Makin Banyak Akademisi yang Tolak Omnibus Law, Pemerintah Mulai Goyah


Buruh,Semakin panjang deret cendekiawan dan akademisi yang menolak Omnibus Law dan membeberkan secara ilmiah dampak negatifnya terhadap kehidupan bangsa. Oleh sebab itu eksistensi Omnibus Law RUU Cipta Kerja jangan hanya ditunda sementara waktu, tak perlu bujuk rayu dan tarik ulur waktu, demi kemaslahatan segenap bangsa lebih baik langsung dibatalkan

Setelah sejumlah guru besar Fakultas Hukum UGM yang menerbitkan buku putih terkait kelemahan dan dampak negatif omnibus law RUU Cipta Kerja, kini deretan cendekiawan yang tolak itu bertambah lagi.
Sebanyak 92 akademisi seantero Tanah Air menandatangani petisi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Guru Besar Hukum dari Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menyatakan, petisi ini merupakan seruan kepada DPR dan pemerintah agar pembahasan RUU Cipta Kerja segera dihentikan.

“Kami melakukan seruan ke DPR dan pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan membahas lebih lanjut dengan masyarakat yang terkena dampak akibat RUU ini,” kata Susi dalam konferensi pers “92 Akademisi Tolak Omnibus Law’ yang disiarkan virtual (22/4/2020).

Selain substansi draf RUU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 dinilai tidak etis.
Susi menyatakan, pembentukan undang-undang harus tunduk pada nilai etik dan moral.
“Penyelenggaraan negara, termasuk pembentukan undang-undang, tidak hanya berlandaskan pada norma konstitusi dan undang-undang, melainkan tunduk pula pada nilai-nilai etik atau moral,” ujar dia.

“Adalah tidak etis bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU yang sarat akan keberatan masyarakat di tengah situasi pandemi,” imbuh Susi.
Ia menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk didengar dalam penyelenggaraan negara.
Pelibatan publik dalam pembahasan RUU bukan sekadar syarat pemenuhan prosedur, tetapi mesti dipahami sebagai bagian dari hak asasi masyarakat.

“Dalam ajaran HAM, rakyat punya hak untuk didengar. The right to be heard, the right to complain, dan sebagainya. Prosedur ini adalah HAM, bukan sekadar prosedur,” tegas dia.
Dalam konferensi pers itu turut hadir Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalan Yonariza, peneliti hukum Devi Rahayu dan peneliti hukum Haris Retno Susmiyati. Selain itu, juga hadir ahli hukum lingkungan Andri Wibisana.

Petisi online di kalangan akademisi itu, disebarkan pada Maret-April 2020. Sebanyak 92 akademisi yang menandatangani petisi, terdiri dari tiga profesor yang dua di antaranya adalah guru besar, 30 doktor, 57 magister, dan dua sarjana.(obn)

Komentar