Gedung Mahkamah Agung |
F SP LEM SPSI, Sejumlah serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruh Untuk Rakyat (Gebrak) mendesak Mahkamah Agung (MA) merevisi sedikitnya 3 Surat Edaran MA (SEMA) yang berkaitan perselisihan hubungan industrial. Kalangan buruh menilai ketiga SEMA itu mengebiri hak buruh dan menjauhkan buruh dari kepastian bekerja.
Pertama, SEMA No.3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Buruh menilai SEMA No.3 Tahun 2015 memberi kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara semena-mena. Aturan ini dinilai membatasi pembayaran upah proses PHK hanya 6 bulan.
Gebrak berpendapat upah proses adalah kewajiban perusahaan untuk membayar upah sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). SEMA No.3 Tahun 2015 dianggap membuka peluang besar bagi pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat. Padahal, putusan MK No.37/PUU-XI/2011 tertanggal 19 September 2011 mengamanatkan perusahaan dan buruh melakukan kewajibannya sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kedua, SEMA No.3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Masih terkait upah proses, menurut Gebrak SEMA No.3 Tahun 2018 ini, menghapus upah proses jika pengadilan memutuskan buruh kontrak berubah statusnya menjadi pekerja tetap dan di-PHK.
“Dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), pekerja tidak berhak atas upah proses apabila terjadi PHK,” demikian bunyi kutipan SEMA No.3 Tahun 2018.
Ketiga, SEMA No.7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Rapat Pleno Kamar MA Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Gebrak menilai aturan internal MA ini tidak mengakui serikat pekerja di luar perusahaan termasuk gabungan serikat pekerja lintas perusahaan atau konfederasi untuk beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI). Padahal, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan serikat pekerja bisa berada di dalam perusahaan ataupun di luar perusahaan.
Direktur LBH Jakarta, Arief Maulana menilai ketiga SEMA itu melanggar UU Ketenagakerjaan dan konstitusi sebagaimana halnya putusan MK. Untuk menyuarakan kritik tersebut, Gebrak melakukan audiensi dengan MA, Selasa (2/4/2019) kemarin. Dalam pertemuan itu Gebrak mendesak ketiga SEMA itu direvisi atau dicabut.
“Levelnya hanya surat edaran, tapi bisa mengabaikan konstitusi dan UU (Ketenagakerjaan). Ini mengerikan,” kata Arief dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (3/4/2019).
Sekalipun SEMA merupakan aturan internal MA, dan tidak ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, kalangan buruh menilai hakim menjadikan SEMA sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan. Kepala Bidang Advokasi dan HAM Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Imam Syafii punya pengalaman pernah ditolak hakim untuk beracara di pengadilan (PHI) karena serikat pekerja mereka anggotanya lintas perusahaan.
“Amar putusannya jelas berdasarkan (mengacu) SEMA 7 tahun 2012. Pelaut itu ada 1 juta, anggota kami mendekati 10 ribu, bagaimana kami bisa beracara di pengadilan jika ada SEMA itu?” keluh Imam.
Gebrak juga menilai ketiga SEMA tersebut membuat hak-hak buruh untuk mendapat kepastian kerja menjadi terancam. Baginya, tanpa kewajiban upah proses, pengusaha akan semena-mena menetapkan status kontrak dan melakukan PHK. Tentunya, hal ini membuat posisi buruh semakin lemah.
“Gebrak menilai ketiga SEMA ini cenderung mendukung kalangan pengusaha ketimbang buruh.”
Sekjen KASBI Sunarno mencatat PHK kerap digunakan perusahaan menyasar pengurus serikat buruh yang memperjuangkan hak-hak anggotanya. “Kami berharap ada ketegasan pengadilan atau bunyi UU supaya ditakuti (ditaati, red) perusahaan, supaya tidak ada PHK, (padahal) upah proses itu bagian sanksi dari pengadilan, dari hukum itu sendiri,” kata Sunarno.
Ketua Serikat Pekerja Bank Permata, Jefy Oktorionus mengatakan ketiga SEMA ini semakin mengancam posisi buruh yang rentan mengalami PHK di era digitalisasi. PHK masif telah dialami pekerja di sektor perbankan. “Di sektor perbankan akan ada ‘tsunami’ PHK karena pergeseran dari manual ke digital,” sebutnya.
Ketua Departemen Hukum dan Advokasi KPBI Nelson Saragih menilai ketiga SEMA tersebut akan menjauhkan MA dari marwahnya untuk menjaga keadilan, sehingga membuat orang tidak percaya pada mekanisme PHI.
“Karena tidak ada guna lagi berproses dalam mekanisme PHI. Ketika pengadilan tidak bisa lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan, maka kita harus mencari (keadilan) di tempat lain,” tutur Nelson.
Selain audiensi, Gebrak juga mengirimkan surat pada pimpinan MA. Surat itu intinya berisi berbagai alasan untuk mencabut atau merevisi ketiga SEMA terkait proses penyelesaian perselisihan PHK atau perselisihan hak lainnya melalui PHI.(obn)
0 comments:
Posting Komentar