Looking For Anything Specific?

ads header

Ribuan Buruh Kepung DPR Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja

Masa Aksi datangi gedung Wakil Rakyat menuntut pencabutan Undang-undang Omnibuslaw
 

Jakarta — Ribuan buruh atau pekerja dari FSP LEM SPSI dan Aliansi Serikat Pekerja Daerah Jabar, Banten, dan DKI berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Rabu (26/1/2022).

Massa meminta DPR untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh.

“Penyebab kami melakukan aksi unjuk-rasa adalah karena Pemerintah tidak menaati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 91/PUU-XVIII/2020, bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat,” kata Ketua Umum DPP FSP LEM SPSI, Arif Minardi, dalam siaran persnya.

Dijelaskannya, hal ini terbukti dari masih digunakannya PP No. 36 Tahun 2021 Tentang Upah Minimum. Padahal, kata Arif, jelas sekali putusan MK pada diktum nomor 7 memerintahkan pemerintah untuk menunda/menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.

“Di dalam pasal 4 ayat (2) PP 36 Tahun 2021 tersebut jelas dinyatakan bahwa pengupahan adalah program strategis nasional,” tegas Arif.

Putusan MK yang menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Salah satu alasan terpenting adalah UU tersebut melanggar asas dalam pembentukan undang-undang.

“Dengan demikian, perbaikan undang-undang ini harus dimulai dari awal seperti pembuatan/pembentukan undang-undang baru, yaitu harus melibatkan seluruh pihak-pihak yang terkait, dan tidak mungkin perbaikannya hanya melalui revisi UU 12 Tahun 2011 Tentang PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Apakah mungkin merevisi azas. Yang jelas harus dimulai dari awal lagi, tidak semudah dan se-pragmatis dengan melegitimasi UU Cipta Kerja tersebut melalui revisi UU No 12 Tahun 2011 Tentang PPP,” tukasnya.

“Apabila hal ini dilakukan maka Pemerintah dan DPR secara bersama-sama telah melakukan Abuse of Power,” tandas Arif Minardi.

Seharusnya, kata dia, ada perbedaan perlakuan antara tenaga kerja dan pemilik perusahaan (investor), dimana tenaga kerja adalah masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dari negara, karena biasanya tenaga kerja tidak mempunyai posisi tawar yang baik.

“Sedangkan pemilik perusahaan (investor) relatif tidak terlalu membutuhkan perlindungan negara, terutama dalam hubungan kerja, biasanya pengusaha lebih superior. Oleh karenanya, klaster ketenagakerjaan wajib dikeluarkan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, karena merupakan ranah perlindungan,” bebernya.

Arif menegaskan, FSP LEM SPSI bersama dengan Aliansi Serikat Pekerja Daerah Jawa-Barat, Banten, dan DKI Jakarta mengadakan unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI.

Tuntutan dalam aksi tersebut adalah batalkan UU No. 11 Th. 2020 Tentang Cipta Kerja, Tolak Revisi UU No. 12 Th. 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan, dan Revisi Keputusan Gubernur Tentang Upah Minimum Yang Berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021.(obn)

0 comments:

Posting Komentar