Hadapi MEA Indonesia Bertarung dengan Tangan Kosong

Bapor Lem, Siap atau tidak siap, implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan terjadi mulai hari pertama 2016. Namun, tidak terlihat gebrakan pemerintah dalam menghadapi pasar bebas di kawasan Asia Tenggara ini. Apakah kita memang sudah siap dan memiliki senjata ampuh atau hanya tangan kosong? 

Seperti biasa, kita akan panik saat implementasi berbagai perjanjian telah memunculkan kerugian tanpa mempersiapkan matang-matang.

Tidak banyak yang dapat diandalkan dari kehadiran kita di perdagangan lintas negara itu. Dapat dikatakan Indonesia hanya unggul di faktor jumlah penduduk (kekuatan konsumsi swasta). Dan jumlah penduduk yang besar ini bukan hanya dalam tataran ASEAN, tetapi juga pada cakupan dunia. 

Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Negara berpenduduk 250 juta jiwa ini, juga ditopang oleh penduduk berpendapatan menengah (middle-income) yang menjadi sasaran empuk produk-produk asing. Hal itu semakin menjadi-jadi, karena (biasanya) konsumen akan lebih percaya diri (prestige) saat mengenakan barang asing.

Jika harus dipreteli, banyak sisi di negara ini yang jauh tertinggal dibandingkan negara anggota ASEAN lain. 

Bagian pertama dapat diinvestigasi melalui struktur ekonomi rapuh. Dari sisi penawaran, peranan sektor padat karya (tradable) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat tinggi, sekitar 45 persen (Triwulan III-2015). Sebetulnya, angka itu turun signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, rata-rata 50 persen. 

Penurunan peranan sektor penyerapan tenaga kerja utama ini, tidak diikuti dengan migrasi tenaga kerjanya. Hingga kini, sektor tradable masih menyerap lebih dari 45 persen tenaga kerja nasional. 
Persoalannya adalah sektor tradable, terutama industri manufaktur, harus berhadapan dengan polemik ketersediaan bahan baku (dari keran impor), biaya tenaga kerja dan energi, hingga biaya tak terduga (biaya pelicin).

Sulitnya memindahkan tenaga kerja ke sektor formal disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Data Human Development Index (HDI) dari United Nation Development Program (UNDP) menetapkan indeks pembangunan manusia Indonesia pada posisi 108 dari 187 negara. Lembaga tersebut mengukurnya melalui angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, ekspektasi lama sekolah, dan pendapatan per kapita. 

Untuk ukuran Asean, kita hanya lebih baik dari Filipina (117); Timor-Leste (128); Laos (139); dan jauh tertinggal dari Singapura (9); Brunei (30); Malaysia (62); atau Thailand (89).
Membedah lebih dalam kualitas sumberdaya manusia, dapat merujuk pada kondisi tenaga kerja. 

Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2015 mewartakan bahwa lebih dari separuh dari tenaga kerja nasional berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke bawah. Sehingga, keterpurukan tingkat pendidikan memasung mereka pada sektor pertanian dan informal. Mereka terpental dari sektor-sektor padat modal (non-tradable) yang mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu. Upaya mengakses jenis pekerjaan lain pun terkendala oleh minimnya keterampilan.

Bukan hanya itu, kita juga bersusah payah untuk memerbaiki iklim investasi, agar modal asing masuk. Hanya saja, hingga kini, peringkat daya saing dan iklim investasi kita masih jauh dibandingkan negara-negara Asean. 

Bank Dunia (2015) mencatat peringkat daya saing Indonesia pada 2016 hanya berada di posisi 109, Malaysia 18, Thailand 49, Vietnam 90, dan Filipina 103. Sementara, peringkat komponen memulai bisnis (starting a business) melorot 10 level menjadi 173. 

Persoalan tidak berhenti di sini saja, saat investasi asing masuk, dana tersebut tidak bertahan lama. Dana itu kembali ke negara asal dalam bentuk pembayaran pendapatan. 

Sepanjang 2010-2014, rata-rata dana yang ke luar dan tercatat pada neraca pendapatan primer mencapai US$26,12 miliar per tahun. Pada 2015: neraca pendapatan primer telah defisit hingga US$21,44 miliar. 

Yang paling mencengangkan adalah pencetak defisit neraca pendapatan primer bersumber dari aliran dana asing melalui pendapatan investasi langsung. Komponen ini menyumbang rata-rata 64 persen terhadap total defisit pendapatan primer. Pendapatan investasi portofolio dan investasi lainnya masing-masing menyumbang 23 persen dan 8,5 persen.

Negara ini juga sangat lemah dalam pengelolaan harga. Inflasi nasional masih sangat liar, karena bergerak dari dua sisi sekaligus. Dari sisi permintaan, inflasi mengepung karena depresiasi nilai tukar terhadap Dollar Amerika Serikat. Sejak 2011 hingga saat ini, realisasi nilai tukar selalu melenceng dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Pada 2011 dan 2012, margin realisasi dan target nilai tukar masing-masing meleset sekitar Rp200 per dolar Amerika Yang paling parah terjadi pada 2013-2014 masing-masing di atas Rp2.000 per dolar Amerika, sedangkan pada 2015 diproyeksi sekitar Rp1.000 per dolar Amerika. Depresiasi nilai tukar yang terjadi terus menerus menyebabkan mahalnya biaya impor, sehingga mendorong inflasi dari sisi impor (imported inflation). 

Dari sisi penawaran (cost push inflation), inflasi terutama bergejolak dari masalah ketersediaan bahan pangan (ketahanan pangan), distribusi (infrastruktur), dan masalah harga barang-barang yang diatur pemerintah (ketahanan energi). 

Pergerakan inflasi yang begitu liar menyebabkan tingkat suku bunga tinggi. Pada November 2015, suku bunga kebijakan (policy rate) di Indonesia mencapai 7,5 persen; Malaysia 3,25 persen; Filipina 4 persen; dan Thailand 3 persen (data September 2015). 

Dampak lanjutannya terlihat dari dangkalnya peranan sektor keuangan. Rasio kredit Indonesia terhadap PDB misalnya tidak lebih dari 45 persen pada 2014. Indikator tersebut di Malaysia mencapai 140 persen, Thailand 168 persen dan Filipina 55 persen.

Berbagai hal di atas memberikan sedikit ulasan akan situasi kita dalam menghadapai MEA pada 2016. Dapat dikatakan, kelemahan yang muncul lebih banyak dibandingkan dengan kekuatan. 

Ironisnya lagi, kelemahan tersebut sangatlah fundamental, sehingga akan menentukan apakah kita menjadi kampiun atau hanya pecundang.

Sumber ; http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20151231160041-79-101461/indonesia-dan-mea-bertarung-dengan-tangan-kosong/

Komentar