Tolak Perpres 20 Tahun 2018 Tentang TKA
FSP LEM SPSI menentang keras keputusan Presiden Joko Widodo yang secara tergesa-gesa menandatangani Perpres 20/ 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Pasal-pasal dalam
Perpres selain mencederai SDM nasional juga melanggar UU Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan.
FSP mengajak masyarakat untuk menggugat Perpres rersebut kepada MK. Alasan pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang meminta masyarakat tidak perlu khawatir sangat gegabah dan tidak berdasar. Dengan gamblang Perpres tersebut pada prinsipnya sangat mempermudah izin bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Dengan Perpres tersebut praktis tidak ada lagi peraturan bagi TKA.
Perpres ini bisa diibartkan sebagai buldoser asing terhadap dunia ketenagakerjaan di Tanah Air. Tanggul yang selamai ini untuk mencegah banjir TKA kini sudah dijebol oleh buldoser. Semua pasal-
pasal Perpres ibarat menggelar karpet merah bagi warga asing untuk bekerja mengeruk uang di Tanah
Air. Sangat jelas betapa rezim skrng sangat memanjakan pengusaha dan pekerja asing. PerpresTKA sangat merugikan kaum buruh saat ini dan generasi mendatang. Hanya satu kata, Perpres harus dicabut karena beberapa pasalnya sangat merugikan pekerja Indonesia.
Beberapa pasal yang sangat merugikan yakni :
- Ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan TKA) dan izin amat sangat longgar, seperti yang tercantum dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018 pasal 9 yang berbunyi ; Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan izin untuk mempekerjakan TKA. Padahal dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2014, RPTKA bukanlah ijin sebagaimana dalam pasal 8 yang berbunyi ; Setiap Pemberi Kerja TKA wajib memiliki IMTA (ijin menggunakan tenaga asing) yang diterbitkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Mestinya RPTKA harus dinilai oleh lembaga profesi, kampus dan lembaga yang selama ini bertugas melakukan audit teknologi yang terkait dengan pengembangan lapangan kerja bagi SDM lokal.
- Ketentuan tentang TKI Pendamping TKA juga sangat longgar dan tidak jelas/kabur kriterianya. Kewajiban alih teknologi dan alih keahlian tidak ada target dan ukurannya. Bagaimana mungkin TKA dari Cina yang selama ini notabene buruh kasar proyek infrastruktur bisa alih teknologi. Mestinya ada test khusus terhadap TKA untuk mengukur keahliannya.
- Pasal ketentuan tentang pendidikan TKA dan TKI pendamping juga tidak jelas ukurannya. Ketentuan tentang sistem pengawasan dan pelaporan TKA sangat lemah. Pasal tentang sangsi sangat ringan.
- FSP LEM SPSI menyatakan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU 13/ 2003 diwajibkan ada Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) tetapi dalam Perpres 20/2018 tersebut dibuat kelonggaran bagi beberapa jabatan yang tidak dibutuhkan PRTKA seperti jabatan komisaris dan direksi, serta pekerja yang dibutuhkan pemerintah. Pasal ini jelas bertentangan dengan UU. Mestinya pemerintah mematuhi Pasal 42 sampai 49 UU 13 / 2003.
- Seharusnya pembuatan Perpres melibatkan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) dan pihak pengusaha dalam hal ini Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan stake-holder lainnya.
- Keberadaan Pasal 6 ayat (1) berpotensi menutup ruang pekerja profesional Indonesia untuk menduduki jabatan di perusahaan karena TKA boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan.
- Pasal 9 Perpres tersebut yang menyatakan pengesahan RPTKA adalah izin menggunakan TKA adalah sebuah kekeliruan karena RPTKA itu beda dengan izin TKA yang di Perpres 72 Tahun 2014 disebut Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).Pepres 20 ini menghapuskan IMTA padahal rencana kerja dan izin adalah hal yng berbeda.
- Terkait Pasal 10 Perpres 20/2018 yang menyatakan tidak dibutuhkan RPTKA bagi komisaris dan direksi serta pekerja-pekerja yang dibutuhkan pemerintah (pasal 10 ayat 3) maka sudah dipastikan TKA seperti komisaris, direksi dan pekerja-pekerja yang dibutuhkan tidak perlu izin lagi. Mereka kerja tanpa izin lagi dan akibatnya berpotensi menurunkan pemasukan kompensasi TKA dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 100 US dolar per orang per bulan bisa sirna. Sehingga PNBP bisa menurun.
- Pada Perpres 72 Tahun 2014 masih ada RPTKA dan IMTKA tetapi di Perpres 20/2018 ini IMTA hilang. Melanggar ketentuan UU 13 / 2003 yang menyatakan ada RPTKA dan IMTKA. Sekedar catatan RPTKA dan IMTKA itu beda dan diwajibkan ada di UU 13 / 2003.
- Dengan adanya vitas yang menjadi pemberian Itas maka izin TKA dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam hal ini Ditjen Imigrasi, dan PNBP-nya masuk ke Kemkumham. Padahal di aturan UU 13 / 2003 yang memberikan izin TKA itu Kemenaker.
Perpres ini menimbulkan paradoks. Karena selama ini perluasan lapangan kerja yang sering dinyatakan oleh pemerintah merupakan jenis profesi yang rentan dan kurang memiliki prospek dan daya saing global alias usang. Perlu mengembangkan jenis profesi yang berdaya saing regional dan global. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu mengembangkan portofolio profesi. Jenis-jenis profesi yang menjadi kebutuhan dunia dimasa depan belum dipersiapkan secara baik. Sehingga serbuan TKA bisa diatasi.
Mestinya tidak boleh lagi terjadi penyimpangan kompetensi TKA, sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja dicaplok oleh para TKA. Hal itu terlihat pada megaproyek infrastruktur ketenagalistrikan. Hal serupa juga terjadi di proyek infrastruktur jalan tol, kereta cepat, bendungan, telekomunikasi, transportasi, dan pertambangan. Ironisnya, peran tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam
berbagai proyek infrastruktur hanya sebatas jenis pekerjaan kasar seperti sopir, satpam, cleaning service dan tenaga kasar non teknis lainnya.
Belum lagi ancaman tentang Revolusi Industri 4.0 yang sedang ramai diperbincangkan. Pada prinsipnya era tersebut ditandai dengan usaha atau langkah untuk mewujudkan smart factories yakni pabrik-pabrik dan kawasan industri yang memiliki kecerdasan tinggi.
Dalam Industri 4.0 proses bisnis dan teknik bergerak sangat dinamis sehingga memungkinkan terjadinya perubahan proses, bahkan hingga saat-saat akhir sebuah proses produksi. Era diatas menghasilkan cara-cara baru untuk menciptakan nilai dan model bisnis baru. Hal ini akan menumbuhkan usaha rintisan dan UMKM untuk menyediakan layanan di sisi hilir produksi.
Organisasi buruh sedang menelaah kedepan seperti apa dunia industri pada masa yang akan datang sehingga bisa mendapatkan pemahaman (insight) yang baik. Kemudian persiapan seperti apa yang harus dimiliki oleh segenap kaum buruh untuk menghadapi.
Kawasan industri atau pabrik tempat buruh bekerja sebagian besar akan bertransformasi menjadi pabrik cerdas. World Economic Forum memperkirakan sedikitnya 35 persen keahlian yang dianggap penting saat ini kelak akan berubah total.
Datangnya era Industri 4.0 menyebabkan sistem ketenagakerjaan bisa dijungkirbalikan, kompetensi makin kompleks, sistem kerja dan beban pekerjaan akan berubah, sistem pengupahan semakin bersifat individual yang mengedepankan prinsip outsourcing.
Para buruh senior atau buruh lansia yang sudah tidak berdaya lagi mengikuti transformasi, harus dicarikan solusi yang manusiawi. Di negara maju, organisasi serikat pekerja dan buruh mulai merumuskan kembali kebijakan dan program jaminan sosial bagi pekerja tua yang tidak mampu lagi beradaptasi dengan zaman. Yakni melalui skema pemberian tunjangan hari tua yang lebih baik dari yang sudah ada.
Tidak dapat dimungkiri bahwa penerapan Industri 4.0 bisa menjadi ancaman pengangguran massal di Indonesia masa depan. Karena struktur ketenagakerjaan hingga saat ini masih didominasi oleh pekerja dengan latar belakang lulusan SD dan SMP.
Oleh karena itu, agar permasalahan pengangguran dapat teratasi, kami dari DPP FSP LEM SPSI meminta kepada Bapak Presiden untuk segera mencabut kembali Perpres 20 Tahun 2018.
Tolak PP78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan
Untuk mencegah ketimpangan yang semakin tinggi, FSP LEM SPSI meyakini perlunya peningkatan pendapatan pekerja/buruh dari upah yang diterima di perusahaan dengan disertai adanya batasan yang tidak terlalu tinggi antara pendapatan terendah dan tertinggi pekerja termasuk manajemen di suatu perusahaan. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi, untuk membuka investasi yang seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru berdampak pada penurunan daya beli pekerja/buruh sehingga menyebabkan tertekannya pertumbuhan ekonomi secara makro.
Argumentasi bahwa PP Pengupahan merugikan kaum pekerja/buruh secara umum dilandaskan
pada hal berikut:
1. Secara formil,
Proses pembuatan PP Pengupahan, secara formil cacat hukum karena dalam pembahasannya tidak melibatkan stake holder terkait. Dengan tidak ada serap aspirasi perihal muatan PP tersebut yang dilakukan oleh Pemerintah maka telah melanggar pasal 96 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa masyarakat atau pihak terkait dengan peraturan Perundang-undangan dapat memberikan masukan baik secara lisan atau tertulis dengan syarat draft peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini Rancangan PP Pengupahan. Namun demikian yang terjadi pemerintah tebal telinga dan cenderung menutup akses publik untuk mengkritisi ataupun sekedar memberikan input konstruktif, pada fakatanya draft RPP Pengupahan tidak pernah dipublikasikan secara resmi oleh pemerintah yang dapat diakses publik, semisal melalui website pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah dapat dikatakan telah melanggar salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2011 yakni Asas Keterbukaan. Asas hukum memang berbeda dengan norma hukum, namun pelaksanaan asas menjadi begitu penting untuk mencapai tujuan dari norma hukum yang dipositifkan. Mengutip pemikir asal Jerman, Karl Larenz tentang azas, (azas adalah suatu gagasan yang membimbing dalam Pengaturan suatu hukum) artinya ketentuan norma yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan haruslah mengikuti panduan yang ada dalam suatu asas hukum. Satjipto Rahardjo bahkan menegaskan bahwa asas adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi peraturan hukum (ratio legis) dan pada akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asas- asas hukum.
Dengan tidak adanya keterbukaan berupa dialog ataupun membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap PP Pengupahan, maka pemerintah telah menyalahi salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Secara Substansi.
PP Pengupahan secara substansi melanggar ketentuan yang terdapat di Undang-Undang No 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Setiap Peraturan Pemerintah berisi hanya untuk menjalankan suatu Undang-undang yang secara hierarkis berada diatas Peraturan Pemerintah. Maknanya isi suatu PP harus tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang mengaturnya.
Sebagai peraturan yang berfungsi menjadi penerjemah teknis suatu Undang-undang, harusnya PP Pengupahan ini berisi segala hal yang masih belum jelas diatur oleh UU Ketenagakerjaan. ataupun juga jika terjadi perubahan nilai norma akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan sebatas norma terkait pengupahan. Namun pada faktanya, PP Pengupahan tidak mengatur sama segala berbagai norma yang dbutuhkan.
PP Pengupahan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 serta UU Ketenagakerjaan yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. PP Pengupahan memuat formula kenaikan upah minimum hanya ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, hal tersebut telah mengakibatkan setidaknya penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tahunan, membatasi kenaikan upah minimum, dan telah mereduksi kewenangan Gubernur serta peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam penetapan upah minimum.
Dengan dalil meningkatkan iklim investasi, Pemerintah berusaha mereduksi perlindungan dan kesejahteraan menjadi seminimal mungkin bagi pekerja/buruh, hal ini yang kami sebut dengan kebijakan upah murah. Sehingga memberikan peluang bagi pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh tidak manusiawi.
FSP LEM SPSI meyakini bahwa pada dasarnya pengaturan kenaikan upah minimum harus ditunjukkan dengan kenaikan upah pekerja/buruh secara riil, sebagai faktor utama untuk meningkatkan daya beli sehingga akan berdampak positif terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Lebih dari itu, Panja Pengupahan Komisi IX DPR RI telah merekomendasikan kepada Pemerintah agar PP No. 78 Tahun 2015 agar dicabut keberlakuannya. Beberapa point rekomendasi Panja Pengupahan DPR RI lainnya yakni sebagai berikut
- Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang baru dengan formula baru yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk tidak meninggalkan kewenangan daerah (tripartit), hak berunding (bipartit), penetapan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan penentuan inflasi daerah per satu tahun sekali.
- Komisi IX DPR RI meminta pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang baru dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan
Berbagai landasan pemikiran tersebut FSP LEM SPSI menilai telah terjadi dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) dalam hal ini Presiden Republik Indonesia karena tidak menjalankan amanat UU Ketenagakerjaan dan konstitusi, khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) serta UU Ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan, pemenuhan kebutuhan hidup dan imbalan yang layak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, FSP LEM SPSI menuntut Presiden Republik Indonesia untuk segera:
- Mencabut PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Ketenagakerjaan guna mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kaum pekerja/buruh.
- Melibatkan pekerja/buruh dalam setiap kebijakan perburuhan yang akan dikeluarkan.
- Membuat Undang-undang Pengupahan Nasional
Tolak Revisi UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Mengapa harus menolak Revisi UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hal ini disebabkan karena draft yang beredar selama ini walaupun masih belum resmi, terlihat keinginan untuk mendegradasi beberapa pasal yang tidak menguntungkan buruh. Penolakan ini sebagai langkah antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan hal tersebut, sehingga kita dapat melihat bahwa pembuatan draft revisi benar-benar mengedepankan revisi yang saling menguntungkan, dan tidak ada dusta diantara kita.
Revisi UU 13Tahun 2003 masih banyak kontroversi dan kepentingan para pihak yang berpotensi terjadinya tarik-menarik kepentingan yang ujungnya akan menghasilkan revisi UU yang akan merugikan pihak buruh yang masih lemah pengaruhnya baik di pemerintahan maupun di parlemen.
Berikut salah satu contoh draft usulan Apindo yang beredar dikalangan buruh tentang pasal-pasal UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yg rencananya akan direvisi di antaranya adalah sebagai berikut :
- Pasal 35 ayat 3; Di hapus perlindungan yang mencangkup kesejahteraan, keselamatan,dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja
- Pasal 59; Menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan Sistem kontrak menjadi bebas bersyarat dan tidak lagi mengatur jenis pekerjaan, waktu kontrak pun dirubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
- Pasal 64; Labour market flexibility, dengan praktek outsourching yang tanpa memberikan batas jenis pekerjaannya, sehingga berpotensi menjadi buruh bebas diperjual belikan layaknya budak.
- Pasal 79 ayat 2; Di hapus, istirahat panjang bagi pekerja yg telah memiliki masa kerja 6 tahun secara berturut-turut.
- Penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan diganti menjadi upah minimum memperhatikan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal.
- Pasal 92; Di hapus Struktur Skala Upah hanya berdasarkan golongan dan jabatan saja sedangkan untuk masa kerja,kompetensi dan pendidikan.
- Pasal 100; Di hapus Fasilitas Kesejahteraan seperti KB ,TPA, perumahan pekerja, fasilitas ibadah, rekreasi, olahraga, kantin, dan fasilitas kesehatan.
- Mogok Kerja yang tidak memenuhi ketentuan/tidak sah dapat di PHK tanpa pesangon dan mogo k kerja yang dapat perusahaan rugi maka pekerja/buruh dapat dituntut ganti rugi (pasal 142).
- Upah selama menjalani masa skorsing karena diduga melakukan kesalahan berat yang sebelumnya tetap wajib di bayarkan penuh, di dalam revisi di ganti pemberi kerja tidak wajib membayar upah (pasal 158 ayat 4) skorsing karena untuk alasan pembinaan kesalahan ringan, berhak memperoleh upah sebesar 50% dari yang biasa diterima (pasal 161A).
- Pasal 156; Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapatkan upah lebih rendah atau sama dengan 1 kali PTKP upah dibawah 1 juta, sedangkan upah diatas 1 juta tidak mendapatkan pesangon, karena di anggap bukan buruh (pasal 156 ayat 2). Pesangon bagi buruh yang di PHK sebelumnya ditentukan 9 bulan upah sekarang ditentukanmax 7 bulan upah. (Pasal 156 ayat 3) perhitungan uang penghargaan masa kerja kelipatannya yg semula 3 tahun menjadi 5 tahun Dan (Pasal 156 ayat 4) penggantian perumahan sebesar 10% bagi pekerja/buruh yang mendapatkan fasilitas atau tunjangan perumahan, serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja yang di PHK.
- Pengusaha yang mem PHK buruh karena alasan efisiensi maka buruh hanya berhak mendapat uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali PMTK saja, sedangkan sebelumnya 2 kali PMTK.
- Pasal 164 A; Perusahaan yang mem PHK buruh karena keadaan force marjeur yang tidak memungkinkan perusahaan melakukan pembayaran, maka pemberi kerja dapat untuk tidak memberi pesangon, yg sebelumnya pesangon diberikan 1 kali PMTK.
- Pasal 46; Tenaga kerja asing bebas menduduki jabatan apapun diperusahaan dan bersaing dengan tenaga kerja Indonesia di pasar kerja. Sebelumnya : tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan atau jabatan tertentu (diatur di kepmen).
- Pasal 167; Dihapus Uang kompensasi pensiun.
- Pasal 158; yang sudah dibatalkan mahkamah konstitusi dan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap ,oleh rezim ini dihidupkan kembali dengan mengubah redaksi buruh yang terkena skorsing, pemberi kerja tidak wajib memberi upah.
Walaupun draft tersebut diatas belum tentu benar secara resmi dikeluarkan dari Apindo, tetapi tentu saja bagi kalangan buruh sangat mengkhawatirkan apabila hal tersebut benar terjadi. Jadi langkah antisipasi buruh adalah menolak revisi UU 13 Tahun 2003 hingga kepercayaan para pemangku kebijakan dapat dipercaya akan membuat suatu UU tentang ketenagakerjaan yang mencerminkan keadilan bagi buruh dan pengusaha. Bagi kami bukan masalah apabila mau ada revisi atau di buat UU
baru tetapi masalahnya adalah bagaimana kejujuran, keadilan, keseimbangan, yang mana sampai saat ini buruh belum merasakan hal tersebut, seperti yang kami kutip dari pernyataan Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009 -2014, dr. Ribka Tjiptaning ;
=== Kalaupun harus ada revisi UU Ketenagakerjaan Ribka menilai harus ada persiapan yang matang, khususnya dari pihak pekerja karena proses pembentukan UU di DPR sangat pelik. Ribka juga berpendapat proses revisi UU Ketenagakerjaan akan menimbulkan polemik karena kepentingan antara pekerja dan pengusaha sulit mencapai titik yang ideal.
“Apalagi sistemnya kapitalisme, susah, nggak bakalan ketemu. Buruh menuntut sekedar kesejahteraan, pengusaha maunya untung besar dengan modal kecil. Itu yang tidak pernah clear,” pungkasnya ===
(Revisi UU 13 Tentang Ketenagakerjaan Penuh Polemik, By Dip4news.Com · Published October 17, 2017 ·Updated October 17, 2017, https://dip4news.com/2017/10/revisi-uu-13-tentang-ketenagakerjaan-penuh-polemik/)
DEWAN PIMPINAN PUSAT
FEDERASI SERIKAT PEKERJA LOGAM ELEKTRONIK DAN MESIN
SERIKAT PEKERJA SELURUH INDONESIA
Ir. IDRUS, MM
Sekretaris Jendral
Ir. ARIF MINARDI
Ketua Umum
*salinan dari Siaran Pers FSP LEM SPSI (usm)