Looking For Anything Specific?

ads header
  • This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

SEBUAH CATATAN ATAS RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN YANG BARU

 

SEBUAH CATATAN ATAS RENCANA REVISI

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN YANG BARU

 

Oleh : Yosep Ubaama Kolin, S.H.*

 


 


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diucapkan pada tanggal 15 Oktober 2024 merupakan momentum penting untuk mengakhiri polemik Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Kluster Ketenagakerjaan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim cipta kerja[1] sudah saatnya diakhiri. Sudah cukup pekerja/buruh menjadi korban atas permainan kotor dari perselingkuhan antara pemilik modal (oligarki) dengan oknum di lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sudah cukup pekerja/buruh disuguhi dengan berbagai kebohongan. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan untuk menempatkan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam ketimpangan relasi kuasa pada konteksnya. Dalam hal ini, sehubungan dengan rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, sudah seyogyanya juga diletakan pada konteksnya, yakni untuk melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dari ketimpangan relasi kuasa dengan pengusaha/pemberi kerja. Dalam pemaknaan terhadap perlindungan bagi pekerja/buruh harus dimaknai juga dalam konteks melindungi pengusaha/pemberi kerja. Ini penting untuk disadari bersama sebab frasa tersebut sering dimaknai secara keliru seakan konteks perlindungan bagi pekerja/buruh tidak melindungi pengusaha/pemberi kerja secara seketika.

Perubahan undang-undang ketenagakerjaan yang baru memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Selain karena berbagi dampak buruk yang menimpa pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh, juga ternyata rezim cipta kerja tidak juga mendongkrak pertumbuhan ekonomi  sebagaimana yang gemborkan Presiden Jokowi dalam berbagai pernyataan publiknya. Bahkan secara nyata rezim cipta kerja menjadi pintu masuk penjajahan kedaulatan ekonomi dan kemandirian bangsa dalam mengelola sumber daya alam dan berbagi bidang kehidupan lainnya. Yang lebih ironis, belakangan terdapat kecenderungan mengarah kepada deindustrialisasi. Kondisi ini tentu menjadi ancaman serius bagi industri dalam negeri untuk bertahan, apalagi bersaing dipasar global.

Urgensi itu tampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 168/PUU-XXI/2023 paragraf [3.16], tegas menyatakan,”

Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama 2 (dua) tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.”

Waktu 2 (dua) tahun merupakan waktu yang wajar dan cukup bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan yang baru. Mahkamah Konstitusi bahkan sudah memberikan pandangan mengenai lingkup substansi dari undang-undang ketenagakerjaan yang baru, yakni mencakup; (1) Materi muatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, (2) Materi muatan dalam kluster ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023  dan hasil Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023, (3) Materi muatan Undang-Undang Nomor 13 Tahuh 2003 hasil Putusan Mahkamah Kontitusi namun belum diakomodir ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dan (4) Materi muatan baru yang diubah/belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Dengan batasan yang demikian, tentu lebih mudah bagi Badang Keahlian DPR RI untuk menyiapkan rumusan awal dan lebih mudah bagi DPR RI untuk mengkritisi lingkup batasan materi muatan dan lebih mudah bagi serikat pekerja/serikat buruh untuk menyampaikan aspirasi dalam keseluruhan proses perumusan dan pembahasan undang-undang ketenagakerjaan baru.

            Sebagai catatan atas substansi undang-undang ketenagakerjaan baru, khususnya pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi poin kedua (Materi muatan dalam kluster ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023  dan hasil Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023), penting bagi Badan Keahlian DPR dan DPR untuk mencermati dengan seksama historis eksistensi rezim cipta kerja agar tidak serampangan dalam mengakomodir substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Hal pertama untuk menjadi atensi adalah bahwa proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 menyalahi mekanisme formil pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses yang salah, tidak mungkin menghasilkan produk yang dapat dijadikan pedoman seutuhnya. Hal yang kedua, diketahui bahwa perumusan rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang baru dilakukan secara serampangan dengan tidak mengakodir seluruh substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. Semua substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 bukan merupakan substansi yang bermasalah. Yang bermasalah adalah keserampangan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang menghapus substansi tersebut. Hal ini sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 paragraf [3.15.13.3]

“Terlebih, terhadap norma yang sudah dihapus telah ternyata masih diberlakukan dalam PP 35/2021, sehingga PP a quo tidak memiliki kejelasan dasar pengaturannya. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah oleh karena sebagian norma yang telah dihapus telah ternyata tetap diatur dalam UU 6/2023 meskipun tidak disusun secara sistematis, hal demikian tidak dapat dikatakan bahwa substansi norma yang dihapus tersebut benar-benar telah hilang. Namun, pengaturan yang demikian menyebabkan kesulitan dalam memahami secara komprehensif norma Pasal 81 UU 6/2023. Sementara itu, berkenaan dengan norma yang telah dihapus, senyatanya sebagian telah diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut Mahkamah, pengaturan dengan peraturan pemerintah dimaksud adalah tidak tepat karena substansinya semestinya diatur dalam undang-undang. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena substansi norma pasal yang dimohonkan pengujian tersebut ada yang masih relevan sehingga diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya.”

Maka menjadi jelas bahwa tindakan yang serampangan dalam merumuskan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru dengan tidak seksama mencermati keseluruhan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi hanya akan memunculkan persoalan yang baru.

Pelibatan serikat pekerja/serikat buruh yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi tentu lahir dari suatu kesadaran konstitusional bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan pihak yang representatif mewakili pekerja/buruh dalam memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya, dan serikat pekerja/serikat buruh juga sebagai pihak yang aktif dalam melakukan berbagai penolakan atas eksistensi UU 6/2023 yang secara historis sejak lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU 2/2022). Maka tidak ada alasan bagi kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk tidak melibatkan serikat pekerja/serikat buruh dalam perumusan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru. Memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, pelibatan partisipasi publik dimaksud bukan suatu mekanisme legislasi yang sifatnya formalitas dan sebatas menggugurkan kewajiban sehingga kehilangan esensinya.

Dalam pertimbangan hukum paragraf [3.17.8], putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, secara tegas Mahkamah Konstitusinya menyatakan,

.........masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang-undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty)”.

 

Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang undang yang sedang dibahas.

Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.”

 

Mencermati pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, konteks pelibatan serikat pekerja/serikat buruh dalam pembentukan undang-undang ketenagakerjaan yang baru seyogyanya bukan suatu mekanisme formalitas belaka. Agar tidak menjadi mekanisme yang formalitas belaka maka hal yang penting untuk diperhatikan antara lain, agar serikat pekerja/serikat buruh yang dilibatkan dalam proses pembentukan undang-undang ketenagakerjaan yang baru merupakan serikat pekerja/serikat buruh yang jelas rekam jejaknya dalam berbagai aksi penolakan terhadap undang-undang Cipta Kerja. Konkretisasi dari aksi penolakan tersebut baik melalui berbagai aksi unjuk rasa, maupun sebagai pihak yang mengambil bagian dalam permohonan judicial review. Pertimbangan lainnya adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki basis masa yang jelas, bukan paper union sehingga betul-betul representatif mewakili aspirasi dan kepentingan pekerja/buruh.

Beberapa gejolak sosial yang terjadi belakangan ini hendaknya menjadi bahan refleksi bersama, bahwa setiap tindakan penguasa yang  nir empati dan tanpa  komitmen keberpihakan kepada masyarakat hanya akan menghasilkan konflik sosial. Maka sudah saatnya kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk membuka diri dan siap berdialog dengan serikat pekerja/serikat buruh dalam pembentukan undang-undang ketenagakerjaan yang baru sehingga menghasilkan suatu paket perlindungan hukum yang memadai dan mampu memberikan kesejahteraan yang pada saat sama juga melindungi pengusaha atau pemberi kerja. Kita harus membangun komitmen bersama untuk menjaga kelangsungan industri dalam negeri yang berdaya saing dan unggul menghadapi persaingan global.

 

*Penulis : Sekretaris DPC FSP LEM SPSI Kabupaten/Kota Bekasi.

           



[1] Rezim cipta kerja dimaksud sejak munculnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Rapat Kerja Nasional 2025 FSP LEM SPSI, Yasirli : Serikat Buruh Harus Bersinergi


MENAKER RI : Prof. Yassierli, Ph.D 

 Karawang — Suasana Swiss-Belinn Hotel Karawang pada 1–2 September 2025 dipenuhi semangat konsolidasi serikat pekerja. Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diikuti 230 perwakilan DPC dan DPD dari seluruh Indonesia. Selasa (2/9/2025)


Rakernas ini dihadiri langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan RI serta tokoh buruh senior Ketua Umum DPP KSPSI Jumhur Hidayat, menandai pentingnya forum ini dalam peta gerakan buruh nasional.


Dengan mengusung tema “Transformasi Cara Pandang untuk Meneguhkan Peran Serikat Pekerja dalam Ekonomi dan Politik Indonesia”, forum membahas tantangan baru yang dihadapi dunia kerja, mulai dari perubahan iklim ketenagakerjaan, ancaman disrupsi teknologi, hingga posisi buruh dalam dinamika politik nasional.



Foto : Peserata RAKAERNAS FSP LEM SPSI 2025

Dalam sambutannya, Menteri Ketenagakerjaan menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha untuk mewujudkan iklim ketenagakerjaan yang sehat. Sementara itu, Jumhur Hidayat mengingatkan agar serikat pekerja tidak hanya berkutat pada isu normatif, tetapi juga berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik bangsa.


Rakernas ini diharapkan tidak hanya menjadi ruang konsolidasi organisasi, tetapi juga momentum untuk meneguhkan posisi serikat pekerja sebagai salah satu pilar penting demokrasi dan pembangunan ekonomi nasional.    @kk