PRESS
RELEASE
PENYATAAN SIKAP FSP LEM SPSI
ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 54/PUU-XXI/2023
Sehubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
diucapkan pada hari Senin, tanggal 2 Oktober 2023 atas permohonan judicial
review atas UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, sebagaimana dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 54/PUU-XXI/2023, yang juga bersamaan
dibacakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 40/PUU-XXI/2023, Nomor : 41/PUU-XXI/2023,
Nomor : 46/PUU-XXI/2023, dan Nomor : 50/PUU-XXI/2023, yang dalam
amar putusannya menyatakan “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”.
Setelah mencermati dengan seksama keseluruhan putusan
Mahkamah Konstitusi dimaksud dan berdasarkan hasil rapat Pengurus DPP FSP LEM
SPSI pada hari Rabu, tanggal 4 Oktober 2023, dengan ini DPP FSP LEM SPSI
menyampaikan Pernyataan Sikap sebagai berikut:
1.
Bahwa
DPP FSP LEM SPSI menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi atas permohonan judicial review UU No. 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
Menjadi Undang-Undang. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semakin
menegaskan pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia secara nyata menunjukkan sikap
dan/atau tindakan arogansi dalam pembentukan hukum. Pembentuk Undang-Undang
secara ugal-ugalan melakukan segala upaya untuk memastikan eksistensi CIPTA
KERJA; yang dimulai sejak UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, PERPPU No.
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang.
2.
Bahwa
secara nyata alasan penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sebagai cikal bakal UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang semata didasari
imajinasi akan potensi adanya krisis ekonomi global, yang kemudian dimaknai
sebagai kondisi “kegentingan memaksa” atau “kedaruratan mendesak”,. Dikatakan
sebagai “imajinasi” sebab di saat bersamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menunjukkan tren pertumbuhan yang positif mencapai 5,27% dan kondisi inflasi
yang terkendali.
Disisi lainnya,
sebagaimana pernyataan Pemerintah melalui kementerian dan lembaga yang terkait,
dan dengan mencermati berbagai analisis ekonomi yang relevan, semua bersepakat
bahwa mengingat fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, maka bangsa Indonesia tidak
berdampak pada potensi krisis global sebagaimana yang di imajinasikan oleh
Presiden dalam menerbitkan PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
3.
Bahwa
Mahkamah Konstitusi juga memperlihatkan sikap yang tidak konsisten dalam
keseluruhan pertimbangan hukum dengan mengabaikan fakta-fakta yang diajukan
Pemohon. Keseluruhan pertimbangan hukum yang mendasari ditolaknya permohonan judicial
review tanpa mengelaborasi dalil dan bukti yang diajukan Pemohon secara
berimbang. Mahkamah Konstitusi hanya mencari argumentasi pembenaran atas dalil
pembentuk Undang-Undang untuk memuluskan eksistensi UU No. 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang.
4.
Bahwa
ketidakkonsistenan Mahkamah Konstitusi juga tampak dalam mengabaikan
keseluruhan pertimbangan hukum dan amar putusan Mahkamah Konstitusi No.
91/PUU-XVIII/2020. Bahwa secara nyata Mahkamah Konstitusi berusaha memberikan
pemaknaan yang baru atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Bahwa dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, secara spesifik Mahkamah
Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang agar dalam melakukan
perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga melakukan
perbaikan terhadap substansi Kluster Ketenagakerjaan yang merampas hak
konstitusional pekerja/buruh dan banyak diajukan permohonan pengujian materiil.
Hal ini sama sekali tidak nampak dalam PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja maupun UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
5.
Bahwa
ketidakkonsistenan Mahkamah Konstitusi juga nampak dalam membangun argumentasi
hukum dalam pemaknaan terhadap limitasi waktu persetujuan DPR atas PERPPU yang
hanya mendasarkan pada ketentuan:
Pasal 52 ayat (1) UU
12/2011 “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.”
Seharusnya
mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 “Peraturan
Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.”
Bahwa frasa “diajukan”
dengan “mendapat persetujuan” mempunyai makna yang sangat berbeda.
Ketika terdapat pertentangan norma hukum yang demikian, Mahkamah Konstitusi
seharusnya mengesampingkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 karena
bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Bahwa dengan demikian
jika mendasarkan pertimbangan hukum pada ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945,
maka seharusnya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang tidak memenuhi
syarat waktu untuk mendapatkan persetujuan DPR karena melampaui limitasi waktu
yang dimaknai secara ketat dalam historis pengesahan PERPPU menjadi
Undang-Undang dalam praktik bernegara hukum di Republik Indonesia.
6.
Bahwa
DPR telah gagal dalam menjalankan fungsi kontrol dalam kaitannya dengan
persetujuan pengundangan PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU
No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. DPR yang seharusnya merupakan representasi kepentingan rakyat kehilangan
jati diri dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat.
7.
Pemerintah
Republik Indonesia dan DPR tidak menunjukkan keberpihakan kepada nasib
masyarakat Indonesia yang terdampak secara negatif atas eksistensi UU No. 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang
Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, terutama kepada kaum pekerja/buruh yang
menjadi pihak yang paling dirugikan atas UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang. Pemerintah dan DPR lebih mementingkan kepentingan pemilik modal.
Secara nyata substansi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang lebih
menguntungkan kepentingan pemilik modal dengan merampas hak konstitusional
warga negara, terutama kaum pekerja/buruh dalam Kluster Ketenagakerjaan.
8.
Bahwa
mengingat dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020 (paragraf 3.21) dan Putusan Provisi Mahkamah
Konstitusi dalam perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang menegaskan : “Menyatakan
untuk melanjutkan pemeriksaan pengujian materiil dalam perkara a quo”, maka
DPP FSP LEM SPSI mendesak Mahkamah Konstitusi agar sesegera mungkin melakukan
pemeriksaan materiil terhadap UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
9.
Bahwa
di atas semua pernyataan sikap yang disampaikan di atas, sebagai bagian dari
kelompok masyarakat yang merasa sangat dirugikan hak konstitusionalnya, dan
mengingat keberadaan undang-undang ini melegitimasi penumpukan kekayaan negara
dan penguasaan sumber daya alam hanya pada segelintir pemilik modal, kami mendesak
Presiden Republik Indonesia dan DPR untuk secara bersama-sama mencabut UU No. 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 Tentang
Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan untuk
diketahui oleh Mahkamah Konstitusi, Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, segenap masyarakat Indonesia dan
khususnya kepada segenap kaum pekerja/buruh.
0 comments:
Posting Komentar