KETUA DPD FSP LEM SPSI JABAR TOLAK PENETAPAN UPAH 8.03% SESUAI PP 78

Ir. M. Sidarta Ketua DPD FSP LEM SPSI Propinsi Jabar

FSP LEM SPSI- Ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Jawa Barat Tolak Surat Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : B.240/M-NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2018 Tentang Permintaan : Penetapan Upah Minimum Sesuai PP 78/2015 tanggal 19 Oktober 2018.

Surat Menteri Tenaga Kerja tersebut, meminta agar Gubernur seluruh Indonesia menetapkan upah minimum sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78 .Tahun 2015). Ditanggapi beragam oleh serikat pekerja/serikat buruh.

Salah satunya, Ketua  DPD FSP LEM SPSI Provinsi Jawa Barat Muhamad Sidarta, ia mengaku dari awal lahirnya PP 78/2015, pihaknya menyatakan menolak upah minimum yang ditetapkan berdasarkan formula PP 78/2015, pasalnya rumus formula PP78/2015 tersebut, menghilangkan survey harga pasar terhadap 60 item komponen kebutuhan hidup layak yang sesungguhnya, sebagai dasar penetapan upah minimum serta menghilangkan peran dan fungsi Dewan Pengupahan di kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia.

Hal ini. Menurut Sidarta, PP 78/2015 bertentangan dengan makna maupun semangat UUD 1945 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang menyatakan, bahwa :

UUD 1945 Pasal 27 ayat (2)  Tiap-tiap  warga  negara  berhak  atas  pekerjaan  dan  penghidupan  yang  layak  bagi  kemanusiaan.  Kemudian Pasal 28D ayat (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil  dan layak dalam hubungan kerja.**)  dan Pasal 28H ayat (1) Setiap  orang  berhak  hidup  sejahtera  lahir  dan  batin,  bertempat  tinggal,  dan  mendapatkan  lingkungan  hidup  yang  baik  dan  sehat  serta  berhak  memperoleh  pelayanan kesehatan.**)   

Undang-undang ketenagakerjaan nomor 13, tahun 2003 mengatur lebih jelas dan tegas dengan beberapa pasal tentang upah dan penghidupan layak yang menjadi tanggungjawab pemerintah, diantaranya :

Pasal  88
(1)  Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a.  upah minimum;
b.  upah kerja lembur;
c.  upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.  upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e.  upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f.  bentuk dan cara pembayaran upah;
g.  denda dan potongan upah;
h.  hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i.  struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.  upah untuk pembayaran pesangon; dan
k.  upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Pasal  89
(1)  Upah minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf  a dapat terdiri dari atas :
a.  upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.  upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2)  Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal  98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2)   Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal  102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, kami menuntut pemerintah agar tata cara, proses, penetapan dan pelaksanaan upah minimum yang merupakan jaring pengaman, untuk pekerja lajang dengan masa kerja nol tahun yang menjadi  tanggungjawab pemerintah, kembalikan mekanismenya sesuai dengan isi undang-undang ketenagakerjaan, nomor 13 tahun 2003 dan cabut PP 78/2015 tentang Pengupahan yang menimbulakan disparitas upah sangat tinggi antar daerah, juga tidak mencerminkan keadilan. 

Upah Minimum Provinsi (UMP) harus disahkan 1 November  dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) harus disahkan pada 21 November oleh Gubernur masing-masing daerah, tegas Sidarta.(rsy). 

Komentar