PKS Sebut Kartu Pra Kerja Jokowi Berpotensi Gagal Saat Corona

Calon Presiden inkumben nomor urut 01, Joko Widodo atau Jokowi menunjukkan kartu Pra Kerja saat berpidato dalam kampanye terbuka di Lhokseumawe, Aceh, Selasa, 26 Maret 2019. kampanye ini dihadiri ribuan pendukung, parpol pengusung, dan para ulama

Buruh, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani, menyoroti program Kartu Prakerja yang diluncurkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menanggulangi dampak wabah Covid-19.
Netty menilai pelaksanaan program tersebut di tengah pandemi virus Corona ini rawan penyelewengan dan penyimpangan. "Kondisi ini rawan penyelewengan dan penyimpangan oleh oknum yang ingin mengail di air keruh, baik untuk kepentingan keuntungan finansial atau pun membangun pencitraan," kata Netty ketika dihubungi, Jumat, 10 April 2020.
Netty mengatakan salah satu alasannya karena anggaran untuk program Kartu ini naik dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020.
Padahal, kata dia, program tersebut sebenarnya masih didiskusikan di DPR. "Sebenarnya, program Kartu Prakerja ini masih menjadi bahan diskusi di DPR terkait konsep dan implementasinya," kata Netty.
Apalagi, Netty mengatakan, program ini digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang tidak memiliki mitra di DPR dan tidak melakukan fungsi teknis.
Kartu Prakerja dengan anggaran Rp 20 triliun itu diasumsikan akan dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat di tengah wabah Covid-19 saat ini. Pemerintah menyatakan ada 5,6 juta penerima manfaat program ini.
Namun Netty menyebut ada kondisi lain di lapangan yang luput dari perhatian masyarakat, misalnya tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang makin tinggi akibat Covid-19. Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja, kata Netty, ada 2.311 orang korban PHK dan 9.183 orang buruh yang dirumahkan.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 7,05 juta pengangguran per Agustus 2019. Ada pula calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang batal berangkat atau pekerja yang terpaksa kembali karena negara tempatnya bekerja mengalami lockdown karena pandemi Covid-19.
Netty pun meminta pemerintah mempertimbangkan setidaknya lima hal berikut. Pertama, perbandingan jumlah pencari kerja dengan warga korban PHK dan dan terdampak Covid-19. Kedua, proses rekrutmen yang adil dan merata.
Ketiga, mekanisme pelatihan di masa pembatasan interaksi sosial dan fisik di tengah kondisi pandemi saat ini, termasuk bagaimana kesiapan Balai Latihan kerja, infrastruktur, dan instrukturnya. Keempat, jenis pelatihan yang efektif diselenggarakan di situasi sekarang.
Kemudian yang terakhir ialah keterjangkauan program Kartu Prakerja untuk pekerja di sektor informal seperti pengemudi ojek online, sopir angkot, pekerja bangunan, pedagang keliling, dan orang-orang di kawasan pedesaan yang belum tentu akrab dengan teknologi jika pelatihan diselenggarakan secara online.
"Seharusnya pemerintah menyiapkan dengan matang dan tidak tergesa-gesa menentukan calon peserta atau penerima manfaat," ujar Netty.
Netty juga menyoroti penunjukan perusahaan swasta sebagai penyedia pelatihan online program Kartu Prakerja tersebut. Menurut Netty, penunjukan itu harus tetap dilakukan secara profesional dan transparan mengingat anggaran yang disediakan amat besar.
Ada delapan perusahaan yang ditunjuk pemerintah menjadi provider pelatihan online. Yakni Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, Maubelajarapa, BUkalapak, Pintaria, Sekolahmu, Kemenaker, dan Pijar Mahir.
Atas kondisi yang disebutnya rawan penyimpangan dan penyelewengan tersebut, Netty mendesak agar pemerintah transparan dan membuka ruang pengawasan dalam proses rekrutmen, distribusi, dan penyalurannya. Dia juga mendorong pemerintah daerah dilibatkan. "Pelaksanaan program harus transparan, adil dan jujur. Jangan lupa beri akses masyarakat untuk turut mengawasi," ujar dia.

Komentar