IDI angkat Bicara Peraturan Baru BPJS Kesehatan


FSP LEM SPSI, Dampak Kebijakan Baru BPJS Kesehatan yang membatasi layanan penyakit sebagai upaya penanggualangan defisit, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yakni nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018.yang mulai berlaku tanggal 21 Juli 2018 terkait maternity, pasien katarak, dan pelayanan rehab medik seperti yang pernah BPJS Online Bahas dalam artikel Polemik Layanan Fisioterapi dan Penarikan Petugas Verifikator

Keputusan ini langsung mendapat kecaman serta beragam respon dari berbagai kalangan salah satunya dari Ikatan Dokter Indonesia ( IDI ).

Menurut IDI aturan tersebut beresiko merugikan masyarakat dalam berbagai hal dan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.

Hal tersebut seperti yang di ungkapkan oleh ketua umum PB IDI Prof. dr. Marsis SpOG seperti yang BPJS Online kutip dari halaman viva.co.id

“Kami berpendapat implikasi penerapan Perdirjampel (Peraturan Dirjen Jaminan Pelayanan) BPJS Kesehatan No 2,3 Dan 5 Tahun 2018 akan merugikan. Karenanya perbaikan sistem pembayaran harus ditingkatkan,” ungkapnya di kantor IDI Menteng Jakarta Pusat, Kamis 2 Agustus 2018.

Dalam Perdirjampel BPJS Kesehatan no. 2, 3 dan 5 tahun 2018 tersebut berisi tentang beberapa poin,

  1. Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan.
  2. Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota
  3. Tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu (8 kali dalam 1 bulan).Menurut IDI hal itu sangat bertentangan karena semua kelahiran harus mendapatkan penanganan yang optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat bahkan kematian. Selain itu, kebutaan katarak di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia. Perdirjampel nomor 2 dengan quota akan mengakibatkan angka kebutaan semakin meningkat.

“Kebutaan menurunkan produktivitas dan meningkatkan risiko cedera dalam melakukan aktivitas sehari-hari.”

Selain itu, ia menambahkan pasien yang hanya mendapat pelayanan rehabilitasi medik maksimal 2 kali per minggu akan dirugikan karena hal tersebut tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik dan akibatnya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi.

“Semestinya defisit BPJS tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan,” tambahnya.

Lebih lanjut, IDI juga menginisiasi terbitnya peraturan presiden tentang iur/urun biaya sesuai amanah UU nomor 40 tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Masyarakat berhak mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas. Sesuai perpres nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25 yaitu semua jenis penyakit di atas harusnya dijamin oleh BPJS Kesehatan.”

Namun melalui halaman resminya BPJS Kesehatan menyatakan bahwasannya 3 peraturan tersebut di ambil guna memastikan para peserta program JKN-KIS memperoleh jaminan kesehatan yang bermutu , efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan keberlangsungan program JKN-KIS.(usm)

Sumber : https://www.bpjs-online.com/idi-angkat-bicara-perihal-3-peraturan-baru-bpjs-kesehatan/

Komentar