Oleh: Yosep Ubaama Kolin |
Tanggal 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP 21/2024). Regulasi ini memberikan beban yang dimaknai sebagai “simpanan peserta” sehubungan penyelenggaraan TAPERA sebesar 3% yang terdiri dari 0,5% kontribusi pemberi kerja dan 2,5% kontribusi buruh. Adalah wajar jika kebijakan ini mendapat penolakan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Salah satu pernyataan APINDO menegaskan bahwa kebijakan ini menambah beban bagi pelaku usaha pada kisaran 18,24% - 19,74%. Kebijakan yang sama juga membebani buruh pada kisaran 15,77% - 18,73%.
Kebijakan Pemerintah ini sangat ironis jika mengetahui bagaimana buruknya kebijakan pengupahan sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 8 (delapan) tahun terakhir, yang diawali dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015). Kondisi buruknya kebijakan pengupahan semakin parah sejak lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 6/2023)
Realita yang kontras dengan janji kampanye yang hiperbolik “Tri Layak” – Kerja Layak, Hidup Layak dan Upah Layak. Faktanya tak satupun janji kampanye tersebut direalisasikan, yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini sebagaimana nyata dari berbagai produk hukum yang diundangkan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. UU 11/2020 melahirkan PP 36/2021 dan UU 6/2023 melahirkan PP 51/2023 yang kesemuanya bagian dari upaya sistematis untuk menekan laju kenaikan upah buruh/buruh. Regulasi tersebut menghilangkan penetapan Upah Minimum Sektoral dan perhitungan dan penetapan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dilakukan secara bersyarat. Dampaknya adalah kenaikan upah buruh bahwa lebih rendah dari laju inflasi. Fakta ini tentu sangat konyol. Pemerintah secara sadar merancang kebijakan pengupahan yang memiskinkan buruh. Menjadi anomali ketika pada satu sisi Pemerintah berbicara mengenai Indonesia emas 2045 dimana sangat dibutuhkan penguatan sumber saya manusia yang dilengkapi dengan berbagai kompetensi dan pada sisi lainnya APINDO yang merepresentasi pengusaha menyuarakan rendahnya keahlian (skill) buruh Indonesia.
Wacana Indonesia emas nampaknya hanya bui, pemanis dalam berbagai diskusi publik dan maraknya berbagai program yang seakan mengarahkan masyarakat bangsa ini menuju kesana patut dipertanyakan. Apakah wacana Indonesia emas ini hanya euforia atas potensi bonus demografi yang akan dialami bangsa ini pada beberapa waktu ke depan? Indonesia emas yang dimulai dengan kebijakan upah murah adalah omong kosong belaka. Kita tentu paham betul perihal lemahnya penegakan hukum dalam bidang ketenagakerjaan. Kebijakan pengupahan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) yang sudah jelas dan tegas saja, nyaris tidak tampak adanya penegakan hukum yang serius dari Pemerintah, khususnya pihak berwenang, apalagi melihatnya lemahnya kebijakan pengupahan dalam UU 6/2023 dan keseluruhan peraturan pelaksananya. Pesimisme ini wajar karena Pemerintah sendiri yang memberikan teladan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga peradilan. Berbagai pelemahan terhadap instrumen penegakan hukum dalam bidang ketenagakerjaan dirasakan oleh segenap penggiat ketenagakerjaan. Pada kondisi dan kasus tertentu, penggiat ketenagakerjaan bahkan sama sekali tidak percaya dengan keseluruhan instrumen penegakan hukum ketenagakerjaan.
Realita ini seakan paralel dengan turun indeks persepsi korupsi pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Melansir pemberitaan dari berbagai media, pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada peringkat 34. Dalam perjalanan pemerintahan sempat naik sampai dengan 40 namun pada akhir 2022, kembali melorot ke peringkat 34. Turunnya IPK ini tentu memperlihatkan lemahnya penegakan hukum. Hal ini cukup wajar sebab pada era Presiden Joko Widodo, terjadi pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis. Untuk hal ini tentu sudah jamak diketahui publik. Turunnya IPK paling tidak berkorelasi dengan dua hal penting yakni lemahnya komitmen penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta lemahnya penegakan hukum. Isu tebang pilih pengungkapan kasus korupsi sudah biasa ditelinga kita.
Dalam keseluruhan carut marut pengelolaan negara yang demikian, diundangkan PP 21/2024 yang memberikan beban tambahan bagi pemberi kerja 0,5% dan bagi buruh 2,5%, yang kemudian secara kumulatif beban bagi pemberi kerja mencapai kisaran 18,24% - 19,74%, dan bagi buruh pada kisaran 15,77% - 18,73%, tentu kami menolak. Pemerintah seharusnya malu kepada buruh karena buruknya kebijakan pengupahan namun selalu cerdik meminta “setoran” dalam berbagai bentuk kepada buruh. Sebagai ilustrasi mari kita berhitung sejauh mana seorang pekerja di Kabupaten Banjar dan Kota Bekasi menikmati upah minimum yang didapat pada setiap bulannya. Pemilihan kedua wilayah ini karena Kabupaten Banjar merupakan daerah dengan upah minimum terendah di Provinsi Jawa Barat dan Kota Bekasi merupakan daerah dengan upah minimum tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Perhitungan ini dengan asumsi terdapat potongan yang bersifat wajib baik yang merupakan implementasi kebijakan pemerintah melaui berbagai jenis iuran BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan, iuran organisasi Serikat Buruh/Serikat Buruh dan iuran Koperasi. Beberapa nilai diasumsikan secara umum, sebatas sebagai estimasi yang mendekati kenyataannya. Merujuk pada keterangan APINDO, diasumsikan juga keseluruhan perusahaan pada setiap daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat telah menyelenggarakan program Dana Pensiun mandiri, yang nilai potongannya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tampak jelas bahwa terdapat pengurangan take home pay yang signifikan bagi buruh, yakni pada kisaran 15,77% - 18,73%. Pada tahun 2024 upah seorang buruh di Kabupaten Banjar senilai Rp 2.070.192,-. Setelah dikurangi berbagai “setoran wajib” kepada Pemerintah dan berbagai asumsi potongan wajib lainnya, maka total potongan atas upahnya senilai Rp 387.757, sehingga nilai take home pay adalah Rp 1.682.435,-. Terdapat pengurangan sebesar 18,73%. Bagi seorang buruh di Kota Bekasi, pada tahun 2024 menikmati upah minimum senilai Rp 5.343.430,-. Total potongan atas upah minimum senilai Rp 842.737,-. Sehingga take home pay senilai Rp 4.500.693,-. Terdapat pengurangan sebesar 15,77%.
Mencermati dengan baik simulasi sederhana tersebut, mungkinkah kita berbicara mengenai Indonesia emas 2045? Penting untuk disadari bahwa upah bagi seorang buruh adalah untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bahwa berbagai “potongan wajib” tersebut belum lagi jika ditambahkan dengan kewajiban buruh pihak ketiga, misalnya membayar cicilan perumahan, atau membayar cicilan sepeda motor dan/atau kewajiban lainnya, Belum lagi biaya pendidikan untuk anak buruh dan biaya hidup sosial bermasyarakat. Maka dipastikan nilai take home pay tersebut akan semakin kecil. Take home pay yang semakin tergerus tersebutlah yang digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup si buruh dan keluarganya. Bisa di bayangkan bangsa ini akan menghasilkan generasi emas murni atau emas-emasan yang dijajakan pedagang keliling kampung? Mungkin berlebihan, tapi inilah realita. Generasi Indonesia emas tampaknya hanya ilusi. Mungkin sebagian kita pernah mendengar kisah anak direktur yang bekerja sebagai operator produksi yang kemudian setelah 6 (enam) bulan bekerja dipromosikan jabatan yang tinggi dengan alasan “berprestasi”. Seperti itulah mimpi tentang generasi Indonesia emas yang digaung Pemerintah.
Generasi emas lahir dari insan yang sehat, berkepribadian tangguh dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang menunjang pengembangan minat, bakat dan kemampuan, dan lain-lain indikator yang ditentukan berbagai lembaga yang gencar bicara tentang generasi Indonesia emas. Semua itu tidak mungkin diraih oleh buruh pabrik dan generasi penerusnya yang take home pay senantiasa tergerus oleh berbagai setoran wajib kepada Pemerintah.
Sebagai misal seorang buruh di Banjar yang tanpa kewajiban kepada pihak ketiga dan tidak menyekolahkan anaknya yang berjumlah 3 orang, biaya hidup sehari per orang adalah Rp 11.216,-. Bisa dibayangkan jika yang bersangkutan mempunyai kewajiban kepada pihak ketiga dan/atau disertai menyekolahkan anaknya? Kehidupan seperti apa yang mereka jalani? Belum lagi jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang upah minimumnya lebih rendah dari Kabupaten Banjar. Kondisinya akan semakin memprihatinkan. Maka adalah wajar jika segenap kaum buruh menolak tambahan setoran wajib kepada Pemerintah berupa iuran TAPERA. Bereskan dulu korupsi, berantas dulu KKN, perbaiki kinerja birokrasi dan tegakkan hukum setegak-tegaknya.
Cukuplah penderitaan kaum buruh dengan buruknya kebijakan pengupahan pada rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jangan tambahkan lagi beban hidup kaum buruh dengan kebijakan yang tidak pernah mereka nikmati secara langsung.
Tolak iuran TAPERA.!!!
0 comments:
Posting Komentar