SIARAN PERS GEKANAS 27 SEPTEMBER 2016


SIARAN PERS GEKANAS  27 SEPTEMBER 2016


MAHKAMAH KONSTITUSI HARUS MENOLAK UPAYA MEMPERPANJANG MASA JABATAN HAKIM AD HOC PHI HINGGA USIA PENSIUN YANG AKAN MENGHILANGKAN PERAN KETERWAKILAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UUD Tahun 1945 dalam Pasal 25 telah dengan tegas menyatakan bahwa, Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian, Pasal 1 angka 9 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.

Karena itu, Pasal 67 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tenang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang mengatur masa tugas Hakim Ad Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, sudah sejalan dengan Pasal 25 UUD Tahun 1945 dan Pasal 1 angka 9 UU No. 48 Tahun 2009.

Oleh karenanya, bagi seorang Hakim Ad Hoc PHI yang memohon kepada Mahkamah Konstitusi melalui Yudicial Review dengan Register perkara No. 49/PUU-XIV/2016 untuk membatalkan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI dan meminta masa tugasnya menjadi tetap sampai dengan usia pensiun, merupakan Pengkhianatan kepada organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang mencalonkannya untuk menjadi Hakim Ad Hoc PHI, dan menutup ruang bagi kader-kader serikat pekerja/serikat buruh untuk dapat pula menjadi hakim karena harus menunggu adanya hakim yang pensiun.

Lebih dari itu, dalam praktek perburuhan, peran elemen perwakilan pengusaha, pemerintah, dan pekerja/buruh, sering disebut tripartite, menjadi penting karena kompleksitasnya permasalahan yang ada dan perlu diisi oleh orang yang memang merupakan perwakilan dari elemen tersebut.

Urgensi peran fungsi keterwakilan ini lah menjadi dasar pembeda dan jantung daripada Pengadilan Hubungan Industrial itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 63 ayat (2) UU PPHI yang mengamanatkan calon Hakim Ad-Hoc didasarkan pada usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha, dan Pasal 67 ayat (1) huruf f  UU PPHI  yang  mengamanatkan  Hakim Ad-Hoc  Pengadilan

Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung dapat diberhentikan dari jabatannya atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan.

Secara keseluruhan, tegasnya, GEKANAS dengan ini menyatakan sikapnya:

  1. Meminta majelis Hakim MK dalam perkara No. 49/PUU-XIV/2016 tidak menerima seluruh permohonan pengujian Pasal 67 ayat (2) UU PPHI;
  2. Meminta Majelis Hakim MK Menolak seluruh permohonan pengujian Pasal 67 ayat (2) UU PPHI.


MURNIKAN KEMBALI PANCASILA DAN KEMBALI KE UUD TAHN 1945 (ASLI)
BATALKAN NAFTA, CAFTA DAN MEA
CABUT PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 (asli) telah dengan tegas menyatakan bahwa, Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tapi kemudian, 4 (empat) kali Amandemen UUD 1945 oleh MPR RI pada 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah mengubah sistem ekonomi yang anti kolonial yang berwatak kerakyatan menjadi sistem ekonomi liberal yang mengabdi kepada asing. Pembangunan Indonesia yang sebelumnya dipandu oleh GBHN,  dipaksa berada di bawah komando lembaga keuangan internasional World Bank, ADB, organisasi perdagangan multinasional WTO, BIT, yang menyebabkan ekonomi nasional mengabdi pada rezim pasar bebas.

Dengan berlakunya pasar bebas yang sebebas-bebasnya, semakin meningkatnya penguasaan asing terhadap kekayaan nasional. Hampir seluruh sumber daya alam dikuasai asing. Segala cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara berdasarkan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, nyatanya banyak dikuasai pihak asing. Sampai-sampai orang asing pun diberikan hak memiliki tanah di negara Indonesia. Tenaga kerja asing dengan bebas masuk ke pasar kerja di dalam negeri. Akibatnya, rakyat Indonesia hanya menjadi tamu asing di negerinya sendiri.

Negara telah kehilangan visi dan tujuannya untuk membangun Republik Indonesia sebagai Walfare State. Para pemegang kekuasaan kehilangan kemuliaannya, moralitasnya dan kewibawaannya. Kelima asas Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia telah tercabik-cabik sebagai akibat dari para penyelenggara negara tidak lagi membangun bangsa ini berdasarkan ideologi Pancasila, tetapi hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, serta secara sadar Patuh dan Tunduk di bawah kendali kekuatan asing.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional seperti, NAFTA, CAFTA dan MEA, mengakibatnya lahirnya kolonialisme dan imperaliasme gaya baru yang berakibat terpinggirkannya hak-hak rakyat pada umumnya, dan hak pekerja/buruh pada khususnya.

PP NO. 78 TAHUN 2015 ADALAH PELECEHAN HUKUM OLEH PEMERINTAH

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu bahwa penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut, Pasal 88 ayat (2) menugaskan pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Tapi faktanya, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, menunjukkan bahwa Pemerintah semakin memperkuat kebijakan upah murah. Pemerintahan Jokowi  Jusuf Kalla secara nyata-nyta melanggar komitmennya sendiri yang tertuang dalam NAWACITA untuk menjalankan TRILAYAK (Kerja Layak, Upah Layak dan Hidup Layak).

Dalam membentuk PP No. 78 Tahun 2015, Pemerintah telah dengan sengaja menginjak-injak konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan, seperti:

  • Melanggar Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945;
  • Melanggar Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan;
  • Melanggar UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  • Bertentangan dengan Konvensi ILO No. 144 Mengenai Konsultasi Tripartit yang telah diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keppres No. 26 Tahun 1990.
  • Bertentangan dengan Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.

Pelecehan Pemerintah terhadap pekerja/buruh Indonesia yang dilegalkan melalui PP No. 78 tahun 2015, antara lain:

  1. Kebutuhan hidup layak (KHL) hanya diukur untuk pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Itu artinya, pekerja/buruh Indoensia disamakan dengan hewan yang hanya memerlukan kebutuhan fisik saja. Padahal undang-undang dengan secara tegas menyatakan bahwa, KHL untuk pekerja dan keluarganya;
  2. PP Pengupahan ini sama sekali tidak mengatur KHL Pekerja Lajang (PL), Pekerja berkeluarga (K0), Pekerja dengan satu anak (K1), Pekerja dengan dua anak (K2) dan Pekerja dengan tiga anak (K3), yang mestinya diatur oleh Pemerintah dalam melindungi pekerja dan keluarganya;
  3. Penetapan upah minimum hanya dihitung menggunakan formula penetapan upah minimum menurut cara Pemerintah sendiri tanpa melibatkan sama sekali unsur-unsur lainnya dalam Dewan Pengupahan Daerah. Pemerintah telah dengan sengaja mengesampingkan dan/atau menghilangkan peranan Dewan Pengupahan Daerah yang keberadaannya diatur dalam perundang-undangan;
  4. Untuk mempertahankan Politik Upah Murah bagi pekerja/buruh Indonesia, Pemerintah mengesampingkan hasil survei KHL yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengupahan Daerah. Dengan meniadakan survei pasar dan menghapus peranan Dewan Pengupahan dalam penentuan upah minimum, maka sesungguhnya upah minimum tersebut ilegal dan tidak demokratis. Rumusan formulasi upah minimum yang kenaikannya hanya ditentukan oleh faktor ekonomi dan inflasi saja adalah sangat merugikan pekerja/buruh karena hanya menggunakan pendekatan kenaikan upah berbasis angka semu bukan berbasis kemampuan daya beli.
  5. PP No. 78 tahun 2015 merupakan cerminan peranan pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk mensejahterakan pekerja/buruh dengan menghilangkan peran dewan pengupahan dalam menetapkan upah minimum sektor;
  6. Proses Pembentukan PP Pengupahan secara formil tidak pernah terjadi pembahasan yang komprehensif dengan stakeholder terkait, yakni kaum pekerja/buruh. Dengan tidak ada serap aspirasi perihal pembentukan PP tersebut maka pemerintah telah melanggar syarat proses pembuatan perundang-undangan yang diatur dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-undang tersebut menegaskan bahwa, masyarakat atau pihak terkait dapat memberikan masukan baik secara lisan atau tertulis dengan syarat draft peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini Rancangan dari PP Pengupahan tersebut harus dipublikasikan/disosialisasikan terlebih dahulu.

Dengan tidak dipublikasikan/disosialisasikan dan dengan tidak dilibatkannya pekerja/ buruh dalam pembuatan PP Penguapahan terebut, maka Pemerintah telah melanggar salah satu asas pembentukan PP Pengupahan, yakni Asas Keterbukaan. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, bahwa asas adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi peraturan hukum (ratio legis) dan pada akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum.

TUNTUTAN PEKERJA/BURUH INDONESIA KEPADA PEMERINTAH:

Berdasarkan pokok-pokok fikiran sebagaimana terurai di atas, maka dengan ini Pekerja/Buruh Indonesia menuntut kepada Pemerintahan Nagara Indonesia, sebagai berikut:

  1. Negara harus memurnikan kembali Pancasila dan Kembali ke UUD Tahun 1945 (asli).
  2. Pemerintah harus segera membatalkan NAFTA, CAFTA dan MEA, karena sudah terbukti telah merugikan bangsa, rakyat dan pekerja/buruh Indonesia.
  3. Pemerintah harus secepatnya mencabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, karena dalam pembuatan telah melanggar UUD Tahun 1945 dan Perundang-undangan, serta merugikan pekerja/buruh Indonesia.
  4. Apabila tuntutan pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tidak dindahkan oleh Presiden RI, maka GEKANAS akan menyampaikan SOMASI kepada Presiden RI.

Hormat kami;
PRESIDIUM GEKANAS

R. Abdullah
Sjaiful D.P.
Arif Minardi
Indra Munaswar 
Mustakim Ishak 
Bayu Muryanto 
German A. 


Komentar