hal di atas memberikan sedikit ulasan akan situasi kita dalam menghadapai MEA pada 2016. Dapat dikatakan, kelemahan yang muncul lebih banyak dibandingkan dengan kekuatan.
Ironisnya lagi, kelemahan tersebut sangatlah fundamental, sehingga akan menentukan apakah kita menjadi kampiun atau hanya pecundang.
Sumber ; http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20151231160041-79-101461/indonesia-dan-mea-bertarung-dengan-tangan-kosong/
Pelanggaran Struktural atas Kesejahteraan Buruh Meningkat di Tahun 2015
Bapor Lem, LBH Jakarta gelar konferensi pers untuk memaparkan Catatan Akhir Tahun 2015 (Catahu 2015) dibidang Perburuhan yang bertema “Pelanggaran Struktural atas Kesejahteraan Buruh dan Hak Berserikat di Indonesia” di Gedung LBH Jakarta, Senin (14/12). Konferensi pers ini juga digelar guna merespon peningkatan jumlah pencari keadilan dan pengaduan untuk kasus hubungan kerja, pelanggaran normatif, dan juga pelanggaran hak berserikat.
LBH Jakarta mencatat pengaduan hubungan kerja meningkat dari 115 pengaduan (2014) menjadi 126 pengaduan (2015), pengaduan hak normatif meningkat dari 71 pengaduan (2014) menjadi 72 pengaduan (2015), sedangkan pelanggaran hak berserikat di tahun 2014 dan 2015 tetap 7 pengaduan namun mengalami peningkatan jumlah pencari keadilan, dimana tahun 2014 terdapat 173 pencari keadilan dan di tahun 2015 sebanyak 1.847 pencari keadilan.
Pengaduan-pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta menjadi refleksi bagaimana kondisi perburuhan yang umumnya dialami buruh. Dari pola-pola pelanggaran yang terjadi, tahun 2015 menunjukkan intervensi negara yang menyebabkan pelanggaran hak-hak buruh seperti keterlibatan Kepolisian-TNI dalam mengamankan pabrik, tindakan represif kepolisian dalam menangani aksi buruh, penangkapan 22 buruh, 1 orang mahasiswa, dan 2 orang pekerja bantuan hukum saat aksi menolak PP Pengupahan.
“Polisi semakin arogan dalam membatasi kemerdekaan berserikat yang dilakukan oleh buruh. Pendekatan yang dilakukan polisi ke buruh sangat repsresif, hal itu berbanding terbalik dengan sikap polisi ke pengusaha. Terbukti laporan buruh atas pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan buruh tidak pernah diproses secara serius sehingga menyebabkan impunitas”, demikian pernyataan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa.
Dalam janji kampanyenya, Jokowi menawarkan konsep Nawa Cita yang ingin diwujudkan Jokowi jika ia terpilih menjadi presiden. Nawa Cita tersebut memuat komitmen Jokowi untuk memberikan perlindungan kepada buruh, termasuk didalamnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja migran di luar negeri. “Komitmen Jokowi untuk mewujudkan kerja layak, hidup layak, upah layak menjadi tidak relevan dengan dampak yang diakibatkan oleh PP tersebut”, kata Alghiffari
Perlu komitmen serius dari Pemerintah Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan perburuhan yang dituangkan dalam nawa cita. Buruh memerlukan jaring pengaman, baik dalam bentuk jaminan sosial dan penegakan hukum, di tengah situasi pasar kerja fleksibel dan pasar bebas yang sudah diberlakukan. Tanpa komitmen yang serius dari pemerintah, buruh akan terus menerus menjadi korban kebijakan dan perilaku aparat yang diskriminatif dan eksploitatif. (Golda)
Sumber ; http://www.bantuanhukum.or.id/web/catatan-akhir-tahun-2015-pelanggaran-struktural-atas-kesejahteraan-buruh-dan-hak-berserikat-di-indonesia/