BAPOR Barisan Pelopor FSP LEM SPSI ( foto : media LEM ) |
Jakarta, MEDIA LEM-07/11/2021. Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 sejak perencanaan hingga pengesahannya banyak mendapat penolakan secara massif, termasuk melalui unjuk rasa dari berbagai kalangan, bahkan undang-undang yang disyahkan oleh DPR RI dan Pemerintah pada tanggal 02 November 2020 tersebut langsung digugat/Judicial Review (JR), termasuk oleh serikat pekerja/serikat buruh. Sidang perdana digelar oleh Mahkamah konstitusi pada bulan Desember 2020, sebentar lagi akan memasuki putusan.
Judicial Review (JR) UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh serikat pekerja/serikat buruh :
Perkara Nomor 101/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh KSPSI dan KSPI.
Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI.
Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Aliansi GEKANAS; termasuk FSP LEM SPSI ada didalamnya.
Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat FSP RTMM SPSI.
Foto Aksi penolakan terhadap UU. Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Kerja. |
Ketua Umum FSP LEM SPSI Arif Minardi mengatakan, serikat pekerja/serikat buruh melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi secara formil, karena secara formil banyak melanggar prosedur dan tidak melibatkan serikat pekerja/serikat buruh sebagai pemangku kepentingan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangannya. Secara formil, banyak merugikan kaum pekerja/buruh penerima upah.
Menjelang putusan gugatan formil undang-undang cipta kerja nomor 11 tahun 2020 ini, FSP LEM SPSI melakukan aksi unjuk rasa pada tanggal 8,9,10 dan 11 november 2021 didepan Mahkamah Konstitusi dengan tuntutan meminta para hakim memutuskan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya berdasarkan fakta hukum, jelas Arif.
Dokumentasi foto Tim Media LEM SPSI |
Senada dengan Arif Minardi, Koordinator Aksi Nasional FSP LEM SPSI Muhamad Sidarta menjelaskan aksi unjuk rasa dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi, Istana Presiden, Kemendagri dan Kemenaker RI dengan tuntutan : Batalkan Undang-Undang Cipta Kerja, Naikan Upah Minimum tahun 2022 sebesar 15% untuk menaikan daya beli dan memulihkan perekonomian Indonesia serta Upah di atas Upah Minimum harus tetap ada untuk memberikan keadilan secara proposional.
Sidarta juga mengatakan bahwa, aksi serupa dengan tuntutan yang sama juga dilakukan di seluruh kota/kabupaten/provinsi di Indonesia yang ada basis massa buruh FSP LEM SPSI.(rsy).
0 comments:
Posting Komentar