SIARAN PERS
Aksi Unjuk Rasa FSP LEM
SPSI 8, 9, 10, 11 November 2021 Di MK
Dan Meminta Hakim MK Membuat Keputusan Yang
Sejujur-jujurnya Dan Seadil-adilnya
Jakarta, 4 November 2021
FSP LEM SPSI (Federasi Serikat Pekerja
Logam Elektronik Dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), akan melakukan
unjuk rasa Senin – Kamis, 8 – 11 November 2021, jam 10.00 s/d 16.00, di depan Mahkamah
Konstitusi, untuk menyampaikan aspirasi dan memohon, meminta, mendesak kepada
Bapak-Bapak Hakim MK untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya dan
sejujur-jujurnya.
Penyebab utama kami melakukan aksi
unjuk-rasa adalah karena proses pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja yang dimulai perencanaan hingga pengesahan di DPR RI cacat hukum, cacat
moral, bahkan ada pelanggaran pidana yaitu setelah di ketok palu oleh DPR, UU
tersebut masih mengalami perubahan-perubahan yang jelas-jelas dapat disaksikan
oleh tidak hanya para pekerja/buruh tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Dan
pelanggaran tersebut seharusnya masuk ranah pidana.
Berikut disampaikan kronologis ringkas pembentukan UU No. 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja ;
1.
Pembentukan
UU Cipta Kerja tidak mencerminkan semangat musyawarah untuk mufakat.
2. Prosedur dan proses pengundangan UU Cipta
Kerja yang mengabaikan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
pasal 1 ayat (19) sebagai ejawantah
dari Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi : “Lembaga kerja sama
tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.” Artinya lembaga ini tidak terlibat atau tidak
dilibatkan dalam penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja, padahal disinilah
seluruh permasalahan dunia usaha yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dapat
dicari win-win solution melalui musyawarah untuk mufakat. LKS Tripartit ini
dipimpin langsung oleh Menteri dan anggotanya diangkat melalui Keputusan Presiden. Sehingga apabila
pengusaha merasa ada permasalahan pada pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003, dapat
dikomunikasikan, dikonsultasikan dan dimusyawarahkan di dalam LKS Triparti ini,
dengan di dukung oleh data-data yang otentik.
3.
Prosedur
pembentukan UU Cipta Kerja melanggar asas-asas seperti pada pasal 5 dan pasal 6
UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, padahal prosedur, dalam teori hukum adalah jantungnya
hukum.
4.
Pasal 5 huruf g UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, menyatakan bahwa
dalam pembuatan UU harus mengikuti “asas keterbukaan” mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
5.
Jelas-jelas
disebutkan bahwa keterlibatan masyarakat khususnya pemangku kepentingan wajib dilibatkan sejak perencanaan. Sedangkan
kita dapat melihat dengan jelas bahwa perencanaan hanya melibatkan pengusaha
tanpa melibatkan pekerja/buruh. Jadi jelas dan nyata bahwa pembentukan UU No.11
Tahun 2020 tidak sesuai azas, dan azas adalah hal yang sangat mendasar dalam
tatakrama dan prosedur pembentukan UU, sehingga jika dilakukan sejak
perencanaan hasilnya tidak akan terjadi kegaduhan.
6.
UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur
tentang tugas dan peran serikat pekerja yang wajib memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya. Artinya, bahwa SP/SB wajib dilibatkan dalam
permasalahan yang menyangkut pekerja/buruh sebagaimana amanah dan perintah UU
ini. Hal ini jelas ada korelasinya dengan UU ketenagakerjaan khususnya tentang
hubungan industrial melalui LKS Tripartit. Sehingga dalam penyusunan
draft/rancangan UU Cipta Kerja sejak awal wajib dilibatkan, dan inipun sesuai
dengan amanah UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
7.
Tim
yang dibentuk atau pertemuan-pertemuan yang membahas Omnibus Law RUU Cipta
Kerja, hanyalah sebagai formalitas saja,
atau hanya untuk legitimasi, tidak mencerminkan musyawarah untuk mufakat
sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, dan tidak
mengikuti amanah atau perintah UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan UU No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Artinya tim-tim tersebut dibentuk setelah draft/rancangan UU Cipta Kerja resmi
diserahkan kepada DPR, padahal undang-undang memerintahkan seharunya SP/SB
dilibatkan sejak perencanaan penyusunan draft/rancangan UU Cipta Kerja.
8.
Adanya pelanggaran pidana yaitu setelah di ketok palu oleh DPR, UU tersebut
masih mengalami perubahan-perubahan yang jelas-jelas dapat disaksikan oleh
tidak hanya para pekerja/buruh tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Dan
pelanggaran tersebut seharusnya masuk ranah pidana.
9.
Pada kesempatan ini sebenarnya bersamaan dengan momentum penetapan Upah
Minimum, oleh karena itu penetapan MK sangat berkaitan dengan penetapan Upah
Minimum, dan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh
Indonesia agar menaikkan Upah Minimum 15
%, dengan pertimbangan agar pekerja/buruh meningkat daya belinya dan membantu
percepatan pemulihan ekonomi nasional. Dan pemerintah dihimbau untuk membantu
perusahaan dalam meningkatkan pendapatan perusahaan dengan melalui berbagai
langkah yang mungkin dilakukan seperti pengurangan pajak atau insentif melalui
kebijakan fiskal, bagi perusahaan yang mampu menaikkan upahnya sampai dengan 15
%.
Demikian Siaran Pers ini kami sampaikan, dan atas
kerjasamanya, kami sampaikan terimakasih.
Jakarta, 4
November 2021
Arif Minardi Ir. Idrus MM
Ketua Umum Sekretaris Umum
081 221 615 762 0817160919
0 comments:
Posting Komentar