TINDAKAN SEBELUM DAN SELAMA SIDANG
Oleh: Daniel TI,SH.,MH.
A.
DESKRIPSI SINGKAT
Tindakan sebelum
mengajukan gugatan atau proses persidangan berlangsung, ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan atau diteliti oleh penggugat sebelum ia benar-benar masuk
kepada proses peradilan. Pertama, adalah faktor biaya. Kedua,
Tergugat dan alamat domisili tergugat, Ketiga, Wilayah Hukum, Keempat,
Bentuk Gugatan dan kuasa.
Faktor biaya
menjadi sangat penting karena berkaitan dengan keberlangsungan proses peradilan
tersebut, tidak jarang terjadi bahwa proses peradilan menelan waktu yang cukup
panjang, sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Yang kedua teliti siapa
tergugat dan alamat domisili tergugat, hal ini penting dilakukan karena akan
berdampak kepada kekaburan identitas tergugat (obscure libel). Wilayah hukum
juga hal yang harus diteliti, apakah pengadilan yang mengadili tersebut mempunyai
kewenangan dalam menangani perkara tersebut. dan terakhir adalah bentuk gugatan
dan kuasa, hal ini menentukan apakah kita berhadapan sendiri atau memberikan
kuasa kepada orang lain untuk mewakili tindakan hukum kita selama dalam proses
peradilan.
Sedangkan
tindakan pada saat proses berlangsung, gugatan harus memenuhi syarat formal
gugatan dengan didukung fakta dan dasar hukum yang kuat. ada 3 akibat hukum
apabila tidak memiliki dasar gugatan yang kuat untuk diajukan. Pertama,
dinyatakan tidak diterima oleh hakim atau N.O(niet ontvankelijk verkloard),
kedua, kekaburan gugatan (Obscuur Libel), ketiga, penolakan gugatan.
Agar supaya
gugatan tersebut diterima maka harus memenuhi syarat formal surat gugatan
disertai dengan fakta dan hukum yang kuat.
B.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
1.
Penggurus/
Anggota dapat menjelaskan hal-hal apa saja yang harus diteliti sebelum proses
persidangan.
2.
Penggurus/
Anggota dapat menjelaskan teknis membuat surat gugatan dan permohonan.
C.
ISI POKOK
BAHASAN
1. TINDAKAN
SEBELUM SIDANG
Hal- hal yang
harus diketahui oleh penggugat sebelum melalui tahap proses persidangan adalah pertama
faktor biaya, hal ini sesuai dengan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No 4
Tahun 2004 jo. 121 ayat 4, 182,183 HIR jo. 145 ayat 4, 192-194 Rbg. Biaya yang
dimaksud adalah meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk pemanggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Diluar biaya tersebut apabila
menggunakan bantuan seorang pengacara, maka harus pula mengeluarkan biaya yang
telah disepakati antara pengacara dan klien yang bersangkutan. Pengadilan
Negeri Baturaja dengan putusannya tanggal 6 Juni 1971 No 6/1971/Pdt
menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah perskot biaya
perkaranya, sehingga penggugat dianggap tidak lagi meneruskan gugatannya. (Law
Report I 1973). Bagi masyarakat yang tidak mampu, dapat mengajukan perkara
secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari
pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang
dibuat oleh polisi (pasal 237 HIR,273Rbg).
Faktor kedua adalah
siapakah pihak tergugat? apakah perseorangan person recht, apakah badan
hukum? atau bukan badan hukum? Hal ini penting untuk membedakan antara tergugat
perseorangan dan badan hukum, apabila tergugat adalah perseorangan sangat mudah
menentukan dengan melihat pada identitas dari perseorangan tersebut, tetapi
apabila tergugatnya adalah badan hukum, harus diteliti terlebih dahulu siapakah
dewan direksi, atau orang yang bertindak keluar dalam perusahaan tersebut.
Terkait dengan
hal tersebut ada adagium yang menyebutkan bahwa legitima persona standi in judicio, pada asasnya setiap orang
yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau
membelanya, berwenang untuk bertindak selaku pihak, baik selaku “penggugat”
maupun selaku “tergugat”. ada syarat yang harus diperhatikan sebagai kapasitas
sebagai penggugat dan tergugat yakni cakap melakukan perbuatan hukum (pasal
1329 BW)
1. Dewasa (pasal 47 UU no.1 tahun
1974)
laki-laki
18 tahun, wanita 16 tahu, atau sudah pernah menikah walau belum 18 tahun atau
16 tahun. Perwalian,dilakukan oleh orang lain (bukan orang tua)
2. Tidak
dalam pengampuan
- Penggugat dan Tergugat, yang
mempunyai kepentingan
Pihak
materiil adalah penggugat dan tergugat, Pihak formil: yang beracara di
pengadilan.
-
Pihak
belum dewasa (pasal 47 dan 50 UU no 1 tahun 1974), yang dimaksud dengan pihak materiil:
anak tersebut, sedangkan pihak formil adalah orang tua/ wali.
-
Apabila badan hukum yang dimaksud dengan pihak
Materiil adalah badan hukum, sedangkan pihak formil adalah pengurus.
3. Pengacara
: bukan
pihak, karena hanya merupakan pihak yang diberi kuasa .
untuk lebih jelasnya mengenai para pihak dalam beracara penulis menjelaskan dalam tabel berikut ini:

Keempat adalah Bentuk
gugatan. Bentuk gugatan apakah berbentuk tertulis atau dengan lisan.
Apabila gugatan berbentuk tulisan maka harus memenuhi anatomi atau syarat
formalitas yang harus ada di dalam gugatan. Sedangkan gugatan berbentuk lisan
sebagaimana terdapat di dalam pasal 120 HIR jo. Pasal 144 Rbg sebagaimana
berikut:
a. Diajukan dan
dibuat berdasarkan pasal 120 HIR jo. 144 Rbg.
b. Pencari
keadilan orang yang buta huruf yang dinyatakan dalam gugatan lisan.
c. Keterangan
penggugat atau pemohon dicatat oleh Ketua/ hakim yang ditunjuk.
d. Format dan isi
gugatan lisan sama dengan gugatan tertulis.
e. Setelah
dibacakan dan disetujui isinya oleh penggugat/ pemohon, kemudian ditandatangani
oleh Ketua/Hakim yang ditunjuk.
Kelima adalah Kuasa, Sedangkan yang dimaksud
dengan kuasa adalah Persetujuan dimana seseorang bertindak sebagai kuasa dan
pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa
melakukan perbuatan atau tindakan (pasal 1792KUHPerdata) berkenaan dengan hal
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa surat kuasa khusus (1). Diberikan
kepada orang tertentu, (2) Melaksanakan perbuatan tertentu,(3) Lawan orang
tertentu (4) Mengenai hal tertentu,(5) Di pengadilan tertentu. Dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi acapkali ternyata baik dalam perkara perdata
dan pidana surat kuasa yang diberikan oleh orang yang berkepentingan tidak
memenuhi syarat-syarat. Sesuai dengan dengan isi Surat Edaran Mahkamah Agung No
2 Tahun 1959 tentang surat kuasa khusus. Berdasarkan pasal 7 ayat (..)
Undang-Undang no 20 Tahun 1947 (untuk daerah Jawa dan Madura) dan pasal 7 Undang-undang
darurat 1951 no 1 (untuk seluruh Indonesia), permohonan banding dapat diajukan
oleh pihak-pihak yang berperkara dalam perkara perdata maupun pidana atau oleh
seorang wakil yang disengaja, jadi secara khusus, diberi kuasa untuk memajukan
permohonan, begitupun mengenai permohonan kasasi, pasal 113 ayat (1) dan 122
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, akan tetapi adakalanya pembuatan surat
kuasa bersifat umum, yakni dengan hanya menggunakan kata-kata yang kurang lebih
berbunyi sebagaimana berikut:
” memberi kuasa kepada x untuk mewakili A menghadap di semua
sidang-sidang pengadilan, mengadakan perlawanan, memajukan permohonan banding,
dan permohonan kasasi, dan sebagainya tidak diperkenankan”. Seharusnya
didadalam surat kuasa yang menurut kehendak pembuat undang-undang harus
bersifat khusus itu dicantumkan bahwa surat kuasa itu hanya akan digunakan.
2.
GUGATAN DAN
PERMOHONAN
2.1
Definisi Gugatan
Cara
mengajukan gugatan bisa tertulisan dan bisa secara lisan. Tertulis dengan surat
permintaan yang ditanda tangani penggugat/ kuasanya suratpermintaan. maksudnya
gugatan kuasa khusus (pasal 123 HIR) Dasar hukum gugatan diatur dalam pasal 118
dan 120 HIR; pasal 142, 144.
Defini dari gugatan adalah suatu cara untuk mendapatkan hak yang
dikuasai orang lain atau yang dilanggar orang lain, melalui pengadilan. (Jeremias1993:3).
Senada dengan definisi Jeremias, Rachmi mengatakan bahwa gugatan adalah surat
yg dibuat oleh pihak yg merasa hak/kepentingan hukum dilanggar atau dirugikan
(penggugat)oleh tergugat, yg ditujukan ke Pengadilan dan disertai permintaan
memeriksa dan memutus agar tergugat dipaksa memulihkan hak penggugat yang
dilanggarnya serta memenuhi kewajiban kewajiban lainnya akibat dari
dilanggarnya hak penggugat tersebut (Rachmi 2012: slide no 1). Hal yang
terpenting untuk diketahui, bahwa gugatan merupakan tuntutan hak yang
mengandung sengketa. Inilah yang membedakan dengan permohonan. Meskipun
keduanya dilakukan dimuka persidangan dengan menggunakan prosedur hukum acara
perdata yang sama, namun keduanya memiliki perbedaan yang tegas. Untuk lebih
jelasnya akan di sampaikan sebagaimana berikut:
Tabel 1: Perbedaan Antara gugatan dan permohonan (Badriyah Harun, 2009:18)
2.2
SYARAT FORMAL GUGATAN
1.Ditujukan secara tertulis dalam bentuk suatu surat gugatan
2.Ditujukan kepada ketua pengadilan setempat, yakni ketua pengadilan yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan
3.Memuat keterangan/identifikasi yang lengkap, baik mengenai penggugat
maupun tergugat
4.Memuat dasar-dasar/ alasan-alasan tuntutan (fundamental potendi/posita)
serta petendi/tuntutan (petitum)nya memenuhi syarat-syarat:
a. Jelas dan
terang maksudnya
b. Rasional dan
masuk akal
c. Disertai/dilandasi dengan fakta-fakta bukti-bukti perkara yang asli/autentik
d. Dilandasi dengan kejadian-kejadian materialnya yang lengkap dan inheren
e. Dilandasi
dengan dasar-dasar hukum yang rasional
f. Berisi tuntutan
yang wajar/layak: tidak mengandung pemerasan
5. Bermaterai
6. Bertandatangan Penggugat/kuasanya (Khamimuddin 2010:4)
2.3 SYARAT MATERIIL
GUGATAN
1.Berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya (dapat dibuktikan kebenarannya)
2.Menyebutkan/memaparkan/menggambarkan uraian yang benar mengenai
fakta-fakta kejadian materiil.
3.Pengajuan gugatan dilandasi dengan akal sehat atau logika kewajaran yang
patut berdasarkan kerugian yang diderita oleh penggugat.
2.4 TEORI CARA
MEMBUAT GUGATAN
Pertama, Teori Subtantierings Theorie: teori menyatakan
bahwa gugatan itu harulah diuraikan sejarah peristiwanya, hubungan kerjanya.
Atau dalam kata lain gugatan selain harus menyebutkan peristiwa-peristiwa hukum
yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang
mendahului peristiwa hukum tersebut. Sedangkan yang kedua adalah teori Individualiseringts
theorie. Teori menyatakan bahwa gugatan cukup menunjukkan hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan tanpa harus disebutkan sejarahnya (Mr. Tresna,
1976;160). Senada dengan hal tersebut Sudikno Mertokusumo, 1979:31-32)
menyebutkan bahwa teori ini cukup disebut peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar
gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan
menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. sejarah terjadinya atau
sejarah adanya pemilikan hak milik atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam
gugatan karena hal itu dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti
seperlunya. Lebih lanjut Jeremias mengatakan ada 10 prinsip pokok membuat
gugatan:
1.
Cara berpikir
Distinktif
Suatu ciri khusus seorang ahli hukum haruslah mempunyai kemampuan
berpikir distinktif, tepat, teliti dan terkristalisasi. Selain itu dituntut
pula ketajaman dan kelihaian dalam menangani suatu perkara (schuyt, law as
communication, diterjemahkan oleh Nico Ngani, hukum sebagai alat komonikas,
1988:8). Berpikir distinktif dalam gugatan sangatlah penting, kata distinktif
berasal dari bahasa Inggris artinya jelas, terang, nyata. Berbeda dengan (John
M. Echols dan Hasan Sadily, 1990:189). Berpikir distincktif maksudnya adalah
berpikir secara terang, jelas, nyata, tidak mengacaukan hal yang satu dengan
yang lainnya, dan tidak membingungkan para pembacanya. Contoh berpikir secara
distinktif dalam membuat gugatan sebagaimana berikut:
A Misalnya menggugat B karena si B menempati
tanahnya si A secara melawan huku. Dalam gugatannya, A harus jelas menyatakan
tanahnya terletak dimana, luasnya berapa, persil berapa, serta batas-batasnya
dimana. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal
17 April 1979 No 1149/1979.
2.
Dasar Hukum
Dalam membuat surat gugatan, bukan asal membuat atau menyusun
gugatan hanya sekedar untuk mencari perkara. Membuat gugatan kepada seseorang
harus diketahui terlebih dahulu dasar hukumnya. Dasar hukum ini berupa
peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktek peradilan atau
kebiasaan. Gugatan tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim.
Sebab, dalam memutus perkara secara baik hakim berpegang kepada tigal hal yaitu:
kepastian hukum, manfaat dan keadilan (Sudikno Mertokusumo, 1986:130)
3.
Klasifikasi
Hukum
Yang dimaksud dengan klasifikasi hukum adalah kemampuan para pihak
atau ahli hukum dalam menggolongkan atau mengkatagorikan klasifikasi hukum
tersebut. apakah suatu gugatan itu dapat
diklasifikasikan sebagai gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan wanprestasi,
atau dapat digolongkan menjadi peristiwa perdata, pidana atau menjadi obyek Pengadilan
Tata Usaha Negara.
4.
Penguasaan
Hukum Materiil
Hukum acara perdata (hukum formal) mempunyai tujuan untuk
menegakkan hukum materiil. Oleh karena itu dalam membuat gugatan, penguasaan
hukum materiil sangat menentukan untuk dinyatakan dikabulkan atau ditolaknya
suatu gugatan. Sebab yang diperdebatkan jika terjadi gugat menggugat di
pengadilan adalah tentang hukum materiilnya.
5.
Bahasan
Indonesia (membahasakannya)
Dalam membuat gugatan faktor penggunaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar ini sangat menentukan sukses tidaknya suatu gugatan. Sebab kalau
bahasa Indonesianya kacau, orang yang akan membacanya tidak mudah mengerti apa
maksud kita dalam gugatan tersebut. penggunaan bahasa Indonesia ini penting. Sebab
bahasa melambangkan jalan pikiran seseorang. Apalagi bahasa tertulis, yang
seharusnya tunduk kepada hukum bahasa, hukum logika dan hukum ilmu hukum itu
sendiri
6.
Posita harus sinkron
dengan petitum
Posita artinya ceritera tentang duduknya perkara atau masalah.
Dalam menyusun posita yang baik harus tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah yang
sistematik logik dan obyektif. Posita yang tidak sistematis, tidak runtut dan
bertentangan dengan satu sama lainnya membuat gugatan dikualifikasikan sebagai
gugatan yang obscuur libel. Sedangkan
petitum adalah tuntutan yang harus diminta atau dimohonkan kepada hakim.
Petitum ini harus jelas dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau
bertentangan dengan posita gugatan. Gugatan yang positanya bertentangan dengan
petitum membuat gugatan kabur (Sudikno Mertokusomo, 1988:36). Posita harus singkron
dengan petitum. Maksudnya adalah apabila A menyatakan dalam posita gugatannya
bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah miliknya, maka dalam petitum dia harus
mengatakan: menyatakan menurut hukum bahwa tanah sengketa adalah milik
penggugat.
7.
Berpikir taktis
Berpikir taktis maksudnya adalah berhubungan dengan
kelihaian seseorang pengacara atau ahli hukum untuk menggali data dari kliennya
dan bagaimana menuangkannya dalam gugatan. tidak semua yang diceritakan oleh
kliennya harus diungkapkan dalam gugatan. walaupun ceritera klien tersebut
secara logika formal benar, namun belum tentu benar menurut logika hukum.
Misalnya seseorang klien menceritakan pada advocatnya bahwa tanahnya ditempati
seseorang yang kaya tanpa bayar sewa, hanya disuruh menempati saja sejak tahun
1950 an. Kalau advocatnya tidak berpikir taktis, maka ceritera kliennya yang
benar itu akan dipercayainya dan advocate tersebut akan langsung membuat
gugatan dengan title gugatan pengosongan
karena penempatan tanpa hak. Dan setelah masuk dalam persidangan orang
menempati rumah berdalih bahwa dia menempati tanah tersebut sejak tahun 1950 an
karena ada hubungan sewa menyewa. Tetapi jika advocat berpikir taktis maka
tidak akan membuat surat gugatan dengan titel pengosongan tetapi putus hubungan
sewa menyewa atau wanpretasi. Sebab tidak logis bahwa seseorang yang kaya hanya
menempati rumah orang tanpa sewa, walaupun kenyataannya benar-benar demikian.
8.
Ketelitian
Ketelitian dalam hal membuat surat gugatan sangat diperlukan. Sebab
salah kata, salah istilah, salah kalimat akan mengubah pengertian dan akibatnya
fatal, yaitu gugatan dinyatakan di tolak dan dinyatakan tidak dapat diterima
oleh hakim. Masalah ketelitian ini menyangkut banyak hal. Misalnya, subyek
gugatan, obyek gugatan, dasar hukum, teori-teori, penggunaan istilah-istilah,
sitematika, penyebutan tahun dan segalanya.
9.
Singkat padat
tetapi mencakup
Membuat gugatan atau jawab menjawab dalam berperkara ibarat tinju,
bukan banyak pukulan yang harus kena ditubuh lawan yang akan mempunyai nilai
tinggi, tetapi biar satu pukulan namun kena sasaran, yang nilainya tinggi.
Misalnya pada bagian dagu yang akan membuat knoct
out lawan. Membuat gugatan seharusnya singkat dan padat. Singkat maksudnya
kalimatnya terang, bahasa Indonesia dan logikanya baik dan benar. Pembuatan
gugatan yang singkat padat dilakukan denga menggolongkan ceritera klien yang
sifatnya abtrak/umum kedalam hal yang khusus atau konkrit.
10. Hukum acara perdata
Penguasaan hukum acara perdata sudah mutlak harus dikuasai seperti
dalam kompetensi pengadilan, dumana gugatan harus diajukan, bagaimana harus
mengajukan gugatan intervensi, perlawanan, eksekusi dan sebagainya. (Jeremias
Lemek,2000:10)
2.5 3
HAL YANG HARUS ADA DI DALAM GUGATAN
Pasal 8 (3) Rv: gugatan
memuat 3 hal, yaitu:
a.
Identitas para pihak
- Tergugat dan kuasanya
- Penggugat dan kuasanya
b.
Posita/ Fundamentum
petendi/ dasar gugatan
- uraian kejadian
- Penjelasan duduk perkara
- uraian hukumnya
- adanya hak atau hubungan
hukum menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan
- Dalam membuat posita ada 2
teori yaitu:
1. Substansi (menggambarkan
asal mula peristiwanya)
2. Indivilualisasi
(menggambarkan hubungan hukum)
c.
Petium => apa yang
dimnta untuk diputus
- Primer
- Sekunder
- Subsider (tuntutan
pengganti)
2.6 3 KEMUNGKINAN
NASIB GUGATAN
Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa ada 3
nasib gugatan yang pertama Tidak diterimanya gugatan atau N.O (Niet Onvankelijk
verkloard) hal ini disebabkan tidak memenuhi syarat formal misalnya gugatan
yang ditujukan kepada pengadilan yang tidak berwenang menangani gugatan untuk
mengadili, gugatan tidak sesuai dengan formalitas surat gugatan, gugatan yang
tidak memiliki dasar hukum. Terhadap hal ini masih bisa gugatan diajukan
kembali. Kedua, Diterima, dalam
artian gugatan telah memenuhi syarat formal dan materiil. Ketiga, Ditolak, dalam hal ini tidak memiliki
dasar hukum dan fakta yang kuat, atau
tidak memenuhi syarat materiil, atau dalil yang diajukan dipersidangan tidak
terbukti, gugatan tersebut tidak boleh diajukan kembali, namun ada upaya hukum
berikutnya yaitu bisa melakukan banding.
REFERENSI
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, terjemahan. M. Isa, Intermasa,
Jakarta, 1978 Abdul
Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Ahmad
Kamil dkk, Kearah Pembaharuan Hukum Acara Perdata dalam SEMA DAN PERMA, Kencana
Prenada Media Group. 2008. Chatib
Rasyid, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama,
UII Press, Yogyakarta 2009. H. Drion Bewijzen in het recht, Themis 1966 afl.5/6 Jeremias Lemek, Penuntun
Membuat Gugatan, Liberty, Yogyakarta,1993. Martiman Prodjohamidjojo, Strategi
Memenangkan Perkara, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002. Mariyadi, dkk, Hukum Acara Perdata (Panduan
Pengemban Profesi Hukum), Visipress Media, Surabaya, 2008. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan
Indonesia, PT Zaher Trading, 1997. Munir Fuady, Teori
Hukum Pembuktian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. M. Situmorang, Grosse Akta dalam Pembuktian
dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Pada
Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia Edisi Kedelapan, Liberty Yogyakarta, 2009. Retnowulan
Sutantio dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju:
Bandung, 1979. R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980. R. Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan
praktis, HIR, Rbg dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta 2010. R. Soeroso, Praktik Hukum Acara
Perdata, Tata cara dan proses persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Subekti, Hukum Acara Perdata,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman- Bina Cipta; Bandung 1989 Sudaryat, Cara Mudah Membuat Gugatan
Perdata, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010. Victor M. Situmorang, Grosse
Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1992. Surat
Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 2
Tahun 1959 tentang Surat Kuasa Khusus SEMA Nomor 1
Tahun 1971 tentang Surat Kuasa Khusus SEMA Nomor 6
Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus |
LAMPIRAN :
0 comments:
Posting Komentar