Masa Aksi Gajayana tolak omnibuslaw |
Buruh LEM,Pemerintah-DPR dianggap tengah berupaya memecah belah kelompok penentang RUU Cilaka dengan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, atau sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka, sejak awal dikritik banyak kelompok masyarakat sipil dari berbagai sudut pandang.
Dari perspektif lingkungan, peraturan ini dianggap hanya akan memperburuk krisis iklim dan sebatas menguntungkan pengusaha batu. Bagi yang lain, peraturan ini dianggap abai terhadap kepentingan-kepentingan kaum perempuan, alis tidak berperspektif gender.
Di antara sekian banyak kritik itu, yang paling banyak disorot adalah bagian yang menyangkut ketenagakerjaan. Para serikat buruh menganggap pasal-pasal di RUU Cilaka menghilangkan banyak hak-hak mereka yang diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, mulai dari urusan cuti hingga pesangon.
Selain itu, karena RUU Cilaka mengatur perluasan sistem kerja kontrak dan outsourcing, maka buruh akan semakin mudah direkrut dan mudah pula di-PHK. Dengan kata lain, mereka akan semakin rentan.
Kritik buruh bisa dibilang juga paling nyaring di antara kelompok masyarakat lain. Selain pernyataan di media massa, serikat juga mengaktualisasikan penolakan dengan cara turun ke jalan atau demonstrasi.
Maka ketika Presiden Joko Widodo memutuskan hanya menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dan melanjutkan pembahasan klaster lain--yang totalnya ada 11--dan disetujui DPR, mereka dianggap tengah memecah belah gerakan penolak RUU. Penundaan ini sendiri diumumkan Jokowi Jumat (24/4/2020) lalu. Ketika itu ia mengatakan substansi klaster yang disusun dengan metode omnibus tersebut akan didalami hingga pasal per pasal.
"Respons ini terlihat sekadar hanya untuk menghindari tekanan massa buruh yang mengancam akan berdemonstrasi jika pembahasan terus dilanjutkan saat ini," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada reporter fsplemspsi.or.id,Selasa (28/4/2020).
Rapat terakhir terkait RUU Cilaka digelar Senin (27/4/2020) kemarin. Baleg DPR menggelar rapat bersama Ketua HIPPI Jakarta Sarman Simanjorang, Rektor Universitas Prasetya Mulya Djisman Simandjuntak, dan Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategis and International Studies (CSIS) Yose Rizal.
Buruh Tetap Menolak
Dugaan bahwa pembahasan klaster ketenagakerjaan ditunda untuk "menghindari tekanan massa buruh" nampaknya tidak efektif karena beberapa serikat tegas menyatakan tetap menolak RUU Cilaka.
Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (F SP LEM SPSI) adalah salah satu serikat yang menolak peraturan ini. Sebelum Jokowi mengumumkan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan, mereka mengancam akan turun ke jalan pada 30 April lalu. Kini rencana itu ditunda seturut dengan keputusan penundaan pembahasan.
Juru Bicara F SP LEM SPSI Jazuli mengatakan pembatalan aksi memang karena klaster ketenagakerjaan ditunda dibahas. Namun ia menegaskan tekanan kepada pemerintah tidak serta merta melemah karena serikatnya akan tetap menolak RUU Cilaka dengan alasan "banyak pasal yang mereduksi hak buruh." Kepada reporter fsplemspsi.or.id, Jazuli menuntut pemerintah tidak sekadar menunda pembahasan, tapi "cabut klaster itu dari Cipta Kerja".
Sementara Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy menegaskan serikatnya menolak RUU Cilaka karena masalah pada peraturan ini bukan hanya pada substansi dan proses penyusunan, tetapi juga intensinya yang hendak memperdalam liberalisasi ekonomi di Indonesia.
Oleh karena itulah menurutnya, RUU ini tetap merugikan pekerja, terlepas dari apakah klaster ketenagakerjaan dibahas belakangan atau bahkan dikeluarkan sama sekali--dan dibentuk jadi peraturan baru.
"Ini dampaknya bareng-bareng ke seluruh rakyat pekerja. Enggak cuma buruh, tapi juga petani, nelayan, perempuan, difabel, masyarakat adat. Itu yang akan terdampak Omnibus Law dengan ada atau tidak ada klaster ketenagakerjaan," kata Ellena kepada reporter fsplemspsi.or.id.
Salah satu poin RUU Cilaka di luar klaster ketenagakerjaan yang disoroti Ellena adalah soal lingkungan. RUU ini tidak lagi menjadikan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai syarat mutlak pendirian usaha sebagaimana sebelumnya diatur pada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. RUU Ciptaker juga membolehkan industri membuang limbah ke sungai dan laut asal mengantongi izin pemerintah.
"Kehancuran lingkungan hidup aja, kan, berdampak juga ke teman-teman pekerja," Ellena menegaskan.(obn)
0 comments:
Posting Komentar