Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat, Ir. Muhammad Sidarta. |
FSP LEM SPSI - 27/06/19.Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muahamad Sidarta
Meminta Presiden dan DPR RI Tidak Membuat Kebijakan Terkait Ketenegakerjaan Di Akhir Masa Jabatannya
Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta Presiden Joko Widodo merivisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUK 13/2003) yang langsung direspon oleh Presiden dengan mengundang sejumlah menterinya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI Saleh P Daulay juga berpendapat, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 memang sudah layak direvisi sejumlah ketentuan terkait tentang tenaga kerja kontrak/alih daya, PHK, Upah Minimum, Jaminan Sosial yang masih perlu sinkronisasi dan ketentuan tentang tenaga kerja asing.
Menanggapi rencana revisi UUK 13/2003 tersebut yang telah diberitakan di sejumlah media masa, Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muhamad Sidarta meminta Presiden dan DPR RI tidak membuat kebijakan terkait ketenegakerjaan di akhir masa jabatannya. Ia kawatir tidak memiliki legitimasi kuat atas kebijakan yang akan ditetapkan. Kalau mau revisi perlu dilakukan kajian mendalam dan seksama dengan melibatkan seluruh stakeholder ketenagakejaan, revisi nanti setelah terbentuk kabinet baru agar hasilnya memiliki legitimasi kuat, fair, adil dan diterima oleh semua pihak..
Sidarta mengakui, bahwa UUK 13/2003 tidak mengenakan bagi pemberi kerja maupun penerima kerja, namun setidaknya sejumlah pasal melindungi pekerja yang posisinya rentan, lebih-lebih bagi pekerja yang tidak ada serikatnya. Permintaan revisi UUK tersebut mencuat sejak 2006 terjadi hampir sepanjang waktu hingga sekarang yang selalu mendapat penolakan dari kalangan pekerja/buruh, karena serikat pekerja/serikat buruh tidak dilibatkan secara serius untuk menggunakan hak kontitusinya dalam menentukan arah dan kebijakan terkait ketenagakerjaan, seperti halnya saat menetapkan PP 78/2015 Tentang Pengupahan dan Permenaker 15/2018 Tentang Upah Minimum, pada hal ada lembaga kerja sama (LKS) tripartit daerah maupun nasional sebagai forum komunikasi dan konsultasi untuk memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
Masalah ketenagakerjaan terakhir dibahas melalui Rembug Tripartit Regional di Bali pada tanggal 8-10 Oktober 2018 untuk memetakan permasalahan implementasi regulasi ketenagakerjaan bidang hubungan industrial, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan kerja dan perlindungan pekerja/buruh terhadap bentuk-bentuk pekerjaan baru, evaluasi kebijakan pengupahan, kompensasi akibat PHK dan perluasan program jaminan sosial untuk perlindungan pekerja/buruh yang ter-PHK.di “Era Ekonomi Digital” dan dilanjutkan dengan Rembug Tripartit Nasional dengan thema “Penguatan Dialog Sosial Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0” di Jakarta 11-12 Desember 2018. Inipun pembahasannya tidak nampak serius dan mendalam. Dilihat dari thema bahasan undang-undang ketenagakerjaan tersebut terlihat jelas akan dibuat fleksibel sebagaimana disampaikan Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri. Jika ini benar posisi pekerja/buruh akan semakin rentan, jelas Sidarta.(rsy).