Looking For Anything Specific?

ads header

Inilah Nasib Pekerja jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja Disahkan


Buruh,Ketua Umum FSP LEM SPSI Arif Minardi menyampaikan kajian dan analisanya jika nantinya Omnibus Law RUU Cipta Kerja disyahkan.
Paparan ini dapat mengambarkan betapa masa depan kaum pekerja/buruh semakin suram dan martabat buruh jatuih dititik nadir seperti budak.

I. Hubungan Kerja : PKWT Bebas
  1. Hubungan kerja seluruh karyawan dari seluruh level pendidikan termasuk sarjana bahkan S3 sekalipun, sebagian besar (90 %) akan berstatus PKWT (karyawan kontrak) bukan PKWTT (karyawan tetap) kecuali yang mempunyai skill khusus.Yang mempunyai skill khusus sangat jarang.
  2. Dengan angkatan kerja yang melimpah, maka dampak dari PKWT tersebut adalah seluruh perusahaan baik besar maupun kecil akan mengganti karyawan tetapnya dengan karyawan kontrak.
  3. Saat inipun sebetulnya banyak perusahaan besar yang menggunakan karyawan kontrak hampir berimbang dengan karyawan tetap. Dan direkayasa kontrak terus menerus seolah-olah sudah sesuai dengan UU. Sehingga jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, kami dapat pastikan cepat atau lambat akan diganti semua menjadi karyawan kontrak. Perkiraan kami paling lama 2 tahun dijamin sudah menjadi karyawan kontrak.
  4. Status karyawan kontrak tidak ada kepastian upah/gaji, karir, PHK bisa sewaktu-waktu tanpa pesangon, tidak ada kenaikan gaji berkala, UMP terus menerus.
  5. Tidak ada tunjangan-tunjangan kesejahteraan lainnya, jikapun ada, tidak signifikan, paling-paling hanya buat pencitraan.
  6. Tidak mempunyai daya tawar.
  7. Disinilah berlaku hukum “supply and demand”. Karena supply tinggi, tidak ada tawar menawar menjadi karyawan tetap, dan terpaksa menerima menjadi karyawan kontrak.
  8. Prinsip dan filosofi perlindungan ditujukan pada orang-orang yang tidak mempunyai daya tawar tinggi, disinilah negara harus hadir.
  9. Tidak ada peran perlindungan dari pemerintah.

II. Tenaga Alih Daya (Outsourcing)
  1. Pada dasarnya outsourcing bebas
  2. Ini akan menyuburkan praktek-praktek koruptif terutama di BUMN. Praktek outsourcing di BUMN berbeda dengan di perusahaan swasta. Perusahaan Outsourcing yang dapat kontrak dari BUMN mendapatkan keuntungan tiap karyawan berkisar Rp 500.000 – Rp 1.000.000, itu terjadi 8 tahun lalu. Kenapa mesti melalui perusahaan outsourcing, jika kontrak langsung dengan orangnya, yang bersangkutan akan tambah penghasilannya perbulan Rp 500.000 – Rp 1000.000,- itu bagi karyawan kontrak sangat berarti sekali. Ini bisa dibilang penghisapan manusia atas manusia.
  3. Pada prakteknya sama saja dengan karyawan kontrak terselubung.
  4. Relatif tidak ada perlindungan dari pemerintah.
III. Upah Minimum
  1. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tidak ada, yang ada hanya Upah Minimum Provinsi (UMP).
  2. Upah Minimum Sektoral tidak ada lagi, UMSP dan UMSK hilang.
  3. Contoh : Di Jawa Barat, UMP biasanya diambil dari UMK Kabupaten/ Kota yang terendah di Jawa Barat yaitu UMK Kab. Banjar sebesar Rp 1,8 juta, maka UMPnya adalah Rp 1,8 juta. Jadi Upah Minimum Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi Jawa-Barat Upah Minimumnya sebesar Rp 1,8 juta. UMK Kab. Karawang yang Rp 4,5 juta, Kab. Bekasi Rp 4,4 juta, dan UMK Kabupaten/Kota lainnya yang lebih tinggi dari UMP dihapus, yang berlaku dideluruh Jawa-Barat adalah UMP sebesar Rp 1,8 juta.
  4. Tujuan UMSP atau UMSK adalah agar klasifikasi perusahaan yang mempunyai kekhasan produksi dan mempunyai profit yang tinggi, sehingga karyawannya juga layak untuk mendapatkan upah lebih baik dari UMP dan UMK. Jika tidak ada pengaturan Upah Minimum Sektoral, perusahaan akan cenderung mengikuti upah minimum yang lebih rendah, walaupun sebenarnya mampu untuk membayar upah lebih tinggi. Inilah esensi dari UU, agar terjadi keseimbangan dan tidak ada kedzaliman.
  5. Ada pejabat yang mengatakan bahwa upah yang sekarang yang sudah jauh lebih besar dari UMP, tetap atau tidak turun. Itulah “oknum pejabat” yang tidak visoner. Dia tidak tahu bahwa akibat dari dibebaskannya karyawan kontrak , maka yang sekarang karyawan tetap dengan upah Rp 4,5 juta atau lebih, secara perlahan tapi pasti paling lama 2 tahun akan mulai diganti dengan karyawan kontrak dan gajinya ikut UMP (Rp 1,8 juta) atau kalaupun agar kelihatan “beradab” dilebihkan atau ditambah sekedarnya dan agar terlihat ada Struktur Dan Skala Upah. Dan seluruh perusahaan besar akan mengganti karyawannya dengan karyawan kontrak, apalagi perusahaan menengah kecil.
  6. Ada lagi Upah padat karya, yang besarannya dapat dibawah UMP.
  7. Terlihat bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dibuat serampangan, tidak profesional, seperti yang tersirat dan dinyatakan para pakar Fakultas Hukum UGM dalam buku yang berjudul “KERTAS KEBIJAKAN : CATATAN KRITIS DAN REKOMENDASI TERHADAP RUU CIPTA KERJA, Maret 2020”
  8. Masih ada lagi Upah per jam. Dengan status karyawan kontrak, dapat terjadi dia mendapat upah dibawah UMP karena dibayar berdasarkan upah per jam. Namanya juga kontrak, tergantung isi kontraknya. Dengan angkatan kerja yang melimpah, orang asal mendapatkan pekerjaan, kebanyakan orang tidak akan membaca isi kontraknya yang penting kerja dulu.
  9. Disinilah berlaku hukum “supply and demand”. Karena supply tinggi, upah rendah.
  10. Tidak ada perlindungan dari pemerintah.
  11. Prinsip dan filosofi perlindungan ditujukan pada orang-orang yang tidak mempunyai daya tawar tinggi, disinilah negara harus hadir dalam melindungi rakyatnya.
IV. PHK
  1. PHK dipermudah dan cenderung bebas.
  2. Karyawan tetap masih ada proses bargaining PHK tetapi sudah sangat lemah bargaining powernya.
  3. Karyawan kontrak tidak mempunyai daya tawar sama sekali. Apabila perusahaan menginginkan PHK, tinggal diputus saja kontraknya.
  4. Tidak ada peran dan perlindungan dari pemerintah, jikapun ada sangat kecil.
V. Pesangon
  1. Walaupun di RUU Cipta Kerja ada pasal yang mengatur besaran pesangon, akan tetapi relatif sudah tidak berguna, hanya pasal pemanis saja.
  2. Karyawan kontrak jelas tidak dapat pesangon, tinggal diputus saja kontraknya.
  3. Karyawan tetap masih dapat pesangon. Karyawan tetap dengan skill tinggi, mempunyai posisi tawar tinggi biasanya jarang sekali berpikir masalah pesangon. Jadi pasal-pasal tentang besaran pesangon, pasal-pasal tersebut hanya sebagai pemanis saja. Karena hanya perusahaan besar yang mempunyai karyawan tetap itupun jumlah karyawan tetapnya sedikit (karena sebagian besar menggunakan karyawan kontrak), dan jikapun harus membayar pesangon karyawan tetap, tidak terlalu bermasalah bagi perusahaan, karena jumlahnya sedikit.
  4. Prinsip dan filosofi perlindungan ditujukan pada orang-orang yang tidak mempunyai daya tawar tinggi, disinilah negara harus hadir.
  5. Peran dan perlindungan pemerintah sangat kecil.
VI. TKA di permudah
  1. Menurut kajian Pakar Fakultas Hukum UGM, berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan. Bahasa Pakar Hukum UGM masih halus, dalam bahasa buruh seluruh cuti tersebut dan cuti keagamaan tidak ada.
  2. Menurut kajian Pakar Fakultas Hukum UGM, pasal sweetener sulit diimplementasikan.
  3. Tenaga Kerja Asing (TKA) dipermudah untuk bekerja di Indonesia.
  4. Tidak ada sanksi pidana
Poin-poin diatas adalah inti dari orang bekerja dan bisa disebut ruhnya ketenagakerjaan. Sehingga ketika Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan otomatis memporak-porandakan ruh ketenaga-kerjaan dan sama saja dengan menghapus UU 13 Tahun 2003. Dan itu menyangkut 51 juta pekerja dan jika dengan keluarganya meliputi 80 % rakyat Indonesia. Buruh disuruh bertarung sendiri sudah tidak ada lagi peran dan perlindungan negara.
Berdasarkan uraian poin-poin tersebut, maka sangat wajar seluruh buruh sangat mengkhawatirkan dan marah jika RUU Cipta Kerja dibahas dan disahkan oleh DPR, karena sudah tidak ada lagi masa depan bagi buruh. Sangat beralasan pula jika dikatakan sama berbahayanya dengan virus corona.
Serikat Pekerja minta kepada para pemimpin negara ini, untuk merenungkan kembali RUU Cipta Kerja dan dampaknya bagi buruh. Kami yang dilapangan yang setiap hari selama puluhan tahun bergelut dengan permasalahan ketenagaankerjaan dan sangat paham 90% (sombong jika bilang 100%) juga paham tentang permasalahan yang dihadapi pengusaha, karena kami dalam mengurus permasalahan ketenagakerjaan berusaha untuk tetap fair dan jujur. Bagi kami pengusaha bukan lawan tapi mitra yang harus maju bersama-sama dengan moto, “pengusaha untung, pekerja sejahtera” bukan “modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya.
Pemerintah selalu mengatakan pekerja telah diajak bicara, ya ada benarnya, tetapi hanya formaliras bukan musyawarah dalam arti sebenarnya tapi hanya “rekayasa” untuk menggugurkan kewajiban saja.
Faktanya sebenarnya kami tidak pernah diajak bermusyawarah sebagaimana musyawarah sesuai standar musyawarah, padahal menurut etika dan UU semestinya pemerintah sebagai ketua dalam lembaga tripartit mengajak para pihak yaitu pengusaha dan pekerja diajak bermusyawarah sebelum menjadi RUU Cipta Kerja. Dugaan kuat kami bahwa draft dalam RUU tersebut 100 % dari pengusaha.
Tidak mungkin jika tim itu murni dari pemerintah menghasilkan pasal-pasal seperti yang tercantum dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang akan/sedang dibahas di DPR. (obn)

0 comments:

Posting Komentar