Baporlem 20/02/2015
Akhir-akhir ini buruh sering turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi menuntut kesejahteraan.Dari berbagai tuntutan yang ada, kenaikan gaji selalu jadi isu pokok. Persoalan selalu berulang dan solusi yang diberikan selalu bersifat sementara.
Mereka yang berpunya diwakili oleh para pengusaha tak ingin keuntungan perusahaannya berkurang karena kenaikkan gaji. Sementara mereka yang tak berpunya diwakili oleh para buruh ingin mendapatkan lebih dari apa yang mereka terima saat ini.
Begitu gaji dinaikkan, tingkat inflasi turut naik. Harga-harga kebutuhan pokok ikut meroket bersamaan dengan naiknya komponen biaya gaji. Hidup yang semakin mencekik akibat inflasi tak dapat dimoderasi. Demo sudah pasti akan berulang, dan dalam ekskalasi tertentu dapat menggelinding menjadi bola besar konflik politik yang mengancam distabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masalah Paradigma
Dalam paradigma hubungan ketenagakerjaan yang memandang buruh sebagai asset perusahaan selalu tempatkan buruh sebagai alat produksi untuk ciptakan laba. Dalam paradigma ini, kenaikan upah akan selalu dipandang oleh perusahaan sebagai beban semata.
Perusahaan dalam hal ini akan terus jadikan buruh sebagai tumbal perusahaan. Gaji mereka akan terus ditekan serendah-rendahnya agar keuntungan didapat sebesar-besarnya. Untuk menjaganya kelas buruh menejerial diberikan gaji tinggi untuk amankan kebijakan dan target laba perusahaan.
Regulasi yang dibuat pemerintah mengenai upah minimum adalah produk kebijakan yang mengukuhkan paradigma ini. Gaji buruh dibatasi sekedar dapat penuhi biaya hidup minimum. Tidak didasarkan pada pembagian adil sesuai proporsi kapasitas perusahaan hasilkan barang/jasa.
Untuk mengakhirinya, jalan keluar harus dicari, dan carannya adalah : keluar!. Keluar dari paradigma lama. Buruh harus kita pandang sebagai mitrakerja. Dalam hal ini pengusaha adalah pihak penyedia modal bukan pemberi kerja. Sedangkan buruh sebagai penyedia tenaga bukan pihak yang diberi kerja. Mereka adalah mitra sejajar dalam bekerja. Persamaan ini harus terjadi sebagai prasyarat pokok.
Sebagai mitra harus libatkan buruh dalam pengambilan keputusan perusahaan di tempat mereka bekerja. Dalam era transparansi saat ini, adalah kewajiban perusahaan untuk sampaikan seluruh laporan manajemen dan keuangan perusahaan secara terbuka. Mereka juga harus diberikan penjelasan mengenai berapa proporsi biaya gaji yang dikeluarkan perusahaan dari komponen biaya perusahaan lainya.
Dalam pola kemitraan sejajar yang adil, buruh baiknya menerima gaji bukan dari batas upah minimum namun dari besarnya proporsi komponen biaya yang dialokasikan. Sebut saja misalnya 40 persen dari komponen biaya operasional keseluruhan.
Dari komponen biaya gaji yang ada, juga penting diatur dalam pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah. Gaji tertinggi yang diterima oleh top manajer tidak boleh lebih dari sepuluh kali lipat gaji pekerja terendah. Masukkan kesejahteraan pekerja tanpa pandang kelas sebagai bagian dari tujuan sentral perusahaan.
Buruh sebaiknya diajak bicara mengenai tanggungjawab perusahaan secara berimbang. Hentikan memperlakukan buruh semata sebagai mesin kerja. Mereka adalah manusia yang harus dihargai martabatnya dan tempatkan mereka sebagai subyek dalam rangka capaian kinerja perusahaan.
Keterlibatan buruh ini tentu bukan semata terlibat dalam aktivitas pengambilan kebijakan menejemen. Mereka secara riel juga sebaiknya turut diberikan peluang untuk memiliki saham perusahaan dalam pola kepemilikan saham oleh buruh (employee share ownership programe). Sehingga tanggungjawab buruh turut meningkat dan keberlangsungan serta masa depan perusahaan turut terjamin.
Sumber bahan www.suroto.net
0 comments:
Posting Komentar