Looking For Anything Specific?

ads header

Puasa dan produktivitas kerja



Baporlem 20/06/2015
Hemat saya produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja.Dalam pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif  menilai produktivitas dan produktif adalah sikap mental. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dia akan istiqomah dengan sabda Allah  dalam surat Al’Asr yang intinya kira-kira bermakna ”Amat rugilah manusia yang tidak memanfatkan waktunya untuk berbakti/amal soleh”.

Jadi  kalau seseorang bekerja/beribadah termasuk ketika puasa, dia akan selalu berorientasi pada produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dia tidak terganggu oleh rasa lapar karena puasa. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan bertindak produktif. Itulah yang disebut budaya kerja positif (produktif) .

Budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen:
(1) pemahaman substansi dasar              tentang bekerja,
(2) sikap terhadap pekerjaan,
(3) perilaku ketika bekerja,  
(4) etos kerja dan
(5) sikap terhadap waktu.  
Bekerja seharusnya dipandang sebagai ibadah, kehidupan, panggilan jiwa, aktualisasi diri dan kesucian. Sebagai ibadah, bekerja dinilai sebagai tanda rasa syukur kepada Allah atas kehidupan yang dijalaninya.Bekerja dilakukan secara ikhlas semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah. Sebagai kehidupan, hidup diabdikan dan ditujukan untuk beribadah/bekerja sesuai dengan ajaran agama. Sementara sebagai panggilan jiwa, bekerja harus didasarkan pada  pengabdian secara profesional dan efisiensi waktu. Sebagai aktualisasi diri, bekerja terkait dengan peran, impian atau cita-cita dan keinginan kuat si pelakunya. Selain itu bekerja dipandang  sebagai sesuatu aktifitas padat dengan kesucian. Artinya ia harus dijaga dan tidak terkontaminasi oleh  perbuatan ingkar, mungkar, dan dosa-dosa lainnya seperti korupsi dan kezaliman. Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif?

Saya menduga budaya kerja produktif di Indonesia,  belum merata termasuk di kalangan umat islam. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Pemahaman umat tentang makna bekerja sebagai panggilan agama masih jauh dari harapan. Padahal Islam mengajurkannya seperti terungkap dalam sabda Allah ” Bekerja (keras)lah kamu sekalian” (At-Taubah:105). Bahkan di sebagian pekerja, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman pekerja tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini pulalah juga agaknya yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif. Perusahaan belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah pekerja tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan.Ditambah dengan rata-rata pendidikan pekerja yang relatif masih rendah maka produktivitas pun  rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan negara-negara Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Mengapa bisa seperti itu?

Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik pekerja, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja  di Indonesia relatif rendah karena memang   rendahnya faktor-faktor kualitas fisik,  tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari pekerja. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.

Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar  para pekerja mampu mencapai produktivitas yang  standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) pekerja menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Hal ini sangat relevan dikaitkan dengan  hadist yang diriwayatkan Imam Hasan. Maknanya kira-kira:”beribadahlah kamu namun jangan mengabaikan  ilmu pengetahuan, carilah ilmu pengetahuan tetapi jangan mengabaikan ibadah”. Hadist itu kental dengan pesan tentang  etos kerja dan etos ilmu pengetahuan yang perlu dimiliki oleh setiap individu pekerja di Indonesia dengan seimbang. Dengan kata lain umat dalam keadaan apapun termasuk ketika menjalankan ibadah puasa terdorong untuk  bekerja keras secara cerdas. Puasa itu menyehatkan ruhani dan jasmani.  

Sumber: ronawajah.WordPress.com

Posted via Blogaway


0 comments:

Posting Komentar