MEMAHAMI PERBEDAAN JENIS HUBUNGAN KERJA;
MENGAPA DAN UNTUK APA?
(sebuah perspektif)
Oleh: Yosep Ubaama Kolin
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003),
hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah. Mencermati pengertian tersebut, sering dikatakan bahwa suatu
perjanjian kerja harus memuat unsur adanya pekerjaan, upah dan perintah, yakni
perintah kerja. Untuk semakin memahami konteks dari pengertian tersebut, perlu
untuk memahami definisi dari pekerja/buruh, pengusaha, perjanjian kerja,
pekerjaan, upah dan perintah. Dalam konteks ini adalah dibatasi dalam
pengertian perintah kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 13/2003,
pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 UU
13/2003, adalah : (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; (b) orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Secara normatif, tidak terdapat
suatu konsep baku pengertian tentang pekerjaan dan perintah dalam UU 13/2003.
Merujuk kepada KBBI, pekerjaan dimaknai sebagai, (1) barang apa yang dilakukan
(diperbuat, dikerjakan, dsb); tugas; kewajiban; hasil pekerjaan; perbuatan; (2)
pencaharian; yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk
mendapat nafkah; (3) hal bekerjanya sesuatu. Perintah menurut KBBI dimaknai,
(1) perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; suruhan, (2) aba-aba;
komando, (3) aturan dari pihak atas yang harus dilakukan. Mencermati pemaknaan
atas kedua kata tersebut, jika dilihat dalam konteks ketenagakerjaan, dapat
disimpulkan bahwa perintah kerja adalah suatu perintah yang diberikan oleh
pengusaha kepada pekerja untuk melakukan suatu perbuatan, aktivitas, pekerjaan
atau hal tertentu untuk mencapai maksud dan tujuan dari diberikannya perintah
tersebut. Dalam relasi hubungan kerja, perintah kerja sepenuhnya datang dari
pengusaha yang ditujukan kepada pekerja. Pemahaman sederhana ini didasarkan
bahwa dalam realitas hubungan kerja, pengusaha mempunyai modal dan segala
sarana prasarana untuk melakukan suatu hal pekerjaan tertentu dan pekerja
menjual waktu, tenaga dan pikirannya untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
dengan menggunakan segala sarana prasaran yang dimiliki pengusaha untuk
mencapai suatu hasil tertentu. Maka mutlak, perintah kerja selalu datang dari pengusaha.
Dalam kaitannya dengan perintah
kerja, ketentuan peraturan perundang-undangan telah memberikan batasan mengenai
perintah kerja yang boleh dan tidak boleh diberikan oleh pengusaha kepada
pekerja. Dalam konteks ini, jika suatu perintah kerja tidak melanggar ketentuan
hukum yang diberlaku dan diberikan secara patut dan layak kepada pekerja, maka
wajib bagi pekerja untuk mematuhi perintah kerja tersebut. Perintah kerja yang
layak dan patut disini harus dimaknai bahwa suatu perintah kerja harus
dilakukan dengan menghormati harkat, martabat dan harga diri pekerja. Suatu
perintah kerja yang sepenuhnya memberikan penghormatan yang utuh kepada
martabat kemanusiaan si pekerja. Terhadap perintah kerja yang diberikan secara
tidak patut dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, pekerja
berhak menolak atau tidak melakukan perintah kerja tersebut. Bahkan untuk hal
ini pekerja dapat mengajukan pengakhiran hubungan kerja. Maksudnya pekerja yang
mengajukan gugatan pengakhiran hubungan kerja kepada pengusaha. Kondisi ini
tidak dimaknai sebagai pengajuan pengunduran diri, sebab pengajuan pengunduran
diri mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pengajuan pengakhiran hubungan
kerja yang dimaksudnya disini. Sampai disini mungkin akan timbul pertanyaan,
mengapa tidak dilakukan dengan cara pengunduran diri saja? Bukankah
implikasinya sama, yakni berakhir hubungan kerja? Jawaban atas pertanyaan
tersebut sangat sederhana, yakni lebih kepada komitmen dalam menjalankan
kesepakatan dalam perjanjian kerja. Jika pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja kepada pekerja jika melanggar perjanjian kerja, hal yang sama
juga dapat dilakukan pekerja, dalam hal pengusaha yang melanggar perjanjian
kerja. Substansinya bahwa hukum memberikan kesamaan dan kesetaraan hak kepada
pengusaha dan pekerja/buruh sehubungan komitmen pelaksanaan perjanjian kerja.
Upah menurut ketentuan Pasal 1
angka 30 UU 13/2003, adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan. Dalam pengertian tersebut, jelas bahwa upah dalam
pemahaman dasarnya merupakan kompensasi yang diberikan kepada pekerja atas
pelaksanaan suatu pekerjaan tertentu. Upah bagi pekerja, selain digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara individual, juga untuk membiayai pemenuhan
kebutuhan hidup bagi keluarga pekerja.
Jika mencermati keseluruhan
pengertian tersebut, maka implikasi dari suatu relasi hubungan kerja adalah
sangat luas. Tidak sebatas relasi keperdataan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha, namun juga mencakup keluarga pekerja buruh dan semua relasi yang
timbul dengan pihak lain (terutama dengan perusahaan lain sebagai mitra kerja –
stakeholder) sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan tersebut.
Relasi dengan stakeholder ini tentu didasarkan pada posisi perusahaan
dalam jalinan relasi bisnis atau posisi perusahaan dalam struktur supply
chain atas pekerjaan yang dilakukannya. Karena begitu luasnya implikasi
yang timbul, baik dalam konteks bisnis, ekonomi, hukum, dan sosial, maka
hubungan kerja harus diupayakan sedemikian rupa untuk menjaga agar semua stakeholder
memperoleh kepuasan. Dalam hal ini, dari sisi pekerja yakni kepuasan personal
dan keluarga atas situasi kerja yang nyaman dan kompensasi yang mencukupi untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya. Dari sisi
pengusaha, agar terjamin keberlangsungan berusaha serta dengan terpuaskannya
semua stakeholder. Implikasi ini sering lalai diperhatikan dan dipahami
secara mendalam sehingga sering kali timbul eksploitasi atau tercipta suatu
kondisi tidak seimbang dalam pemenuhan hak dan kewajiban para pihak, dalam hal
ini secara khusus antara pengusaha dengan pekerja.
Menurut ketentuan hukum di
Indonesia, terdapat beberapa jenis hubungan kerja. Dalam konteks antara seorang
pekerja/buruh dengan pengusaha, relasi tersebut didasarkan pada perjanjian
kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap dan perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) atau pekerja tidak tetap atau disebut juga pekerja kontrak.
Relasi ini kemudian mengalami perluasan dalam perspektif didasarkan pada dalam
struktur bisnis supply chain yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu
pekerja, yakni munculnya hubungan kerja alih daya (outsourcing). Secara
konsep, alih daya dilihat dalam perspektif dari perusahaan pemberi kerja
terhadap suatu pekerjaan tertentu yang diserahkan kepada perusahaan lain untuk
melakukannya atau dalam konteks perusahaan pemberi kerja melihat eksistensi
para pekerja alih daya yang dikaryakan pada perusahaan pemberi kerja untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu. Jika didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-IX/2011, maka harusnya relasi hubungan kerja antara para pekerja
alih daya dengan perusahaan alih daya (perusahaan yang bergerak dalam bidang
alih daya sebagai core business) harus didasarkan pada perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau pekerja tetap pada perusahaan alih daya.
Jika mencermati ketentuan dalam
hukum ketenagakerjaan dan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang
disampaikan diatas, terdapat suatu benang merah dalam memaknai hakikat
eksistensi dari berbagai jenis relasi hubungan kerja tersebut yakni didasarkan
pada sifat dan jenis pekerjaan. Sifat dan jenis pekerjaan ini kemudian
dikualifikasikan dalam 2 (dua) kategori utama yakni pekerjaan yang berhubungan
dengan core business dan pekerjaan yang bukan merupakan core business.
Untuk semakin memahami perbedaan antara PKWTT dan PKWT, berikut disajikan dalam
tabel:
HUBUNGAN
KERJA |
SIFAT
DAN JENIS PEKERJAAN |
RUANG
LINGKUP |
PKWTT |
Pekerjaan
yang bersifat tetap atau mencakup keseluruhan core business perusahaan |
Mencakup
keseluruhan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan segala sarana
prasaran yang dimiliki perusahaan (terutama mesin-mesin produksi). |
PKWT |
Pekerjaan
yang bersifat tidak tetap (non core business) yang didasarkan pada
jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu |
PKWT yang didasarkan pada jangka waktu, meliputi: (1) pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; (2)
pekerjaan yang bersifat musiman (didasarkan pada musim atau cuaca, atau
kondisi tertentu); atau, (3) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan. PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu,
meliputi: (1) pekerjaan yang sekali selesai; (2) pekerjaan yang sementara
sifatnya. |
Mencermati ketentuan sebagaimana
disajikan dalam tabel, kata kunci yang membedakan PKWTT dan PKWT adalah pada
sifat dan jenis pekerjaan yang bersifat tetap dan pekerjaan yang bersifat tidak
tetap. Pekerjaan merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa.
Proses pekerjaan untuk menghasilkan suatu barang dan jasa menggunakan suatu
peralatan (misalnya mesin atau alat bantu lainnya) tertentu atau dengan menggunakan suatu kemampuan tertentu
(misalnya pada pekerjaan marketing, dibantu dengan kemampuan komunikasi
yang baik untuk meyakinkan calon pembeli atau pelanggan), dengan dibantu oleh
sarana dan prasaran yang dimiliki perusahaan. Marketing menjual barang dan jasa
yang dihasilkan perusahaan, sehingga bukan merupakan suatu aktivitas yang
berdiri sendiri. Sampai disini jelas bahwa pekerjaan tidak sama dengan produk. Pekerjaan
menghasilkan produk, yaitu barang dan jasa. Maka tidak ada produk tanpa
pekerjaan. Tidak ada barang dan jasa tanpa pekerjaan. Produk melekat pada
pekerjaan. Menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak mungkin ada
produk yang ujug-ujug berdiri sendiri tanpa proses untuk
menghasilkannya.
Sebagai misal, dalam proses
manufaktur dan fabrikasi, eksistensi produk sepenuhnya bergantung kepada
karakteristik pekerjaan yang dapat dilakukan oleh keseluruhan mesin-mesin yang
dimiliki sebuah perusahaan. Produk paralel dengan karakteristik pekerjaan yang
dapat dilakukan oleh mesin-mesin yang dimiliki untuk menghasilkan suatu produk,
didasarkan pada spesifikasi tertentu yang diminta oleh pelanggan atau customer.
Bisa saja untuk menghasilkan suatu produk melewati rangkaian proses pekerjaan
atau beberapa tahapan pekerjaan untuk memenuhi spesifikasi yang telah
ditentukan. Relasi paralel antara produk dan karakteristik pekerjaan sebagai
misal, tidak mungkin suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang machining
precision parts, menghasilkan produk layanan perbankan. Yang dihasilkan
oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang machining precision parts,
sebagai misal adalah komponen-komponen mesin atau hasil proses manufaktur-fabrikasi
lainnya. Jasa layanan perbankan hanya mungkin dihasilkan oleh perusahaan yang
bergerak dalam bidang perbankan atau jasa finansial yang mampu menghasilkan
produk layanan perbankan. Mungkin contoh ini terlihat ekstrim, tapi hal ini
untuk memudahkan dalam memahami hal perbedaan karakteristik antara produk
dengan pekerjaan sebagai suatu relasi kausalitas.
Untuk semakin memahami hal ini,
misalnya sebuah mesin CNC bisa menghasilkan beragam produk sepanjang
spesifikasi mesin tersebut mampu untuk mengerjakannya. Misalnya sebuah mesin
CNC bisa menghasilkan bushing, log nut, roller, pin. Desain proses untuk
menghasilkan bushing berbeda dengan desain proses untuk menghasilkan log
nut, roller dan pin. Begitupun antara satu dengan yang lainnya. Namun
semuanya bisa dikerjakan dengan mesin CNC yang sama. Maka segala produk yang
dapat dikerjakan pada mesin CNC tersebut, meskipun merupakan produk baru tetapi
dihasilkan dari proses pekerjaan yang lama, yang sudah biasa dikerjakan oleh
mesin tersebut, tinggal dilakukan penyesuaian pada desain prosesnya. Contoh
yang paling mudah adalah aktivitas pekerjaan dengan mesin press. Semua
produk yang dihasilkan dengan proses press, dapat dikerjakan disana,
dengan sebatas mengganti blanking dies atau dies gauge. Pemahaman
ini sangat penting sebab maraknya konflik hubungan industrial karena kurangnya
pemahaman akan hal ini. Hari ini bisa dikatakan, semua perusahaan yang
mempekerjakan pekerja yang didasarkan pada hubungan kerja PKWT melanggar dalam
hal penempatan para pekerja PKWT pada pekerjaan yang bersifat tetap. Kekeliruan
terbesar karena menyamakan produk dengan pekerjaan. Terdapat hubungan sebab
akibat yang konsisten antara pekerjaan dengan produk. Satu pekerjaan bisa
menghasilkan beberapa produk, namun satu produk lahir dari suatu proses yang
khas dan spesifik dari pelaksanaan pekerjaan tertentu untuk menghasilkannya.
Setelah dipahami dengan baik
perbedaan khas antara pekerjaan dengan produk, tentu timbul pertanyaan. Mengapa
dan untuk apa, atau, apa manfaat dari pembedaan status hubungan kerja tersebut
dan untuk apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, jika diuraikan secara detail,
ruang lingkup perspektifnya akan sangat banyak. Pada kesempatan ini hanya
disampaikan dalam sebuah perspektif yang sederhana sebatas untuk memudahkan
pemahaman dan untuk memudahkan pemahaman sebagai jawaban atas pertanyaan
tersebut. Jawaban paling pertama dan utama adalah dari sisi pengusaha untuk
kepentingan bisnis, dan dari sisi pekerja/buruh, untuk melindungi pekerja/buruh.
Konteks melindungi disini, tentu dari dominasi pengusaha sehubungan dengan
ketimpangan status sosial dan ekonomi dalam relasi hubungan kerja. Terhadap
jawaban pertama dan utama tersebut, akan disampaikan dalam beberapa perspektif
untuk memudahkan pemahaman.
PKWT menjadi inspirasi lahirnya jenis
usaha recruitment and assessment, serta berbagai lembaga
pelatihan kerja dan penyalur tenaga kerja lainnya. Mengingat beragam varian
produk dari begitu banyak komponen yang melekat pada sebuah produk, kebutuhan
akan pekerja PKWT yang handal perlu untuk dipersiapkan. Hal ini dilakukan oleh
jenis usaha yang sampaikan diatas. Disamping itu terdapat keterbatasan sumber
daya sehingga tidak memungkinkan sebuah perusahaan sanggup mengerjakan
keseluruhan proses untuk menghasilkan sebuah produk jadi. Hal ini juga
memungkinkan sebuah perusahaan fokus pada bidang usaha atau core business
yang ditekuninya, dengan fokus memungkinkan untuk mencapai tingkat kemahiran
yang khas dan spesifik pada suatu proses pekerjaan tertentu. Selain itu,
membuka peluang munculnya jenis usaha baru semacam diversifikasi usaha dengan
mengembangkan dan berfokus pada core business yang baru dan berbeda.
Eksistensi PKWT ini pada beberapa hal mempunyai karakteristik yang sama dengan
relasi pekerja alih daya (outsourcing). Penjabaran akan hal in sangat
panjang, maka akan disampaikan pada bagian tulisan yang lain. Namun paling
tidak dengan uraian singkat ini, sudah terbayang manfaat adanya PKWT ini dari
sisi pengusaha.
Dari sisi pekerja, tujuannya
diadakannya PKWT, bisa dilihat dalam 2 (dua) konteks. Konteks pertama, dalam
perspektif yang luas, yakni sebagai konsekuensi logis dari adanya diversifikasi
usaha, membuka lapangan kerja yang baru, sehingga dapat menyerap angkatan kerja
dan menekan angka pengangguran. Pada konteks yang kedua, kita lihat dari
perspektif pekerja yang sudah bekerja pada sebuah perusahaan. Dengan adanya
PKWT, sebetulnya melindungi pekerja PKWTT dari tindakan sewenang-wenang
pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja. Pada sisi yang lain, PKWT
juga sebagai jaring pengaman untuk melindungi pekerja PKWTT dari ambisi
pengusaha dalam meraup keuntungan dengan membayar pekerja secara murah. Hal ini
karena dengan sifat dan jenis pekerjaan yang khas, tidak semua pekerjaan dapat
dilakukan oleh pekerja PKWT. Jika tidak ada pembedaan dan pembatasan
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bisa saja pada sebuah perusahaan,
tidak mempunyai pekerja PKWTT, ataupun jika ada, berada pada rasio yang tidak
wajar. Maksudnya, struktur hubungan kerja pada sebuah perusahaan didominasi
oleh pekerja PKWT. Aspek perlindungan lain yang kadang sering lalai disadari
para pekerja adalah perbedaan jenis hubungan kerja dimaksud untuk melindungi eksistensi
serikat pekerja/serikat buruh. Dengan adanya pembedaan status hubungan kerja,
juga membuka peluang terdapat jaminan kelangsungan bekerja untuk menggantikan
quota pekerja PKWTT yang berakhir hubungan kerjanya dengan berbagai alasan. Hal
ini hanya mungkin terjadi jika tidak terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan
hubungan industrial yang terkait dengan status hubungan kerja ini.
Bahwa mengingat ada kecenderungan
perusahaan untuk terus bertumbuh dan berkembang, maka komposisi pekerja PKWTT
pun akan terus meningkat seiring dengan semakin luas ruang lingkup core
business sehubungan dengan diversifikasi usaha tersebut. Dengan semakin
meningkatnya jumlah pekerja PKWTT, maka harusnya eksistensi serikat
pekerja/serikat buruh juga semakin kuat. Eksistensi serikat pekerja/serikat
buruh yang kuat, akan membantu perusahaan agar terus bertumbuh dan berkembang
dan di waktu yang sama terus berjuang meningkatkan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan pekerja/buruh secara keseluruhan. Situasi lemahnya eksistensi
serikat pekerja/serikat buruh karena terdapat banyaknya penyimpangan dalam
pelaksanaan status hubungan kerja. Belum lagi kita bicara tentang alih daya (outsourcing),
yang terdapat irisan dengan sifat dan jenis pekerjaan yang dapat di kerjakan
pekerja PKWT.
Hal ini menegasnya penting advokasi
terhadap penyimpangan pelaksanaan hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT
harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Termasuk di dalamnya penegakan hukum
oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan. Bagi serikat
pekerja/serikat buruh, tidak ada pilihan lain, selain melakukan advokasi secara
total dan tuntas, pemahaman ini sebagai dasar pijakan. Bagaimana ketentuan
hukumnya, bagaimana pemaknaan atas ketentuan hukumnya dan bagaimana pelaksanaan
dari ketentuan hukum tersebut. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh
dalam memahami sebuah ketentuan hukum. Bahwa setiap pelanggaran terhadap
penyimpangan dalam penempatan kerja bagi pekerja PKWT adalah berubah status
hubungan kerja menjadi pekerja PKWTT, ini merupakan kesempatan yang baik untuk
melakukan advokasi atas setiap penyimpangan dalam penyelenggaraan PKWT secara
khusus dan penyimpangan atas status hubungan kerja yang lainnya secara
keseluruhan. Penting untuk disadari, bahwa setiap ketentuan hukum, lahir dengan
maksud dan tujuan tertentu, maka tindakan menggeneralisasi setiap ketentuan
hukum yang berbeda adalah sangat keliru. Argumentasi yang menggeneralisasi
ketentuan hukum yang berbeda, dibangun diatas ketidakpahaman yang baik atas
suatu ketentuan hukum. Perbedaan status hubungan kerja dimaksud untuk
melindungi kepentingan pengusaha dan untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh
secara berimbang. Maka berjuanglah untuk memastikan bahwa kepentingan Anda yang
dijamin dan dilindungi oleh ketentuan hukum harus dipatuhi oleh pihak lainnya.
Selamat berjuang, semoga bermanfaat.
0 comments:
Posting Komentar